Maandag 06 Mei 2013


FILSAFAT UMUM[1]
A.   PENGANTAR MENUJU PEMAHAMAN FILSAFAT
Mengapa ada filsafat? Mengapa orang berfilsafat? Bahkan ada orang yang menolak filsafat dengan menyatakan, mengapa tidak cukup membicarakan dan mengamalkan ilmunya saja, tidak perlu berfikir secara berlebihan, seperti yang dilakukan dalam berfilsafat?
Terkadang manusia selalu mempersoalkan suatu apapun termasuk mengapa harus berfilsafat? Banyak hal yang ditanyakan seperti benda, keadaan, hal konkret ataupun abstrak. Mengapa timbul pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Hal tersebut karena seolah-olah mengherankan sesuatu. Pertanyaannya pun bermacam-macam, mulai dari pertanyaan yang bersifat biasa, seperti pertanyaan tentang hal wujud sampai dengan pertanyaan yang bersifat filsafati. Kalaupun harus berlangsung berfilsafat, anjuran Kant maka timbullah pertanyaan baru, “apa yang menjadi dasar pertanyaan tersebut?”.
Keheranan seperti itu merupakan bekal bagi seseorang untuk berfilsafat, bahkan timbul pertanyaan yang tidak bersifat filsafati. Hal ini penting karena dengan heran, orang akan bertanya sehingga ilmunya akan bertambah. Dengan bertambahnya ilmu lebih dalam dan lebih luas, orang akan mampu menganalisis masalah dengan lebih tajam, serta mampu menguasai lingkungannya. Dengan demikian, orang tersebut mampu memahaminya, kemudian akan bertindak dengan benar. Seperti kita ketahui, bahwa kebenaranlah yang akan membawa seseorang kepada puncak kebahagiaannya.
Masalah selanjutnya, yaitu mengapa harus berfilsafat? Tentu tidak menjadi keharusan bagi seseorang untuk berfiilsafat atau sekedar pertanyaan secara ilmiah, atau sesuai dengan  bidang ilmunya. Namun, orang yang berfilsafat akan menemukan akar dan hakikat dari apa yang menjadi bahan pemikirannya. Selayaknya, kita mengetahui terlebih dahulu bagaiamana berfilsafat, atau lebih sederhananya apa filsafat itu?.
Sementara itu, untuk keperluan pelaksanaannya filsafat dianggap sebagai pertanyaan yang mempersoalkan suatu secara mendalam dan sungguh-sungguh, radikal sampai keakar-akarnya (Radiks = Akal). Sebuah pertanyaan yang berbeda dari pertanyaan yang diperbincangkan dalam ilmu pengetahuan yang bertitik tolak pada wujudnya. Tujuan yang hendak dicapai adalah kebenaran yang hakiki dan kebenaran yang berfilsafati.
Apabila ada orang yang berpendapat bahwa kita tidak perlu bertanya secara filsafati, orang tersebut tampaknya tidak mengenal filsafat sebagai perbincangan yang melahirkan ilmu pengetahuan disamping perbincangan masalah-masalah lainnya. Terlebih dahulu, ia patut memahami pengertian filsafat secara dasar dengan tepat sehingga keraguan atas manfaat berfilsafat tidak akan terjadi. Dengan demikian, pertanyaannya menjadi mengapa orang berfilsafat?
Tampaknya, pertanyaan dan pemikiran yang bersifat rasional merupakan ciri khas manusia dibandingkan makhluk hidup lainnya. Ia akan bertanya tentang semua hal untuk menjawab pertanyaannya ia akan berusaha mencari jawaban yang memenuhi kebutuhan intelektualnya. Oleh karena itu, manusia berfikir (homo sapiens) disebut sebagai a rational animal, animal rational atau binatang yang mampu berfikir. Hal ini berlaku apabila manusia dan hewan dikelompokkan kedalam suatu golongan dan tidak memperhatikan perbedaan yang esnsial atau berbeda prinsip. Hal ini merupakan permasalahan dalam bidang antropologi dan metafisika, khususnya yang menyangkut hakikat manusia. Sebagai penjelasan awal mengenai hal ini akan dikemukakan dalam alinea berikut.
Setiap hal yang mengherankan dapat melahirkan suasann atau mood yang akan berpengaruh terhadap pemikirannya. Dalam ilmu pengetahuan, setiap ilmu mempunyai masalahnya sendiri-sendiri. persoalannya, filsafat adalah segala sesuatu, tidak terkecuali. Akan tetapi, dalam mempersoalkannya terdapat keterbatasan, yaitu menyangkut hakikat filsafat itu sendiri. Apabila kimia membicarakan hukum-hukum persenyawaan zat maka filsafat membicarakan hakikat dari hukum-hukum tersebut. Inilah yang dimaksud dengan sarwa sekalian alam yang menjadi filsafat yang disebut juga universal.
Jelas kiranya, bahwa segala hal yang diherankan, kemudian dipertanyakan orang. Pada dasarnya, apa yang dipertanyakan orang meliputi masalah-masalah ilmiah, estetika, religius, dan filsafati. Masalah ilmiah akan melahirkan pertanyaan ilmiah pula, kemudian menimbulkan jawaban kebenaran ilmiah. Adapun sifat religius akan melahirkan masalah religius yang akan melahirkan pertanyaan religius sebelum akhirnya melalui alasan-alasan religius akan melahirkan kebenaran-kebenaran religius. Adapun masalah estetika melahirkan pertanyaan yang menuntut pemikiran estetis, dan diakhiri oleh jawaban estetis. Sementara itu, masalah-masalah filsafati melahirkan pertanyaan filsafati untuk selanjutnya melahirkan jawaban filsafati mengenai hakikat sesuatu (the nature of…).

APAKAH FILSAFAT
Secara etimologis, filsafat berasal dari beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani. Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, sedangkan dalam bahasa Yunani, filsafat merupakan gabungan dua kata, yaitu philein yang berarti cinta atau philos yang berarti mencintai, menghormati, menikmati, dan Sophia atau  sophien yang artinya kehikmatan, kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan, atau kejernihan. Secara etimologis, berfilsafat atau filsafat berarti mencintai, menikmati kebijaksanaan atau kebenaran. Hal ini sejalan dangan apa yang diucapkan ahli filsafat yunani kuno, Socrates bahwa pilosof adalah orang yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Jadi fliosof bukanlah orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang belajar dan mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Dalam bahasa Indonesia, filsafat berasal dari bahasa Arab, filsafah yang juga berakar pada istilahYunani.
Ada beberapa beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan berdasarkan watak dan fungsinya sebagai berikut:
1.      Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
2.      Filsafat adalah suatu proses kritik  atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
3.      Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengkombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandanga yang konsisten tentang alam (arti spekulatif).
4.      filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logo-sentrisme.
5.      filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

ASAL MULA FILSAFAT
Berbicara tentang kelahiran dan perkembangan filsafat pada awal kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan pengembangan (ilmu) pengetahuan yang munculnya pada masa peradaban Kuno (masa yunani).
Pada tahun 2000 SM bangsa Babilon yang hidup di lembah sungai Nil (Mesir) dan sungai Efrat, telah mengenal alat pengukur berat, tabel bilangan berpangkat, table bilangan perkalian dengan menggunakan 10 jari.
Piramida yang merupakan salah satu keajaiban dunia itu. Yang ternyata pembuatannya menerapkan geometri dan matematika, menunjukkan cara berfikirnya sudah tinggi. Selain itu mereka pun sudah dapat mengadakn kegiatan pengamatan benda-benda langit, baik bintang, bulan, matahari, sehingga dapat meramalkan gerahana baik gerhana bulan maupun gerhana matahari. Ternyata ilmu yang mereka pakai dewasa ini disebut astronomi.
Di India dan Cina waktu itu telah ditemukan cara pembuatan kertas dan kompas (sebagai penunjuk arah).

Berikut akan dipaparkan secara historis asal mula filsafat dari masa Yunani sampai Masa Abad Dewasa Ini (Filsafat abad ke-20) :

1. Masa Yunani
Yunani terletak di Asia kecil. Kehidupan penduduknya sebgai nelayan dan pedagang, sebab sebagian besar penduduknya tinggal didaerah pantai, sehingga mereka dapat menguasai jalur perdagangan laut.
Kebiasaan mereka hidup dialam bebas sebagai nelayan itulah mewarnai kepercayaan yang dianutnya yaitu berdasarkan kekuatan alam, sehingga beranggapan bahwa hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta bersifat formalitas. Artinya, kedudukan Tuhan terpisah dengan kehidupan manusia.
Kepercayaan, yang bersifat formalitas (natural religion) tidak memberikan kebebasan kepada manusia, ini ditentang oleh Homerrus[2] dengan dua karyanya yang terkenal, yaitu Ilias dan Odyseus. Kedua karya Homerrus itu memuat nilai-nilai yang tinggi dan bersifat edukatif. Sedemikian besar peranan karya Homerrus, sama kedudukannya seperti wayang purwa di Jawa. Akibatnya masyarakat lebih kritis dan rasional.
Pada abad ke-6 SM, bermunculan para pemikir yang kepercayaannya bersifat rasional (cultural religion) menimbulkan pergeseran. Tuhan tidak lagi terpisah dengan manusia, melainkan justru menyatu dengan kehidupan manusia. Sistem kepercayaan yang natural religios berubah menjadi sistem cultural religios.
Dalam sistem kepercayaan natural religios ini manusia terikat oleh tradisionalisme. Sedangkan dalam sistem kepercayaan cultural religius ini memungkinkan manusia mengembangkan potensi dan budayanya dengan bebas, sehingga dapat mengembangkan pemikirannya untuk menghadapi dan memecahkan berbagai misteri kehidupan/alam dengan akal pikiran.
Ahli pikir yang pertama kali muncul adalah Thales (+ 625-545 SM) yang berhasil mengembangkan geometri dan matematika, Liokippos dan Democritos mengembangkan teori materi, Hipocrates mengembangkan ilmu kedokteran, Euclid mengembangkan geometri edukatif, Socrates mengembangkan teori tentang moral, Plato mengembangkan teori tentang ide, Aristoteles mengembangkan teori yang menyangkut dunia dan benda, dan berhasil mengumpulkan data 500 jenis binatang (ilmu biologi). Suatu keberhasilan yang luar biasa dari Aristoteles adalah menemukan sistem pengaturan pemikiran (logika formal) yang sampai sekarang masih dikenal.
Para ahli pikir Yunani kuno ini mencoba membuat konsep tentang asal mula alam. Walaupun sebelumnya sudah ada tentang konsep tersebut. Akan tetapi konsepnya bersifat mitos yaitu mitokosmogonis (tentang asal usul alam semesta) dan mitokosmologis (tentang asal usul serta sifat-sifat kejadia-kejaidan dalam alam semesta), sehingga konsep mereka sebagai pencari arche (asal mula) alam semesta, dan mereka disebutnya sebagai filosof alam.
Oleh karena arah pemikiran filsafatnya pada alam semesta maka corak pemikirannya: kosmosentris. Sedangkan para ahli pikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang hidup pada masa Yunani Klasik karena arah pemikirannya pada manusia corak pemikiran filsafatnya: antroposentris. Hal ini disebabkan karena arah pemikiran para ahli pikir Yunani Klasik tersebut memasukkan manusia sebagai subyek yang harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya. 

2. Masa Abad Pertengahan
Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagiamana halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada abad pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalu didasarkan atas dogma agama, sehingga corak pemikiran kefilsafatannya bersifat teosentris.
Baru pada abad ke-6 M, setelah mendapat dukungan dari Karel Agung,[3] maka didirikanlah sekolah-sekolah yang memberi pelajaran: gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Keadaan yang demikian akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat pada abad ke-13 yang ditandai berdirinya Universitas-universitas dan Ordo-ordo. Dalam ordo-ordo inilah mereka mengabdikan dirinya untuk kemajuan ilmu dan agama, seperti Anselmus (1033-1109), Abailardus (1079-1143), Thomas Aquinas (1225-1274).
Dikalangan para ahli pikir Islam (periode filsafat skolastik Islam) muncul: Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Bajah, Ibnu Tuffail, Ibnu Rusyid. Periode skolastik Isalam ini berlangsung tahun 8500-1200. pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Akan tetapi setelah jatuhnya kerajaan Islam di Granada (Spanyol) tahun 1492 mulailah kekuasaan politik barat menjarah ketimur.[4] Suatu prestasi yang paling besar dalam kegiatan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang filsadfat. Disini mereka merupakan mata rantai yang mentransfer filsafat Yunani, sebagaimana yang dilakukan sarjana-sarjana Islam di Timur terhadap Eropa dengan menambah pikiran-pikiran sendiri. Para filosof Isalm sendiri sebagian menganggap filsafat Aristoteles adalah benar, Plato dan Al-quran adalah benar, mereka mengadakan perpaduan dan sinkretisme antara agama dan filsafat. Kemudian pikiran-pikiran ini masuk ke Eropa, yang merupakan sumbangan Islam yang paling besar, yang besar pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat terutama dalam bidang teology dan ilmu pengetahuan alam.[5] Peralihan dari abad pertengahan kepada abad modern dalam sejarah filsafat disebut sebagai masa peralihan (transisi), yaitu munculnya Renaissance dan Humanisme, yang berlangsung pada abad 15-16. munculnya Renaissance dan Humanisme inilah yang memulai masa abad modern. Mulai zaman modern inilah peranan ilmu alam kodrat sangat menonjol, sehingga akibatnya pemikiran filsafat semakin dianggap sebagai pelayan dari teologi, yaitu suatu sarana untuk menetapkan kebenaran-kebenaran mengenai Tuhan yang dicapai oleh akal manusia.

3. Masa Abad Modern
Pada masa abad modern ini pemikiran  filsafat ini berhasil menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan, sehingga corak pemikirannya:antroposentris, yaitu pemikiran filsafatnya mendasar pada akal pikir dan pengalaman.
Diatas telah dikemukakan bahwa munculnya Renaissance dan Humanisme sebagai awal masa abad modern. Daiman para ahli filosof menjadi pelopor perkembangan  filsafat (kalau pada masa abad pertengahan yang menjadi pelopor perkembangan filsafat adalah para pemuka agama). Dan pemikiran filsafat masa abad modern ini  berusaha meletakkan dasar-dasar bagi metode induksi secara modern, serta membuka sistematika yang sifatnya logis-ilmiah. Pemikiran filsafat diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat diarahkan pada upaya manusia agar dapat menguasai lingkungan alam dengan menggunakan berbagai penemuan ilmiah.
Karena semakin pesatnya orang menggunakan metode induksi/ eksperimental dalam berbagai penelitian ilmiah, akibatnya perkembangan pemikiran filsafat mulai tertinggal oleh perkembangan ilmu-ilmu alam kodrat (naturale science). Renedescartes (1596-1650) sebagai bapak filsafat modern yang berhasil melahirkan suatu konsep dari perpaduan antara metode ilmu alam ilmu pasti kedalam pemikiran filsafat. Upaya ini dimaksudkan, agar kebenaran dan kenyataan filsafat juga sebagai kebenaran dan kenyataan yang jelas.
Pada abad ke-18, perkembangan pemikiran filsafat mengarahkan kepada filsafat ilmu pengetahuan, dimana pemikiran filsafat diisi dengan upaya manusia, bagaimana cara/sarana apa yang dipakai untuk mencari kebenaran dan kenyataan. Sebagai tokohnya George Berkeley (1685-1753), David Hume (1711-1776), Rousseau (1722-1778).
Di Jerman muncul Christian Wolft (1679-1754) dan Imannuel Kant (1724-1804), yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, yaitu dengan cara membentuk pengertian-pengertian yang jelas dan bukti yang kuat.
Abad ke-19 perkembangan pemikiran filsafat terpecah belah. Pemikiran filsafat pada saat itu telah mampu membentuk sesuatu kepribadian tiap-tiap bangsa dengan pengertian dan caranya sendiri. Ada filsafat Amerika, Filsafat Prancis, Filsafat Inggris, Filsafat Jerman. Tokoh-tokohnya adalah Hegel (1770-1831), Karl Marks (1818-1883), Agust Comte (1798-1857), JS. Miller (1806-1873), Jhon Dewey (1858-1952).
Akhirnya dengan munculnya pemikiran filsafat yang bermacam-macam ini, berakibat tidak terdapat lagi pemikiran filsafat yang mendominasi. Giliran selanjutnya, lahirlah filsafat kontemporer atau filsafat dewasa ini.

4. Masa Abad Dewasa Ini (Filsafat abad ke-20)
Filsafat Dewasa ini atau filsafat abad ke-20 juga disebut filsafat kontemporer yang yang merupakan cirri khas pemikiran filsafat adalah desentrelisasi manusia. Karena pemnikiran filsafat abad ke-20 ini memberikan perhatian yang khusus kepada bidang bahasa dan etika sosial.
Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok masalah: arti kata-kata dan arti pernyataan-pernyataan. Masalah ini muncul karena bahwa realitas sekarang ini banyak bermunculan berbagai istilah, dimana cara pemakaiannya sering tidak dipikirkan secara mendalam, sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda-beda (bermakna ganda). Maka timbullah filsafat analitika, yang didalamnya membahas tentang cara berfikir untuk mengatur pemakaian kata-kata/istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, dan sekaligus menimbulkan bahaya-bahaya yang terdapat di dalamnya. Oleh karena bahasa sebagai obyek terpenting dalam pemikiran filsafat, maka para ahli pikir menyebut sebagai: logosentris.
Dalam bidang etika sosial memuat pokok-pokok masalah: apakah yang hendak kita perbuat di dalam masyarakat dewasa ini?
Kemudian, para paruh pertama abad ke-20 ini timbul aliran-aliran kefilsafatan seperti: Neo-thomisme, neo-Kantiamisme, neo-Hegelianisme, Kritika ilmu, Historisme, Irasionalisme, Neo-vitalisme, Spiritualisme, Neo-positivisme. Aliran-aliran ini sampai sekarang tinggal sedikit yang masih bertahan. Sedangkan pada awal belahan belahan akhir abad ke-20 muncul aliran-aliran kefilsafatan yang lebih dapat memberikan corak pemikiran dewasa ini seperti: filsafat Analitik, Filsafat Eksistensi, struktualisme, Kritika sosial.
     
SIFAT DASAR FILSAFAT
1.   Bersifat Radikal  
Berfilsafat berarti berpikir secara radikal. Filsuf adalah pemikir yang radikal. Karena berpikir secara radikal, ia tidak akan pernah terpaku hanya pada fenomena suatu entitas tertentu. Ia tidak akan pernah berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradikalan berpikirnya itu akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan. Bila dikatakan bahwa filsuf selalu berupaya untuk menemukan radix seluruh kenyataan, berarti dirinya sendiri sebagai suatu realitas telah termasuk kedalamnya sehingga ia pun berupaya untuk mencapai akar pengetahuan tentang dirinya sendiri.
Mengapakah radix atau akar realitas begitu penting untuk ditemukan? Ini karena bagi seorang filsuf, hanya apabila akar realitas itu telah ditemukan, segala sesuatu yang tumbuh diatas akar itu akan dapat dipahami. Hanya apabila akar suatu permasalahan telah ditemukan, permasalahan itu dapat dimengerti sebagaimana mestinya.
Berpikir radikal tidak berarti hendak mengubah, membuang, atau menjungkirbalikkan segala sesuatu, melainkan dalam arti yang sebenarnya, yaitu berpikir secara mendalam, untuk mencapai akar permasalahan yang dipermasalahkan. Berpikir radikal justru hendak memperjelas realitas, lewat penemuan serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri.
2.  Mencari Asas
Filsafat bukan hanya mengacu kepada bagian tertentu dari realitas, melainkan kepada keseluruhannya. Dalam memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas. Seorang filsuf akan selalu berupaya untuk menemukan asas yang paling hakiki dari realitas.
Para filsuf Yunani, yang terkenal sebagai filsuf alam, mengamati keanekaragaman realitas dialam semesta, lalu berpikir dan bertanya, “tidakkah dibalik keanekaragaman itu hanya ada suatu asas?” mereka lalu mulai mencari αρχŋ (asal-usul, asas pertama) alam semesta. Thales mengatakan bahwa asas pertama alam semesta itu adalah  υδωρ (air), Anaximandros mengatakan τσ απειρον (yang tidak terbatas), dan Anaximenes mengatakan  αηρ (udara). Adapun bagi Empedokles ada empat ριζωματα (akar segala sesuatu) yang membentuk realitas alam semesta, yaitu api, udara, tanah, dan air.
Mencari asas pertama berarti juga berupaya menemukan sesuatu yang menjadi esesnsi realitas. Dengan menemukan esensi suatu realitas, realitas itu dapat diketahui dengan pasti dan menjadi jelas. Mencari asas adalah salah satu sifat dasar filsafat.



3.      Memburu kebenaran
Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab tiu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu.
Tentu saja kebenaran yang hendak digapai bukanlah kebenaran yang meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan, setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yanglebih pasti. Demikian seterusnya.
Jelas terlihat bahwa kebenaran filsafati tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran baru yang menuju kebenaran yang lebih pasti. Kebenaran baru yang ditemukan itu juga terbuka untuk diipersoalkan kembali demi menemukan kebenaran yang lebih meyakinkan.
Dengan demikian, terlihat bahwa salah satu sifat dasar filsafat ialah senantiasa memburu kebenaran. Upaya memburu kebenaran itu adalah demi kebenaran itu sendiri, dan kebenaran yang diburu adalah kebenaran yang lebih meyakinkan serta lebih pasti.

4.      Mencari kejelasan
Salah satu penyebab kelahiran filsafat ialah keraguan. Untuk menghilangkan keraguan diperlukan kejelasan. Ada filsuf yang menyatakan bahwa berfilsafat berarti berupaya mendapatkan kejelasan dan pejelasan mengenai seluruh realitas. Ada pula yang menyatakan bahwa filsuf senantiasa mengejar kejelasan pengertian (clarity of undersranding). Geisler dan Feinberg mengatakan bahwa cirri khas  penelitian filsafati ialah adanya usaha keras demi meraih kejelasan intelektual (intellectual clarity). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berfikir secara filsafati berarti berusaha memperoleh kejelasan.
Mengejar kejelasan berarti harus berjuang dengan gigih untuk mengeliminasi segala sesuatu yang tidak jelas, yang kabur, dan yang gelap, bahkan juga yang serba rahasia dan juga berupa teka-teki. Tanpa kejelasan, filsafatpun akan menjadi sesuatu yang mistik, serba rahasia, kabur, gelap, tak mungkin dapat menggapai kebenaran.
Jelas terlihat bahwa berfilsafat sesungguhnya merupakan suatu perjuangan untuk mendapatkan kejelasan pengertian dan kejelasan seluruh realitas. Perjuangan mencari kejelasan itu adalah salah satu sipat dasar filsafat.

5.      Berpikir Rasional
Berpikir secara radikal, mencari asas, memburu kebenaran, dan mencari kejelasan tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa berpikir secara rasional. Berpikir secara rasional berarti berpikir logis, sistematis, dan kritis. Berpikir logis adalah bukan hanya sekedar menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat, melainkan agar sannggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang digunakan.
Berpikir logis juga menuntut pemikiran yang sistematis. Pemikiran yang sistematis adalah rangkaian pemikiran yang berhubungan satu sama lain. Atau saling berkaitan secara logis. Tanpa berpikir yang logis-sistematis dan koheren, tak mungkin diraih kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan.
Berpikir kritis berarti membakar kemauan untuk terus-menerus mengevaluasi argument-argumen yang mengklaim diri benar.  Seorang yang berpikir kristis tidak akan mudah menggenggam suatu kebenaran sebelum kebenaran itu mdipersoalkan dan benar-benar diuji lebih dahulu. Berpikir logis-sistematis-kritis adalah cirri utama berpikir rasional. Adapun berpikir rasional adalah salah satu sipat dasar filsafat.



          
OBYEK MATERI DAN OBYEK FORMAL FILSAFAT
Semua ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek materi dan obyek forma.
Yang disebut obyek materi adalah hal atau bahan yang diselidiki (hal yang dijadikan sasaran penyelidikan). Sedangkan obyek forma adalah sudut pandang (point of view), darimana hal atau bahan tersebut dipandang.
Misalnya ilmu alam, obyek formanya perubahan dan bangun benda. Ilmu kimia obyek formanya susunan benda. Ilmu gaya obyek formanya kekuatan dan gerak benda. Sehingga ketiga ilmu tersebut diatas mempunyai obyek forma yang berbeda, akan tetapi ketiga ilmu tersebut mempunyai obyek materi yang sama yaitu benda.
Bagaimana dengan obyek materi dan obyek formanya filsafat? Obyek materi filsafat adalah segala sesuatu yang ada. “ada” disini mempunyai tiga pengertian, yaitu ada dalam kenyataan, ada dalam pemikiran, dan ada dalam kemungkinan. Sedangkan obyek forma filsafat adalah menyeluruh dan secara umum. Menyeluruh disini berarti bahwa filsafat dalam memandangnya dapat mencapai hakikat (mendalam), atau tidak ada satupun yang berada diluar jangkauan pembahasan filsafat. Umum disini berarti bahwa dalam hal tertentu, hal tersebut dianggap benar selama tidak merugikan kedudukan filasafat sebagai ilmu.
Menurut Ir. Poedjawijatna, obyek materi filsafat adalah ada dan yang mungkin ada. Obyek materi filsafat tersebut sama dengan obyek materi dari ilmu seluruhnya. Yang menentukan perbedaan ilmu dengan yang satunya adalah obyek formanya. Sehingga, kalau ilmu membatasi diri dan berhenti pada dan berdasarkan pengalaman, sedangkan filsafat tidak membatasi dir, filsafat hendak mencari keterangan yang sedalam-dalamnya, inilah obyek forma fisafat.

CIRI-CIRI PEMIKIRAN FILSAFAT
Berpikir kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dari bidang ilmu lain. Beberapa ciri kefilsafatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Radikal, artinya, berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipkirkan.
2.      Universal artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berfikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada aspek keumumannya.
3.      Konseptual, artinya, merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya apakah kebebasan itu?
4.      Koheren dan konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5.      Sistematik, artinya: pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6.      Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berfikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7.      Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafat bolah dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, cultural, bahkan relijius.
8.      Bertanggung jawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berfikir sekaligus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
Ke delapan ciri berfikir kefilsafatan ini menjadikan filsafat cenderung berbeda dengan cirri berfikir ilmu-ilmu lainnya, sekaligus menempatkan kedudukannya filsafat sebagai bidang keilmuan yang netral, terutama ciri ketujuh
PERANAN FILSAFAT
Menyimak sebab-sebab kelahiran filsafat dan proses perkembangannya, sesungguhnya filsafat telah memerankan sedikitnya tiga peranan utama dalam sejarah pemikiran manusia. Ketiga peranan yang telah diperankannya itu ialah sebagai pendobrak, pembebas, dan pembimbing.
Pendobrak.
Berabad-abad lamanya intelekualitas manusia tertawan dalam penjara tradisi dan kebiasaan. Dalam penjara itu, manusia terlena dalam alam mistik yang penuh sesak dengan hal-hal serba rahasia yang terungkap lewat berbagai mitos dan mite. Manusia menerima begitu saja segala penuturan dongeng dan takhatul tanpa mempersoalkannya lebih lanjut. Orang beranggapan bahwa karena segala dongeng dan takhayul itu merupakan bagian yang hakiki dari warisan tradisi nenek moyang, sedang tradisi itu benar dan tak dapat diganggu gugat, maka dongeng dan takhayul itu pasti benar dan tak boleh diganggu gugat.
Oleh sebab itu, orang-orang Yunani, yang dikatakan memiliki “suatu rasionalitas yang luar biasa”,  juga pernah percaya kepada dewa dewiyang duduk dimeja perjamuan di Olimpus sambil menggoncangkan kayangan dengan sorakan dan gelak tawa tak henti-hentinya. Mereka percaya kepada Dewa-dewi yang menipu satu sama lain, licik dan sering memberontak dan kadangkala seperti anak nakal.
Keadaan tersebut berlangsung cukup lama. Kehadiran filsafat telah mendobrak pintu-pintu dan tembok-tembok tradisi yang begitu sakral dan selama itu tak boleh diganggu gugat. Gendati pendobrakan itu membutuhkan waktu yang cukup[ panjang,kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa filsafat benar-benar telah berperan selaku pendobrak yang mencengangkan.

Pembebas.
Filsafat bukan sekedar mendobrak pintu penjara tradisi dan kebiasaan yang penuh dengan berbagai mitos dan mite itu, melainkan juga merenggut manusia  keluar dari dalam penjara itu. Filsafat membebasan manusia dari ketidak tahuan dan kebodohannya. Demikian pula, filsafat membebasan manusi dari belenggu cara berfikir yang mistis dan mitis.
Sesungguhnya, filsafat telah, sedang, dan akan terus berupaya membebaskan manusia dari kekurangan dan kemiskinan pengetahuan yang menyebabkan manusia yang picik dan dangkal. Filsafat pun membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak teratur dan jernih.filsafat juga membebaskan manusia dari cara berpikir tidak kritis yang membuat manusia mudah menerima kebenaran-kebenaran semu yang menyesatkan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa filsafat membebaskan manusia dari segala jenis “penjara” yang hendak mempersempit dari ruang gerak akal budi manusia.
Pembimbing
Bagaimanakah filsafat dapat membebaskan manusi dari segala jenis “penjara” yang hendak mempersempit ruang gerak akal budi manusia itu? Sesungguhnya, filsafat hanya mampu melaksanakan perannya selaku pembimbing.
Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang mistis dan mitis dengan membimbing manusia untuk berpikir secara rasional. Filsafat membebasan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal dengan membimbing manusia untuk berpikir secara luas dan lebih mendalam, yakni berpikir secara universal sambil berupaya mencapai radix. Dan menemukan esensi suatu pembahasan. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir dari cara berpikir dan tidak teratur dan tidak jernih dengan membimbing manusia untuk berpikir secara sistematis dan logis. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tak utuh dan dan begitu fragmentaris dengan membimbing manusia untuk berpikir secara integral dan koheren.

KEGUNAAN FILSAFAT
Studi filsafat ini kerap kali diabaikan orang karena seolah-olah tidak cukup membumi, yaitu tidak ada hubungannya dengan masalah-masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari terlebih lagi menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sekedar “latihan berfikir”, seperti mengisi teka-teki silang.
Berdasarkan pemahaman dasarnya, persepsi ini tidak tepat, meskipun didalamnya terkandung manfaat. Secara khusus, filsafat merupakan perbincangan mencari hakikat suatu gejala atau hal yang ada. Artinya, filsafat merupakan landasan dari sesuatu apapun, tumpuan segala hal, jika salah, tentulah berbahaya, sedikitnya akan merugikan. Apabila kehidupan berpengetahuan itu diibaratkan sebuah pohon maka filsafat adalah akarnya. Yaitu bagian yang berhubungan langsung dengan sumber kehidupan pohon itu, sedangkan batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan. Berdasarkan hadil penelitian, ilmu pengetahuan berhubungan dengan apa yang terlihat atau yang biasa disebut menggejala atau mewujud. Terlebih lagi kaum awam, ia hanya dapat melihat sesuatu secara langsung atau yang berhubungan secara langsung, khususnya menjawab kebutuhan nyata dirinya sendiri.
Dalam perbincangan lebih nyata, filsafat mempersoalkan dan membicarakan kembali keakar, baik berdasarkan ilmu pengetahuan maupun pemahaman lain. Jadi, filsafat menyadarkan manusia terhadap apa yang sudah diyakini, digauli, digunakan, dam dilakukannya. Hal ini penting ! sebagai contoh pada matematika, “mengapa 5 X 5 lebih besar daripada 4 X 4?” umumnya, orang percaya begitu saja, bahkan mempercayai apa yang dikatakan orang lain, seperti atau orang tua dan kakaknya. Jawaban yang sebenarnya adalah adanya kesepakatan bahwa sebutan angka 5 lebih tinggi nilainya daripada 4. Dengan catatan,  angka berikutnya lebih tinggi nilainya dari angka sebelumnya. Filsafat mengatakan, “ingatlah dibalik matematika itu ada suatu kesepakatan, jika kespakatannya tidak demikian, belum tentu 5 X 5 lebih besar daripada 4 X 4.
Dalam hal ini, ilmu pengetahuan mengenal asumsi yang disebut aksioma, yaitu anggapan dasar yang merupakan tumpuan atau sumber dari awal kehidupan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Wacana atau perbincangan filsafat melahirkan asumsi tersebut. Hal tersebut disebut juga keyakinan filsafati (philosophical belief). Asumsi tersebut jika terus-menerus ditelaah ketepatannya, bukan tidak mungkin akan mengalami perubahan, entah itu bertambah atau berkurang, atau justru berubah. Akhirnya, teori-teoti baru dalam bidang ilmu pengetahuan akan bermunculan sehingga lahirlah istilah filsafat ilmu. Filsafat ilmu berperan fundamental dan melahirkan, memelIhara, dan membangun ilmu pengetahuan.
Masalah penting ialah suatu pandangan filsafati tidak akan hilang atau terganti dengan pendangan filsafat berikutnya, meskipun hal tersebut bertujuan untuk mengoreksi pandangan filsafati sebelumnya. Hal itu dapat terjadi karena pandangan atau pemikiran fisafati adalah perbincangan rasional semata, tetapi mendalam dan melibatkan seluruh jiwa raga atau eksistensinya. Kebenarannya, selain relative juga mendasar. Oleh karena itu, jika ada satu pendapat, kemudian dikoreksi oleh pendapat baru, bukan berarti yang satunya hilang kemudian diganti dengan yang lain, melainkan menjadi dua pandangan atau pendapat. Jika kedua pendapat yang berbeda itu kita padukan akan melahirkan tiga pandangan.
Selanjutnya, perubahan itu akan terus berkembang tidak henti-hentinya sehingga pandangan dasar itu akan terus berubah dan berkembang. Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang didasari akan berubah pula, khususnya dalam arti berkembang. Begitulah filsafat, pada saat suatu keyakjinan mengenai sesuatu ditetapkan, pada saat itu pula diragukan. Pada saat kebenaran ditemukan, muncullah keraguan atas kebenaran itu.
Perlu diperhatikan, bahwa selain asumsi atau aksioma, dikenal pula istilah lain yang hampir serupa, yaitu postulat. Perbedaanya adalah, bahwa asumsi yang merupakan keyakinan filosofis yang menjadi anggapan dasar ilmu yang adapun postulat merupakan keyakinan filsafati dan landasan ilmu pengetahuan yang diakhir perbincangan atau penelitiannya dibicarakan kembali untuk diubah.
Manfaat lain filsafat adalah didasarkan pada pengertian filsafat sebagai suatu integrasi atau pengintegrasi sehingga dapat melakukan fungsi integrasi ilmu pengetahuan. Sebagian besar orang hanya menyangkutkan apa yang paling dekat dan apa yang paling dibutuhkannya pada saat dan tempat tertentu. Alam raya, ilmu pengetahuan, benda-benda, dan manusia hanya dipandangnya dari beberapa bagian kecil yang penting, serta menurut waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Dengan demikian, pandangannya tentang segala sesuatu adalah sempit dan eksklusif. Alam raya seolah-olah dibagi-bagi, manusia seolah-olah dipotong-potong menjadi badan dan jiwa, sedangkan jiwanya dibagi-bagi menjadi emosi, motifasi, intelegensi, dan lain-lain. Masyarakat dikotak-kotakkan sehingga akan kehilangan arti menyeluruh dan hakikatnya.
Filsafat memandang segala sesuatu dalam suatu sistem keseluruhan dan dalam segala aspeknya, sebagai akibat dari pandangan dasar atau akarnya.

CABANG-CABANG FILSAFAT
Asas-asas filsafat merupakan suatu kajian yang mengetengahkan prinsip-prinsip pokok bidang filsafat. Aktifitas filsafat melibatkan akal fikir manusia secara utuh, konsisten dan bertanggung jawab. Dalam aktifitas akal itu para filosof mencoba mengungkap tentang realitas. Kegiatan mengungkap realitas ini membutuhkan bahasa sebagai sarana bagi pemahaman terhadap realitas tersebut. Dari sini muncullah berbagai istilah tehnis filsafati yang mengandung makna khas seperti: subtansi, eksistensi, impresi, kategori. Istilah-istilah teknis filsafati ini muncul dalam bidang-bidang utama filsafat, yakni; Metafisika, Epistemology, dan Aksiologi.

1.    Epistemologi
Epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan. Pernyataan tentang
Kebenaran diperlukan susunan yang tepat. Kebenaran pengetahuan disebut memenuhi syarat-syarat epistemologi karena juga tepat susunannya, atau disebut logis. Meskipun logika dan epistemologi merupakan dua hal berbeda, keduanya memiliki kaitan yang sangat kuat, ialah bahwa logika menjadi prasyarat yang mendasari epistemologi.
            Dalam epistemologi, secara lebih rinci terdapat perbincangan mengenai dasar, batas, dan obyek pengetahuan. Oleh sebagian orang, epistemologi disebut filsafat ilmu. Secara umum dan mendasar, terdapat perbedaan antara epistemologi dan filsafat ilmu. Secara umum, epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan, sedangkan filsafat ilmu (philosophy of science), secara khusus mempersoalkan ilmu atau keilmuan pengetahuan.
            Hal yang dibicarakan adalah pengetahuan dan susunan (sistem). Ilmu atau science adalah pengetahuan-pengetahuan yang gejalanya dapat diamati berulang-ulang melalui eksperimen sehingga dapat secara berulang-ulang oleh orang yang berbeda-berbeda dalam waktu yang berbeda. Adapun hal yang dibicarakan dalam epistemologi adalah hakikat ketepatan susunan berfikifr yang secara tepat pula digunakan untuk masalah-masalah yang bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi pernyataannya. Isi pernyataannya ialah sesuatu yang ingin diketahuiu. Oleh karena itu, epistemologi disebut atau bersesuaian dengan ilmu pengetahuan sehingga pengertiannya untuk sebagian orang sama saja dengan filsafat ilmu.
            Berikut ini akan dibicarakan secara ringkas beberapa pokok persoalan yang dipersoalkan di dalam epistemologi.

Tentang Pengetahuan
Jika dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia memiliki pengetahuan tetang sesuatu itu. Dengan demikian, pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Apabila si Paimun yang barn pulang dari Tokyo menceritakan bahwa Tokyo itu kota yang sangat besar, jalan rayany lebar-lebar, hampir semua bangunannya bertingkat, warga kotanya ramat dan sebagainya, maka semua yang dituturkannya itu adalah pengetahuanny tentang Tokyo. Kita mengetahui bahwa satu ditambah satu adalah dua, sepuluh kali sepuluh adalah seratus. Kita pun mengetahui bahwa ada bermacam-macam warna: merah, putih, hitam, dan sebagainya. Kita juga mengetahu bahwa rumah, meja, sungai, taut, gunung, dan manusia adalah Bagian dari lingkungan hidup kita. Semua yang kita ketahui tentang sesuatu itu adalal pengetahuan.
Pengetahuan senantiasa memiliki subjek, yakni yang mengetahui, karen tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada pengetahuan. Jika ada subjek pasti ada pula objek, yakni sesuatu yang ihwalnya kita ketahui atau Kendal kita ketahui. Tanpa objek, tidak mungkin ada pengetahuan.
Pengetahuan bertautan erat dengan kebenaran karena demi mencapa kebenaranlah pengetahuan itu eksis. Kebenaran ialah kesesuaian pengetahuai dengan objeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan objeknya disebut ke keliruan. Suatu objek yang ingin diketahui senantiasa memiliki begitu banyal aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia hanya mengetahui beberapa aspek dan suatu objek itu, sedangkan yank lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian, jelas bahwa amat suli untuk mencapai kebenaran yang lengkap dari objek tertentu, apalagi mencapa seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan objek pengetahuan.
Pengetahuan dapat dibagi ke dalam tiga jenis sebagai berikut:
1.      Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan nir-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan nir-­ilmiah adalah hasl pencerapan dengan indra terhadap objek tertentu yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan termasuk pula penge­tahuan intuitif. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasl pencerapar indrawi dan pengetahuan yang merupakan hasl pemikiran rasional yang tersedia untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
2.      Pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Pengetahuan yang demikian dikenal juga dengan sebutan science.
3.      Pengetahuan filsafati (philosophical knowledge). Pengetahuan filsafati diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan pemikiran-pemikiran yang logis, analitis, dan sistematis. Pengetahuan filsafati adalah pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat, prinsip, dan asas dari seluruh realitas yang dipersoalkan selaku objek yang hendak diketahui.
Sumber-Sumber Pengetahuan
Apakah sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan? Para filsuf mem­beri jawaban yang berbeda-beda terhadap pertanyaan itu. Plato, Descartes, Spinoza, dan Leibniz mengatakan bahwaakal budi atau rasio adalah sumber utama bagi pengetahuan, bahkan ada yang secara ekstrem menekankan bahwa akal budi adalah satu-satunya sumber bagi pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pan­-dangan yang bertentangan dengan akal budi tidak mungkin benar. Bagi me­reka, pikiran memiliki fungsi yang amat penting dalam proses mengetahui.
Beberapa filsuf lainnya, seperti Bacon, Hobbes, dan Locke, menyatakan bahwa bukan akal budi, melainkan pengalaman indrawilah yang menjadi sumber utama bagi pengetahuan. Kendati memang ada perbedaan pandangan di antara mereka sendiri, mereka semua sependapat bahwa pada dasarnya pengetahuan bergantung pada pancaindra manusia serta pengalaman-peng­alaman indranya, dan bukan pada rasio. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Tidak ada ide atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat apriori. Mereka mengatakan bahwa semua ide dan konsep itu sesungguhnya aposteriori. Jika benar bahwa seluruh ide dan konsep manusia bergantung pada pengalam­an, maka sesungguhnya seluruh pengetahuan manusia itu pun bersifat apo­steriori. Akan tetapi, para filsuf itu mengakui juga bahwa tidak semua penge­tahuan manusia secara langsung bergantung pada pengalaman, melainkan apabila ditelusuri lebih lanjut pada akhirnya akan terlihat bahwa pengetahuan sesungguhnya berasal dari pengalaman. John Locke mengatakan bahwa seluruh ide manusia berasal secara lang­sung dari sensasi dan lewat refleksi terhadap ide-ide sensatif itu sendiri. Tidak ada suatu apa pun juga dalam akal budi manusia yang tidak berasal dari pengalaman indrawi.
Immanuel Kant, yang filsafatnya tidak sealiran dengan John Locke, jup berpendapat bahwa kendati seluruh ide dan konsep manusia bersifat apriori sehingga ada kebenaran apriori, ide dan konsep itu hanya dapat diaplikasikan apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman, seluruh ide dan konsep seperti  kebenaran apriori tidak akan pernah dapat diaplikasikan. Dengan kata lain Kant hendak mengatakan bahwa akal budi manusia hanya dapat berfung sebagaimana mestinya apabila dihubungkan dengan pengalaman. Denga demikian, Kant memperdamaikan kedua pandangan tersebut yang selan itu senantiasa saling bertentangan.
Kesahihan Pengetahuan
Di dalam epistemologi, ada beberapa teori kesahihan pengetahuan, antara lain teori kesahihan koherensi, teori kesahihan korespondensi, teori kesahihan pragmatis, teori kesahihan semantik, dan teori kesahihan logikal yang berle­bih-lebihan.
Teori Kesahihan Koherensi (Coherence Theory of Truth) menegaskan
bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan) diakui sahih jika pro­posisi itu memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika.
Teori Kesahihan Korespondensi/Saling Bersesuaian (Correspondence Theory of Truth) mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih apabih proposisi bersesuaian dengan realitas yang menjadi objek pengetahuan itu Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenarai dan kepastian indrawi. Dengan demikian, kesahihan pengetahuan itu dapa dibuktikan secara langsung.
Teori Kesahihan Pragmatis (Pragmatical Theory qf Truth) menegaskan bahwa pengetahuan itu sahih jikalau proposisinya memiliki konsekuensi­-konsekuensi kegunaan atau benar-benar bermanfaat bagi yang memiliki pe­-ahuan itu. Teori kesahihan pragmatis adalah teori kesahihan yang telah dikenal secara tradisional.
Teori Kesahihan Semantik (Semantic Theory of Truth) adalah teori yang mekankan arti dan makna suatu proposisi. Bagi teori kesahihan semantik, proposisi harus menunjukkan arti dan makna sesungguhnya yang mengacu pada referen atau realitas dan bisa juga arti definitif dengan menunjuk ciri yang ada.
Teori Kesahihan Logikal yang berlebih-lebihan (Logical Superfluity Theory of Truth) hendak menunjukkan bahwa proposisi logis yang memiliki term berbeda tetapi berisi informasi sama tak perlu dibuktikan lagi, atau ia telah menjadi suatu bentuk logik yang berlebih-lebihan. Contoh: siklus adalah lingkaran atau lingkaran adalah bulatan dan sebagainya. Dengan demikian, Proposisi lingkaran itu bulat tak perlu dibuktikan lagi kebenarannya.
            Kemudian terdapat empat jenis kebenaran yang secara umum dikenal orang, yaitu kebenaran religius, kebenaran filosofi, kebenaran estetis dan kebenaran ilmiah.
a.       Kebenaran Religius adalah kebenaran yang memenuhi atau dibangun berdasarkan kaidah-kaidah agama atau keyakinan tertentu atau disebut juga kebenaran mutlak yang tidak bisa dibantah lagi. Bentuk pemahamannya adalah dogmatis. Hal yang dimaksud dengan agama adalah ketentuan atau ajara-ajaran yang diturunkan melalui wahyu Tuhan YME, bukan hasil pemikiran atau perenungan manusia, misalnya Islam, Kristen Protestan, Katolik dan Yahudi. Sebagian pihak berpendapat, bahwa agama-agama lain, seperti Bdha dan Hindu dinilai bukan agama, karena merupakan hasil kontemplasi, perenungan, dan pemikiran manusia. Namun, ada pihak lain yang berpendapat bahwa Budha dan Hindu agama karena materinya sama dengan agama lainnya yang penting adalah keyakinan mutlak yang melatar belakanginya. Bahan pembicaraan kita dalam buku ini, setiap keyakinan, baik yang datangnya melalui Tuhan YME maupun tidak disebut agama karena berdasarkan keyakinan yang mutlak.
b.      Kebenaran Filosofis adalah kebenaran hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau the nature, meskipun bersifat subjektip dan relative, namun mendalam karena melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalam intelektual semata. Kebenaran filolofis ini berguna untuk menyadarkan kita pada relatifnya pengetahuan yang kita miliki karena pengetahuan it uterus berubah, dalam arti berkembang. Inti filsafat adalah berfikir, sedangkan dasarnya adalah rasio.
c.       Kebenaran Estetis ialah kebenaran yang berdasarkan indah dan buruk, serta cita rasa estetis. Artinya, keindahan yang bedasarkan harmoni dalam pengertian luas yang menimbulkan rasa tenang, senag, dan nyaman. Misalnya, Golden Section menyebutkan bahwa bentuk dua dimensi yang seimbang adalah dengan skala 2 X 3. Hukum estetika dalam seni rupa ini digunakan dalam ukuran bendera sedunia, misalnya bendera dengan ukuran besar mempunyai lebar 2 meter dan panjang 3 meter, sedangkan ukuran yang kecil lebar 2 cm dan panjang 3 cm.
d.      Kebenaran Ilmiah, yang ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, terutama menyangkut adanya teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti, kebenaran rasional yang ditunjang hasil uji lapangan yang disebut bukti empiris. Kebenaran teoritis adalah kebenaran yang berdasarkan rasio atau kebenaran rasional, berdasarkan teori-teori yang menunjangnya. Pengertian bukti disini adalah bukti empiris, yaitu hasil pengukuran objektif di lapangan. Sifat objektif berlaku umum, dapat diulang melalui eksperimentasi, cendenrung amoral-sesuai apa adanya, bukan apa yang seharusnya, dan merupakan ciri-ciri ilmu pengetahuan.
2.    Metafisika
Kata metafisika itu saat ini memiliki berbagai-bagai arti. Metafisika bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan. Istilah ini bisa juga berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada di batik realitas. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Metafisika biasanya dibagi sebagai berikut.
1. Metafisika Umum atau Ontologi
2. Metafisika Khusus, yang terdiri dari
·     Kosmologi
·     Teologi metafisik
·     Filsafat antropologi

Metafisika Umum  atau Ontologi
Metafisika umum, yang juga populer dengan nama ontologi, membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus. Pembahasan itu dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi yang sesungguh­nya dari penampakan atau penampilan eksistensi itu. Pertanyaan-pertanyaan ontologis yang utama dan paling sering diajukan adalah sebagai berikut: Apa­kah realitas atau ada yang begitu beraneka ragam dan berbeda-beda pada hakikatnya satu atau tidak? Apabila memang benar satu, apakah gerangan yang satu itu? Apakah eksistensi yang sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada itu merupakan realitas yang tampak atau tidak?

Ada tiga teori ontologis yang terkenal.
Idealisme
Teori ini mengajarkan bahwaada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala sesuatu yang tampak dan mewujud nyata dalam alam indrawi hanya merupakan gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dunia ide. Dengan kata lain, realitas yang sesungguhnya bukanlah yang kelihatan, melainkan yang tidak kelihatan. Tokoh idealis­me subjektif, George Berkeley (1685-1753); menyatakan bahwa satu­satunya realitas yang sesungguhnya ialah aku subjektif yang spiritual. Bagi Berkeley tak ada substansi material dan sebagainya, seperti kursi dan meja, karena semuanya itu hanya merupakan koleksi ide yang ada dalam alam pikiran sejauh yang dapat diserap. Eksponen idealisme tran­sendental,l mmanuel Kant (1724-1804), berpendapat bahwa objek peng­alaman kita, yaitu yang ada dalam ruang dan waktu, tidak lain daripada penampilan dari yang tak memiliki eksistensi dan independen di luar pemikiran kita. Idealisme objektif yang dikembangkan oleh George Wil­helm Friedrich Hegel (1770-1831) menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada adalah satu bentuk dari satu pikiran.
Materialisme
Materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Bagi materialis­me, ada yang sesungguhnya adalah yang keberadaannya semata-mata bersifat material atau sama sekali bergantung pada material. Jadi, realitas yang sesungguhnya adalah alam kebendaan, dan segala sesuatu ang mengatasi alam kebendaan itu haruslah dikesampingkan. Oleh bab itu, seluruh realitas hanya mungkin dijelaskan secara materialistis.
Leukippos dan Demokritos (460-370 SM) mengatakan bahwa seluruh realitas bukan cuma satu, melainkan terdiri dari begitu banyak unsur dan unsur-unsur itu tidak terbagi, maka disebut atom  yang berarti tidak dapat dibagi). Atom-atom itu adalah bagian materi yang sangat kecil yang tidak berkualitas dan senantiasa bergerak karena adanya ruang kosong. Jiwa manusia pun terdiri dari atom-atom.
Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa seluruh realitas adalah materi yang tidak bergantung pada gagasan dan pikiran kita. Setiap kejadian adalah gerak yang terjadi oleh keharusan, maka seluruh realitas yang tidak lain dari materi itu senantiasa berada di dalam gerak.
Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) menekankan bahwa materi haruslah menjadi titik pangkal dari segala sesuatu. Bagi Feuerbach, alam material adalah realitas yang sesungguhnya. Adapun karena manusia adalah bagian dari alam material itu, manusia adalah satu realitas yang konkret. Menurut Feuerbach, agama dan Tuhan hanyalah impian manu­sia yang begitu egoistis demi meraih kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
Dualisme
Dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe fundamental yang berbeda dan tak dapat direduksikan kepada yang lainnya. Kedua tipe fundamental dari substansi itu ialah material dan mental. Dengan demikian, dualisme mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang ada secara fisis dan mental atau yang beradanya tidak kelihatan secara fisis.
Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan pluralisme adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan memper­soalkan tipe fundamental dari substansi itu. Memang ada filsafat pluralis­tis yang bersifat dualistis, misalnya Cartesianisme, tetapi ada pula yang tidak.
Metafisika Khusus: Kosmologi
Etimologis, istilah kosmologi berasal dari dua kata Yunani kosmos dan logos. Kosmos berarti dunia atau ketertiban yang merupakan lawan dari chaos (kacau balau atau tidak tertib). Logos berarti kata, percakapan atau ilmu. Jadi, kosmologi berarti percakapan tentang dunia atau alam dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas.
Kosmologi memandang alam sebagai suatu totalitas dari fenomena dan berupaya untuk memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah di dalam suatu kerangka yang koheren. Hal-hal yang biasa disoroti dan diper­soalkan ialah mengenai ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkin­an-kemungkinan, dan keabadian. Metode yang digunakan bersifat rasional dan justru hal itulah yang membedakannya dari berbagai-bagai kisah asal mula dan struktur alam.

Metafisika Khusus: Teologi Metafisik
Teologi metafisik sering juga dikenal dengan nama theodicea kendati sesungguhnya theodicea hanyalah merupakan bagian dari teologi metafisik. Theodicea sebenarnya hanya membahas dan membenarkan kepercayaan kepada Allah Yang Mahakuasa di tengah-tengah realitas kejahatan yang mera­alela di dunia ini.
Teologi metafisik mempersoalkan eksistensi Allah yang dibahas secara terlepas dari kepercayaan agama. Eksistensi Allah hendak dipahami secara rasional. Konsekuensinya, Allah menjadi sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode ilmiah. Apabila Allah dilepaskan dari keper­cayaan agama, hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan berikut ini:
·      Allah tidak ada.
·      Tidak dapat dipastikan apakah Allah ada atau tidak.
·     Allah ada tanpa dapat dibuktikan secara rasional.
·      Allah ada, dengan bukti rasional.
Beberapa filsuf terkenal, seperti Anselmus, Descartes, Thomas Aquinas, dan Immanuel Kant, telah berupaya membuktikan bahwa Allah itu benar­-benar ada. Bukti-bukti rasional yang mereka ketengahkan, antara lain adalah sebagai berikut.
1.     Argumen Ontologis: Semua manusia memiliki ide tentang Allah. Semen­tara itu, diketahui pula bahwa kenyataan atau realitas senantiasa lebih sempurna daripada ide. Dengan demikian, Tuhan pasti ada dan realitas adanya itu pasti lebih sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
2.     Argumen Kosmologis: Setiap akibat pasti punya sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat. Karena itu, dunia pasti memiliki sebab di luar dirinya ,sendiri. Penyebab adanya dunia itu adalah Tuhan.
3.     Argumen Teleologis: Segala sesuatu ada tujuannya. Sebagai contoh: mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan kaki untuk berjalan. Karena segala sesuatu memiliki tujuan, itu berarti seluruh realitas tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dijadikan oleh yang mengatur tujuan itu. Pengatur tujuan itu adalah Tuhan.
4.     Argumen Moral: Manusia bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, dan seterusnya. Itu menunjukkan bahwa ada dasar dan sumber moralitas. Dasar dan sumber moralitas itu adalah Allah.
Filsafat Stoa yang panteistis mengajarkan bahwa segala sesuatu dijadi­kan oleh kekuatan ilahi, yaitu kekuatan alam. Kekuatan ilahi itu menjiwai segala sesuatu. Alam semesta dikuasai oleh logos, yakni rasio Allah. Logos yang adalah rasio Allah itu adalah juga tata tertib dunia, yang menciptakan segala sesuatu, mengatur, serta menuntun segala sesuatu menuju suatu tujuan. Segala sesuatu telah ditentukan oleh hukum logos, yaitu nasib yang tak dapat diubah. Sesungguhnya, determinisme stoisisme yang amat terkenal adalah barangkali yang paling jelas dan paling tegas dari seluruh ajaran metafisika yang panteistis.
Filsafat panteistis Benedictus (Baruch) Spinoza (1632-1677) mengata­kan bahwa segala sesuatu yang ada adalah Allah dan tidak ada sesuatu apapun yang tidak tercakup di dalam Allah. la juga menegaskan bahwa sesung­guhnya tidak ada suatu apa pun yang dapat berada tanpa Allah.
Namun tidak semua aliran filsafat sepakat tentang kebenaran eksistensi Allah di dunia ini, sebagaimana Skeptisisme, David Hume (1711-1776). Ludwing Feuerback (1804-1872), Friedrich Nietzche (1844-1900) dan Sigmund Freud (1856-1939)


Metafisika Khusus: Filsafat Antropologi
Filsafat antropologi adalah bagian metafisika khusus yang mempersoal­kan apakah manusia itu?Apakah hakikat manusia? Bagaimanakah hubung­annya dengan alam dan sesamanya? Dengan kata lain, filsafat antropologi berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai­mana adanya, baik menyangkut esensi, eksistensi, status, maupun relasi­relasinya.
Sebenarnya, sudah sejak zaman purba, manusia dipersoalkan secara filsafati. Pythagoras mengajarkan keabadian jiwa manusia dan perpindahan­nya ke dalam jasad hewan apabila manusia telah mati, dan jika hewan itu mati akan berpindah lagi ke jasad lainnya, demikian seterusnya. Perpindahan jiwa yang demikian itu merupakan suatu proses penyucian jiwa. Jiwa itu akan kembali ke tempat asalnya di langit apabila proses penyuciannya telah selesai. Untuk membebaskan jiwa dari perpindahan itu, manusia harus berpan­tang terhadap jenis makanan tertentu, taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku dalam lingkungan persekutuan Pythagorean, bermusik, dan berfil­safat.
Demokritos (460-370 SM) mengajarkan bahwa manusia adalah materi. Jiwa pun adalah materi yang terdiri dari atom-atom khusus yang bundar, ha­lus dan licin, oleh sebab itu tidak saling mengait satu sama lain. Demikian juga atom-atom yang berbentuk lain. Dengan demikian, atom-atom jiwa gam­pang menempatkan diri di antara atom-atom lainnya dan menyebar ke seluruh tubuh manusia.
Plato (428-348 SM) mengajarkan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh adalah musuh jiwa. Karena tubuh penuh dengan berbagai kejahatan dan jiwa berada di dalam tubuh yang demikian itu, maka tubuh merupakan penjara jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu nous (akal),  thumos (semangat), dan epithumia (nafsu). Karena pengaruh nafsu, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh.
Aristoteles (384-322 SM) menyatakan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tubuh dan jiwa hanya merupakan dua segi dari manusia yang satu. Tubuh adalah materi, dan jiwa adalah bentuk. Manu­sia merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka konsekuensinya ialah pada saat manusia mati, baik tubuh maupun jiwa, kedua-duanya mati. Itu berarti jiwa manusia tidak abadi. Dengan kata lain, sama sekali tidak ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah akhir dari segala-galanya.
Namun, Aristoteles juga mengakui bahwa ada bagian dari jiwa itu yang ti­dak dapat mati.
Selanjutnya, dualisme Descartes (1596-1650) menegaskan bahwa tubuh dan jiwa adalah dua hal yang sangat berbeda dan harus dipisahkan. Tubuh adalah suatu mesin yang terdiri dari bagian-bagiannya yang begitu kompleks. Adapun jiwa adalah sesuatu yang tidak terbagi, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, ditandai oleh kegiatan rohani, seperti berpikir, berkehendak, dan sebagainya. Kendati berbeda dan terpisah, tubuh dan jiwa itu memiliki per­tautan yang erat satu sama lainnya, bagaikan kapal dan juru mudinya.
George Berkeley (1685-1753) berpendapat bahwa jiwa manusia adalah pusat segala realitas yang tampak. Penolakannya terhadap materi menunjuk­kan bahwa Berkeley adalah seorang spiritualis. Akan tetapi, idealisme subjek­tif spiritualis Berkeley tidak berpangkal pada yang abstrak, melainkan pada yang konkret, yang diperoleh lewat pengamatan indrawi. Sesuatu itu dikatakan ada karena dapat dilihat dan dirasakan. Jadi, kebenaran sesuatu itu tergantung pada yang melihat dan yang merasa. Yang melihat dan yang merasa itu adalah yang hadir dalam tubuh manusia, yaitu roh. Tubuh tidak lebih dari tanda kehadiran roh.
Sebaliknya, Feuerbach mengajarkan bahwa di balik alam tidak ada Al­lah. Demikian pula di balik tubuh tidak ada jiwa. Jelas terlihat bahwa Feuer­bach adalah seorang materialis karena ia menyangkal segi rohani manusia.
Feuerbach sendiri tidak mau menyebut ajarannya sebagai materialisme, melainkan organisme. Ia menyatakan bahwa manusia bukan mesin seperti yang diajarkan oleh penganut materialisme. Feuerbach menunjukkan bahwa ia menolak materialisme dengan mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang organis. Selaku makhluk hidup yang organis manusia senantia­sa berhubungan secara konkret dengan sesamanya. Ungkapan itu sekaligus menunjukkan status manusia. Feuerbach menandaskan bahwa tubuh menunj­ukkan manusia sebagai makhluk yang tidak tertutup dalam dirinya sendiri dan yang dengan akal budinya menyadari bahwa ia senantiasa berada dalam relasi aku-engkau.
2.    Aksiologi
Aksiologi adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian, terutama berhubungan dengan masalah atau teori umum formal mengenai nilai. Tampaknya, gagasan mengenai Aksiologi yang diperoleh oleh Lotze, kemudian Brentano, Husserel, Scheller, dan Nicolai Hatmann. Scheller mengontraskannya dengan praeskologi, yaitu pengertian umum mengenai hakikat tindakan. Secara khusus, bersangkutan dengan deontologi, yaitu teori moralitas mengenai tindakan yang benar.
Dalam penilaiannya, terdapat dua bidang yang paling populer saat ini, yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku dan keadaan atau tampilan fisik. Dengan demikian, kita mengenal aksiologi dalam dua jenis, yaitu etika dan estetika.
1.      Etika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas perbuatan dari sudut baik dan jahat. Perlu diamati disini, bahwa perbuatan manusia senantiasa mendapat penilaian baik dan jahat. Tentulah bagi sesorang dalam menilai arti baik, tetapi mengapa yang sebaliknya disebut jahat, bukan buruk atau tidak baik saja. Adapun alasannya adalah bahwa yang dimaksud dengan jahat disini adalah perbuatan-perbuatan yang akan merendahkan atau merusak kualitas kehidupan seseorang.
Etika dalam bahasa Yunani, ethos yang artinya kebiasaan, habbit, atau custom. Maksudnya, hampir tidak ada orang yang tidak memiliki kebiasaan baik atau buruk. Oleh karena itu, istilah etis dan tidak etis dinilai kurang tepat. Adapun istilah yang tepat adalah etika baik dan etika jahat.
2.   Estetika merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan jelek. Secara umum, estetika disebut sebagai kajian filsafati mengenai apa yang mermbuat rasa senang. Secara visual dan imajinasi, estetika disebut juga kajian mengenai keindahan, atau teori tentang cita rasa, dan kritik dalam kesenian kreatif serta pementasa. Tokoh paling terkenal dalam bidang ini adalah Alexander Baumgarten (1714-1762) dalam disertasinya pada 1735 yang justru dianggap awal diwacanakannya estetika.
      Aksiologi selain pembagiannya berdasarkan etika dan estetika, para ahli membaginya dalam liputan tentang hakikat penilaian atas kebenaran, kebaikan, kehidupan, dan kesucian. Dalam hal ini, setiap ahli mempunyai hak untuk mengajukan pendapatnya sendiri-sendiri, dan pembaca tidak mesti mangikuti satu diantara beberapa pendapat itu karena yang terpenting adalah pengakuan atas alasannya.

B.    HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU PENGETAHUAN
Realita Hubungan Filsafat Dengan Ilmu Pengetahuan
Kita berusaha melihat realita hubungannya, berdasarkan suatu asumsi, bahwa keduanya merupakan kegiatan manusia. Kegiatan manusia dapat diartikan dalam prosesnya dan juga dalam hasilnya. Dilihat dari hasilnya, filsafat dan ilmu merupakan hasil daripada berfikir manusia secara sadar, sedangkan dilihat dari segi prosesnya, filsafat dan ilmu menunjukkan suatu kegiatan yang berusaha untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan manusia (untuk memperoleh kebenaran dan pengetahuan), dengan menggunakan metode-metode atau prosedur-prosedur tertentu secara sistematis dan kritis.
Filsafat dan ilmu memiliki hubungan saling melengkapi satu sama lainnya. Perbedaan antara kedua kegiatan manusia itu, bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling mengisi, saling melengkapi, karena pada hakekatnya, perbedaan itu terjadi disebabkan cara pendekatan yang berbeda. Maka dalam hal ini perlu membandingkan antara filsafat dan ilmu, yang menyangkut perbedaan-perbedaan maupun titik temu antara keduanya.

1. Hubungan Filsafat dan Ilmu.
Henderson, memberikan gambaran hubungan (dalam hal ini perbedaan) ilmu sebagai berikut :

Ilmu (Science)
(1).    Anak filsafat
(2).    Analitis;memeriksa semua gejala melalui unsur terkecilnya untuk memperoleh gambaran senyatanya menurut bagiannya.
(3).    Menekankan fakta-fakta untuk melukiskan obyeknya; netral dan mengabstrakkan faktor keinginan dan penilaian manusia.
(4).    Memulai sesuatu dengan memakai asumsi-asumsi.
(5).    Menggunakan metode eksperimen yang terkontrol sebagai cara kerja dan sifat terpenting; menguji sesuatu dengan menggunakan penginderaan.
Filsafat
-   Induk Ilmu
-   Sinoptis; memandang dunia dan alam semesta sebagai keseluruhan, untuk dapat menerangkannya, dan memahaminya secara keseluruhan.

-   Bukan saja menekankan keadaan sebenarnya dari obyek, melainkan bagaimana juga seharusnya obyek itu. Manusia dan nilai merupakan faktor penting.
-   Memeriksa dan meragukan segala asumsi-asumsi.
-   Menggunakan semua penemuan ilmu pengetahuan; menguji sesuatu berdasarkan pengalaman dengan memakai fikiran.

Semua ilmu sudah dibicarakan dalam filsafat. Bahkan beberapa ilmu pengetahuan lahir dari filsafat, berarti ilmu yang memisahkan diri dari filsafat. Misalnya matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, psikologi dan sosiologi.
Ilmu bersifat analitis, ilmu pengetahuan hanya menggarap salah satu lapangan pengetahuan sebagai obyek formalnya. Sedangkan filsafat belajar dari ilmu pengetahuan dengan menekankan keseluruhan dari sesuatu (sinoptis), karena keseluruhan mempunyai sifat sendiri yang tidak ada pada bagian-bagiannya.
Ilmu bersifat deskriptif tentang obyeknya agar dapat menemukan fakta-fakta, tekhnik-tekhnik dan alat-alat. Filsafat tidak hanya melukiskan sesuatu, melainkan membantu manusia untuk mengambil putusan-putusan tentang tujuan, nilai-nilai dan tentang apa-apa yang harus diperbuat manusia. Filsafat tidak netral, karena faktor-faktor subyektif memegang peranan yang penting dalam berfilsafat.
Ilmu mulai dengan asumsi-asumsi. Filsafat juga mempunyai asumsi-asumsi dan menyelidikinya atau merenungkannya karena ia meragukan terhadap asumsi tersebut.
Ilmu pengetahuan menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas. Verifikasi terhadap teori dilakukan dengan jalan mengujinya dan praktek berdasarkan penginderaan. Sedangkan filsafat menggunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Verifikasi dilakukan filsafat dengan melalui akal fikiran yang didasarkan kepada semua pengalaman insane, sehingga dengan demikian filsafat dapat menelaah masalah-masalah yang mungkin tidak dapat dicarikan penyelesaian oleh ilmu.
Selanjuatnya Prof. Sikun Pribadi mengemukakan perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
“ Jelaslah, bahwa perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, ialah bahwa ilmu pengetahuan bertolak dari dunia fakta (jadi bersifat ontis), sedangkan filsafat bertolak dari dunia nilai, artinya selalu menghubungkan masalah dengan makna keseluruhan hidup (jadi bersifat deontis), walaupun kedua bidang aktivitas itu sifatnya kognitif”.
Jadi ilmu berhubungan dengan mempersoalkan fakta-fakta yang aktual, yang diperoleh dengan eksperimen, observasi, dan verifikasi, hanya berhubungan sebagian dari asfek kehidupan atau kejadian yang ada di dunia ini, sedangkan keseluruhan yang bermakna mengemukakan perbedaan antara filsafat dan ilmu sebagai berikut :
1.      Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, filsafat mencoba berhubungan dengan keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang sesuatu.
2.      Ilmu menggunakan pendekatan analitis dan deskriptif, sedangkan filsafat sintetis atau sinoptis, berhubungan dengan sifat-sifat dan kualitas alam dan hidup secara keseluruhan.
3.      Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian, dan organism menjadi organ-organ, filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk sintetis yang menjelaskan dan mencari makna sesuatu secara keseluruhan.
4.      Ilmu menghilangkan fakto-faktor pribadi yang subyektif, sedangkan filsafat tertarik kepada personalitas, nilai-nilai dan semua pengalaman.
5.      Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan filsafat tidak hanya tertarik kepada bagian-bagian yang nyata, melainkan juga kepada kemungkinan-kemungkinan yang ideal dari suatu benda, serta nilai dan maknanya.
6.      Ilmu meneliti alam, mengontrol proses alam sedangkan tugas filsafat mengkritik, menilai dan mengkoordinasikan tujuan.
7.      Ilmu lebih menekankan pada deskripsi hukum-hukum fenomenal dan hubungan kausal. Filsafat tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan pertanyaan “why” dan “how”.
  1. Titik Temu Fisafat dan Ilmu
Di samping beberapa pendapat di atas, ada beberapa titik pertemuan antara filsafat dan ilmu, yaitu:
1.      Banyak ahli filsafat yang termasyhur, telah memberikan sumbangannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya Lebiniz menemukan “Diferensial Kalkulus”, Whitehead dan Bertrand Russel dengan teori matematikanya yang terkenal.
2.      Filsafat dan ilmu pengetahuan keduanya menggunakan metode-metode reflective thingking dalam menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup ini.
3.      Filsafat dan ilmu pengetahuan keduanya menunjukkan sikap kritis dan terbuka, dan tidak memberikan perhatian yang tidak berat sebelah terhadap kebenaran.
4.      Keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis.
5.      Ilmu memberi filsafat sejumlah bahan-bahan deskriptif dan faktual serta esensial bagi pemikiran filsafat.
6.      Ilmu mengoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan dengan pengetahuan yang ilmiah.
7.      Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong-potong, yang menjadikan ilmu yang berbeda-beda, dan menyusun bahan-bahan tersebut kedalam suatu pandangan tentang hidup dan dunia yang lebih menyeluruh dan terpadu.

Perbandingan Filsafat Dengan Pengetahuan Ilmiah
Di sini kita mempunyai titik pangkal untuk menentukan perbedaan antara pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) dengan filsafat itu.
Persamaannya ialah sebagai berikut:
a.       Kedua-duanya mencari rumusan-rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyeknya selengkap-lengkap sampai habis-habisan.
b.       Kedua-duanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau pertalian yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-sebabnya.
c.       Kedua-duanya hendak memberikan sintesis yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
d.       Kedua-duanya mempunyai metode dan sistem.
e.       Kedua-duanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan. Seluruhnya timbul dari hasrat manusia akan kebenaran (obyektifitas), akan pengetahuan yang lebih mendalam yang mengasas.
Perbedaannya ialah sebagai berikut:
a.   Obyek material (lapangan) filsafat itu bersifat universal (umum) yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan obyek material (lapangan) ilmu pengetahuan (pengetahuan ilmiah) itu bersifat khusus dalam arti khusus masing-masing bidang pengolahannya saja.
            Karena sifat khusus dari ilmu pengetahuan itu, maka ilmu pengetahuan itu adalah suatu spesifikasi. Dari spesifikasi itu orang masih terus-menerus mengadakan diferensiasi sampai kepada spesialisasi. Oleh karena itu ilmu pengetahuan biasanya disebut juga ilmu spesial, ilmu pengetahuan mengejar obyektifitas (kebenaran) dan menyatakan bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar, tetapi ilmu pengetahuan tidak dapat memberi jawaban apakah kebenaran itu sendiri. Di lain pihak, filsafat itu bersifat universal, maka pendekatan (approach) filsafat bermuara kepada reflection/contemplation (perenungan-pertimbangan).
b. Obyek formal (sudut pandang) filsafat itu bersifat non-fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mengasas. Sedangkan ilmu pengetahuan bersifat fragmentaris dan abstrak dengan peninjauan secara ekstensif dan intensif.
Dengan ekstensif berarti ilmu pengetahuan itu dalam meninjau obyek materialnya hanyalah sebagian daripada realita. Dengan intensif berarti selalu meninjau obyek materialnya dari sudut pandang tertentu yang menuju kepada spesialisasi atau pengkhususan masing-masing bidang keilmuan itu.
Disamping itu obyek formal (sudut pandangan) ilmu pengetahuan itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita. Misalnya manusia itu berpotensial haus, ia minum.
Karena masalahnya mengkhusus dan menteknis, maka aspirasi ilmu pengetahuan itu ialah ketepatan. Ilmu pengetahuan dijalankan manusia dengan menteknis. Tujuan untuk menyempurnakan kodratnya, supaya lebih sempurna mengabdi kepada masyarakat.
Oleh karena itu manusia dalam hidup dan kehidupannya, pada hakikatnya menyempurnakan barang-barang material, maka timbullah beberapa problema sebagai berikut:
1. Apakah materi atau barang material itu?
2. Bagimanakah hubungan materi dengan kodrat manusia?
3. Apakah sebabnya tercipta hubungan itu?
4. Apakah artinya dan manakah batas penyempurnaan barang-barang material itu?
5. Bila penyempurnaan barang-barang material itu (dengan teknik) ditujukan kepada kebahagiaan hidup manusia, sebagai individual maupun seluruh manusia, karena tingkat penyempurnaan itu belum tentu membawa kebahagiaan hidup manusia, maka apakah dan bagaimanakah fungsi teknis yang sebenarnya untuk manusia itu?
c.    Filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang mementingkan kontrol atau pengawasan.
      Misalnya untuk mengetahui sesuatu dalam ilmu pengetahuan haruslah diadakan riset.
      Oleh karena itu nilai ilmu pengetahuan, timbul dari kegunaannya, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
d.   Filsafat membuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan kepada explisitis dari apa yang terkandung dari pengalaman realita sehari-hari.
      Filsafat tidak pernah memikirkan persoalan tentang dari tahu kepada yang tidak tahu, karena untuk tahu tetap juga tidak tahu dan tidak tahu adalah juga sudah tahu tentang sesuatu itu.
      Negatifitas daripada tidak tahu adalah sebagian daripada dasar atas sisa tahu secara positif dan visa versa.  Apa yang mula-mula, sekarang diketahui sesudah perenungan filosofis tampak menjadi kurang diketahui dan lebih misteri (penuh rahasia).
Bagi ilmu pengetahuan bersifat diskursif, artinya menguraikan secara logis. Prosesnya mulai dari tahu kepada tidak tahu dan hanya ilmu pengetahuanlah yang menemukan pengertian logis.
e.    Seorang tokoh Eksistensialisme Gabriel Marcell mengemukakan istilah “Problema dan Misteri”.
            Pada prinsipnya filsafat itu membawa kepada suatu misteri (penuh rahasia) yang tidak dapat dipecahkan sekaligus. Meskipun demikian potensial daripada sesuatu usaha untuk memperoleh sesuatu keterangan, maka pemikiran filsafat itu tetap pengertian secara mendalam, karena misteri realita itu sendiri mengajak manusia untuk menembus secara bijaksana dan lebih mendalam serta untuk menjelaskan misteri itu sendiri.
            Kadang-kadang situasi ini dinyatakan oleh bayangan dari suatu cahaya yang bersinar dalam kegelapan dan sebagai suatu cahaya, maka filsafat itu memancarkan sinar cahayanya melalui kegelapan misteri.
            Di lain pihak suatu problema menggambarkan dirinya sendiri dalam prinsip sebagai suatu yang dapat dipecahkan, apabila seseorang dapat mengatur data-data yang cukup dan mengetahui metode yang benar. Pemecahan suatu problema itu dapat membawa kepada persoalan-persoalan baru, minimal sebagian daripada problema itu dapat dipecahkan.
      Hal demikian adalah persoalan daripada ilmu pengetahuan.
f.        Filsafat hendaknya memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak yang mendalam, yang mengasas (first causes). Sedangkan ilmu pengetahuan menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu dalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary causes).
      Memang benarlah bahwa ilmu pengetahuan itu hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan atau realita yang kita alami ini, mengenai manusia dan dunia dan dengan ini, memberikan pengetahuan yang pasti, obyektif dan sistematis.
Akan tetapi ini belum cukup, belum selesai dengan tuntas.
      Oleh karena itu kita harus melangkah lagi kepada bahasan tentang tiga buah alasan prinsipil antara filsafat dan ilmu pengetahuan itu seperti pada penguraian berikut ini.
     
Tingkat/Ruangan Ilmu Pengetahuan
Seperti telah dikatakan, penyelidikan filsafat dilakukan dengan sesuatu metode yang bersifat ilmiah artinya dengan pengamatan-pengamatan kenyataan-kenyataan, yang hasilnya digolong-golongkan, dianalisis, dijadikan satu sistem.
Disamping itu sekiranya pada tempatnyalah untuk mengemukakan bahwa dalam kegiatan kejiwaan manusia dapat dibedakan antara empat cara atau tipe mengerti maka dapatlah dibedakan empat tingkatan/ruangan pengetahuan (level of thought) sebagai berikut :
1.      Tingkatan ilmu pengetahuan (level of science).
2.      Tingkatan ilmu pasti (level of mathematic).
3.      Tingkatan fisafat (level of philosophy).
4.      Tingkatan agama (level of religion).
Masing-masing tingkatan atau ruangan pengetahuan ini mempunyai corak, derajat kapasitas, cara berfikir, ukuran-ukuran dan sifat-sifat tersendiri. Tidaklah dalam arti seakan-akan sifat-sifat ini sama sekali bertentangan satu sama lain karena yang berfikir pada berbagai tingkatan pengetahuan ini selalu akal manusia yang sama, tetapi dalam arti bahwa  pada tingkatan atau level tertentu ada beberapa corak tertentu yang lebih tampil ke muka, sehingga boleh dikatakan berbeda-beda satu sama lain.
            Aristoteles yang mengemukakan pembedaan tingkatan pengetahuan ini dan dalam perjalanan sejarah keempat tingkatan pengetahuan ini selalu tampak kembali.
            Jadi dapatlah disimpulkan bahwa filsafat dapat dikatakan mengenai lain-lain ilmu pengetahuan akan tetapi filsafat janganlah dianggap “kumpulan dari semua ilmu-ilmu pengetahuan” belaka. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tersendiri, merupakan tingkatan “pengetahuan” yang tersendiri atau tingkatan pengetahuan otonom.

Perbedaan Prinsipil Filsafat Dengan Ilmu Pengetahuan
Dalam mengupas masalah perbedaan prinsipil anatara filsafat dengan ilmu pengetahuan di sini dikemukakan tiga buah alasan perbedaan yaitu :
a.       Penjelasan yang terakhir
Seorang ahli ilmu hayat misalnya mempelajari gejala-gejala “hidup” obyeknya ialah mahluk-nahluk yang hidup. Maka ia akan menyelidiki semua pertanyaan-pertanyaan hidup dari tumbuh-tumbuhan, binatang dan dari manusia pula untuk diterangkannya kemudian. Maka ia mencari pengetahuan tentang peredaran darah, pencernaan, organ-organ dan sebagainya serta mencoba menunjukkan semua factor-faktor yang mempengaruhi hidup itu. Akan tetapi bahwa mahluk-mahluk yang dipelajarinya itu “hidup”, itu diterimanya tanpa pembuktian lebih lanjut. Karena hal ini tidak menjadi lapangan penyelidikannya atau obyek materialnya.
Seorang filsuf sebaliknya yakin bahwa misalnya pencernaan atau peredaran darah itu tidak habis diterangkan dengan menujukkan kelenjar-kelenjar, alat-alat, getah-getah dan sebagainya, melainkan terletak dalam adanya mahluk itu hidup. Dan apabila ia mencoba memperoleh pengertian tentang hidup itu dan sampai pada kesimpulan bahwa hidup itu bersifat “dapat menggerakkan dirinya sendiri”/swagerak(bahasa latin:motus sui).
Maka ia bertanya terus apakah masalah bergerak dan mengapakah barang hidup itu bergerak dan barang mati itu tidak bergerak?
Begitu juga mengenai manusia, seorang filsuf tidak hanya bertanya misalnya :
  1. Bagaimanakah manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sehari-hari?
  2. Bagaimanakah sifat-sifatnya kebudayaan itu hasil ciptaanya?
  3. Tetapi, apakah manusia itu ?
  4. Apakah sifatnya yang paling pokok?
  5. Apakah ia mempunyai fikiran yang membedakannya dari semua mahluk-mahluk lainnya di alam dunia?
  6. Apakah ia mempunyai jiwa yang mendorongnya untuk mencari kebutuhannya sendiri dan mengapa ia terdorong untuk berbuat demikian? Jadi tak puas dengan secondary causes dengan proximate explanation, melainkan menerobos sampai intisari, sampai dasar-dasar yang paling dasar, yang memberikan penjelasan yang terakhir, ultimate explanation dan first causes.
  7. Keinginan Akan Sytesis (akan pandangan yang meliputi keseluruhannya)
Ilmu pengetahuan itu seperti apa yang telah dikatakan ada bermacam-macam, ada banyak, karena kenyataan memang beraneka ragam pula. Didorong oleh keinginan untuk mengerti dengan lengkap dan mendalam, maka orang membagi-bagi ilmu pengetahuan menjadi berbagai-bagai ilmu pengetahuan yang masing-masing mempelajari satu lapangan yang khusus. Dan dalam pengkhususan itu orang masih terus mengadakan spesialisasi lebih lanjut. Akan tetapi sementara itu orang merasakan keinginan untuk mengerti totalitasnya (keseluruhannya) demikian pula dalam spesialisasi dalam lapangan ilmu pengetahuan khusus orang itu merasakan bahwa bagian-bagian hanya dapat dimengerti jika dipandang dalam keseluruhannya.
Demikian halnya di dalam ilmu pengetahuan yang telah khusus. Demikian pula mengenai seluruh lapangan ilmu pengetahuan maka disamping keinginan akan pengetahuan yang mengenai seluruhnya di dalam satu cabang pengetahuan terasa juga dorongan untuk mempunyai pandangan yang melampaui batas-batas pengkhususan itu (ini sudut negatifnya) dan yang mengenai seluruh kenyataan/realitas (ini sudut positifnya). Dengan perkataan lain lagi: ilmu pengetahuan yang dapat dikatakan pernyataan dari hasrat untuk mengerti, untuk mencapai kebenaran. Jadi telah menunjukkan keunggulan manusia adalah jiwanya yang dengan sadar mengalahkan dunia kebendaan untuk mengabdi kepadanya. Akan tetapi hasrat atau dorongan untuk mengerti itu lebih lanjut lagi. Ilmu pengtahuan itu bagi jiwa manusia masih terlalu terbatas adanya, terlalu terbagi-bagi pula. Yang dikehendaki oleh akal budi manusia adalah kesatuan di dalam kebanyak ragaman itu, pandangan yang meliputi seluruh lapangan ilmu pengetahuan. Sedang dasarnya yang lebih dalam lagi ialah: bagi seluruh dunia, manusia yang menjadi pusat dan puncaknya. Sambil hidup di dalam dunia ini haruslah mencari tujuan hidupnya, memberikan arti dan isi kepadanya. Dan haruslah sesuai dengan harta dan martabat manusia (barsifat manusiawi) artinya dengan sadar bebas merdeka ia harus menentukan jalannya. Ia harus menentukan sikap dan kedudukannya terhadap sesama manusia, terhadap dirinya sendiri dan terhadap Tuhan pula. Dengan lain perkataan: ia harus mengerti tentang segala sesuatu itu, dan menempatkan dirinya di dalam keseluruhan itu. Maka di atas hasil-hasil penyelidikan ilmu pengetahuan ia memerlukan suatu pengetahun lagi yang lebih luas, yang mengenai keseluruhan yang ada, yang meliputi semua lapangan kehidupannya, dan dengan mana ia dapat menempatkan dirinya sendiri di dalam keseluruhan itu. Pengetahuan inilah yang kita sebut filsafat”.
h.      Pernyataan yang timbul dari Ilmu pengetahuan itu sendiri
Lain dari pada itu ilmu pengetahuan itu tidak dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang timbul bagi seorang manusia, malahan ilmu pengetahuan itu sendiri menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Seperti telah diketahui tadi, ilmu hayatmisalnya tanpa pembuktian menerima adanya mahluk-mahluk yang hidup. Apbila seorang ahli alam menyelidiki benda-benda mati, maka ia harus menerima adanya benda-benda hidup, hal itu tidak manjadi persoalan bagi mereka.
Dan ini berpangkalan pada pengertian dan kejadian-kejadian yang oleh ilmu pengetahuan itu dianggap sudah pasti, tak memerlukan pembuktian ataupun penyelidikan lagi. Ahli kimia msalnya berpangkalan bahwa ada benda-benda material. Ilmu jiwa berdasrakan sangkaan bahwa manusia memang mempunyai jiwa.
Ahli sejarah berpangkaln pada pengakuan bahwa memang ada terjadi peristiwa-peristiwa sejarah ada momentum-momentum yang bersejarah bahwa ada waktu, lagipula ia sebagai ahli memang dapat atau sanggup mengetahui peristiwa-peristiwa atau momentum-momentum. Ini semuanya tidaklah dipersoalkan atau perlu dibuktikan terlebih dahulu. Ini diterima sebagai kenyataan. Akan tetapi sementara itu teranglah bahwa ini tidak seterang seperti anggapan mereka. Seorang ahli kimia tiak bertanya: ”apakah benda itu” dan mengapa justru benda itu ada?
Ahli sejarah tidak bertanya mengenai:
a.       Siapakah sebetulnya pada hakikatnya manusia itu?
b.       Mengapa ia hidup di dalam waktu?
c.       Mengapa ia selalu hidup bermasyarakat?
d.       Mengapa manusia tentu menciptakan suatu kebudayaan? Dan seterusnya.
Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan timbul! Seorang dokter menunjukan hubungan sebab-akibat antara dua gejala yang diperiksanya, misalnya antara makan dan matinya seorang pasien itu.
Akan tetapi ia tidak bertanya mengenai:
a.       Apakah arti sebab itu?
b.       Apakah memang ada “sebab” itu?
Tetapi manusia toh bertanya demikian! Dan pada umumnya pengetahuan tentu beranggapan bahwa manusia itu mencari kebenaran dan mencapai pengetahuan. Akan tetapi ilmu pasti, ilmu kimia, ilmu hayat, sosiologi, ilmu jiwa, ilmu sejarah atau ilmu pengetahuan yang khusus manapun juga tidak memberikan jawaban atau penjelasan tentang apakah kebenaran itu, apakah kebenaran itu memang dapat dicapai oleh akal budi manusia. Padahal  ini merupakan pertanyaan yang sangat penting, yang lebih penting dan menentukan dari pada semua hasil ilmu pengetahuan yang khusus itu karna pertanyaan ini mengenai manusia sendiri dan dari jawaban atas pertanyaan ini tergantunglah seluruh nasip ilmu pengetahuan itu. Teranglah sekarang bahwa ilmu-ilmu pengetahuan menelorkan banyak soal-soal yangjawabannya terletak di luar ilmu pengetahuan itu sendiri. Maka jelas bahwa kita sebagai manusia disamping ilmu-ilmu pengetahuan itu khusus masih memerlukan suatu ilmu pengetahuan lain lagi, suatu ilmu pengetahuan yang khusus mempelajari soal-soal seperti tersebut di atas. Dan ilmu-ilmu pengetahuan itu tak lain ialah “filsafat”, filsaptlah yang bertugas dalam hal:
  1. memberikan kenyataan yang “ terakhir”;
  2. memberikan syntesis yang diinginkan;
  3. menjawab pertanyaan–pertanyaan yang timbul dari ilmu-ilmu pengetahuan;
  4. mempelajari apa yang terdalam di dalam barang-barang, di dalam dunia, di dalam manusia itu sendiri.
Suatu ilmu pengetahuan yang mempersoalkan justru “adanya” kesemuanya dan menunjukan sebab-sebab dan dasarnya.
Semuanya ilmu-ilmu pengetahuan tentu berdasarkan anggapan bahwa barang-barang yang dipandangnya sebagai obyek itu tentu ada, akan tetapi ilmu-ilmu pengetahuan itu tidak mengatakan sepatah katapun tentang:
  1. apakah yang disebut “ada” itu?
  2. Apakah hidup itu?
  3. Apakah sebab itu?
  4. Apakah pikiran itu?
  5. Apakah yang baik itu?
  6. Apakah ngerti itu?
  7. Apakah yang buruk itu?
  8. Apakah kebenaran itu?
  9. Apakah kemerdekaan itu?
  10. Apakah jiwa itu dan dan mengapa kita atau ajal mati?.......dan sebagainya.
Ahli filsafat sebaliknya justru hendak memiliki tentang:
  1. Apakah “ada” itu?
  2. Dari manakah asalnya “ada” itu?
  3. Apakah tujuan “ada” itu?
  4. Apakah sebab-sebabnya “ada” itu?
  5. Apakah syarat-syaratnya “ada” itu?...........dan sebagainya.
Apakah ternyata bahwa “ada” itu ada tingkatannya, maka dipersoalkanlah apa arti ”ada” itu dalam setiap tingkatan itu, dalam barang-barang mati, dalam tumbuh-tumbuhan, dalam binatang-binatang dan dalam mmanusia. Dan apabila ternyata bahwa manusia itu sendiri belumlah merupakan penjelasan yang terakhir dari semuanya itu, maka diteruskanlah penyelidikannya hingga sampailah ia pada Tuhan, sebab pertama (causa prima) dan tujuannya terakhir dari dunia dan manusia. Maka jika misalnya ilmu mendidik dibangun atas keyakinan bahwa manusia memang dapat dididik, filsafatlah yang membicarakan apakah manusia itu sesungguhnya, apakah dan mengapakah ia perlu atau mungkin dididik. Lagi apabila orang dalam ilmu mendidik berbicara tentang misalnya nilai-nilai kepribadian, nilai sosial. Tujuan, naluri, kehendak bebas, hidup, kesusilaan, maka kesemuanya itu diambil dari pengalaman sehari-hari, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan sampai habis-habisan oleh ilmu mendidik, melainkan oleh filsafat. Kalau orang tokoh berbicara tentang hal-hal tersebut dan memberikan definisi-definisi, maka itu sebetulnya “dipinjem” dari filsafat. Dengan filsafat merupakan mata rantai yang menghubungkan semua ilmu-ilmu pengetahuan yang telah khusus itu oleh karena filsafat itu justru mempelajari pengertian-pengertian yang paling umum dan dasar-dasar yang paling dasar yang terdapat kembali dalam setiap ilmu pengetahuan, berlaku untuk setiap ilmu pengetahuan, merupakan pokok pangkalan dan dasar bagi ilmu pengetahuan lainya. Inilah sebabnya maka filsafat disebut ilmu pengetahuan ”umum” atau universal. Ini tidak dalam arti bahwa seakan-akan filsafat itu “mengerti semua tentang semua”yang berlaku buat ilmu sepengetahuan lainnya. Misalnya:
a.       Tentang “ada” itu yang terdapat kembali dalam setiap barang yang ada,
b.       Tentang pengetahuan manusia,
c.       Tentang alat yang dipergunakan oleh setiap ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Universal juga dalam arti, meliputi keseluruhan yang ada. Lapangan yang dikerjakan oleh filsafat itu sangat luas sekali, semua yang ada yang harus ada atau dapat ada itu termasuk obyeknya.
Jadi lain dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang terbatas pada salah satu lapangan pengalaman yang tertentu saja maka filsafat mengenai semua lapangan-lapangan pengalaman sekedar manusia dapat memperoleh pengetahuan tentangnya. Sifat universal filsafat itu ternyata dari sejarah pula.
Para ahli fikir ternyata mempersoalkan segala-galanya, mereka berbicara ;
  1. Tentang hal mengerti, syarat-syaratnya dan metode-metodenya.
  2. Tentang ada (being) dan tidak ada.
  3. Tentang alam, dunia dan seisinya.
  4. Mencoba menentukan apa yang baik dan apa yang buruk
  5. Apakah hakikat manusia dan hubungannya dengan semua mahluk-mahluk lainnya.
  6. Malahan Tuhan pun tak dikecualikannya.
Akhirnya sifat universal ternyata juga dari adanya filsafat hendak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul bagi setiap orang, asal saja ia hidup sadar dan mempergunakan fikirannya.           

C.   HUBUNGAN FILSAFAT DAN AGAMA
Kontradiksi Kehidupan Konkrit Manusia
     Seperti telah diuraikan bahwa kita harus membedakan empat tingkatan/ruangan pengetahuan (level of thought), yaitu :
1.      Tingkatan ilmu pengetahuan (ilmu alam dan kebudayaan)
2.      Tingkatan ilmu-ilmu pasti.
3.      Tingkatan filsafat.
4.      Tingkatan agama atau theology.
Masing-masing tingkatan ini mempunyai metode, cara penyelidikan, ukuran-ukuran, hukum-hukum sendiri, yang tidak boleh “dioper” atau dialihkan ke tingkatan lain dengan semau-maunya saja.
Juga mengenai peranan dan kepentingan filsafat itu. Dari uraian diatas teranglah bahwa filsafat merupakan pertolongan yang sangat penting pula pengaruhnya terhadap seluruh sikap dan pandangan orang, karena filsafat justru hendak memberikan dasar-dasar yang terdalam mengenai hakikat manusia dan dunia.
Akan tetapi, walaupun kita akan selalu mempertahankan pendapat bahwa filsafat adalah usaha menerangkan segala sesuatu itu sampai kepada dasar-dasar yang terdalam akan tetapi sering terjadi pula bahwa filsafat tidak dapat menerangkan realitas yang kita alami. Misalnya; hasrat mengejar kemerdekaan: bahwa manusia adalah merdeka, artinya ialah bahwa manusia mengatasi dan menguasai materi, bahwa ia tidak seluruhnya terikat pada materi dan dikuasai oleh materi. Kemerdekaan kita seakan-akan merupakan sayap dengan mana manusia dapat membumbung keatas. Akan tetapi yang terang dan nyata yang tak dapat disangkal bahwa yang kita alami sendiri ialah: ada luka-luka pada sayap kita itu. Kemerdekaan kita berupa sayap, tetapi sayap yang luka.
Kemudian kita seakan-akan berada dalam belenggu. Penyebabnya kemungkinan akan tetap rahasia bagi kita. Belum pernah filsafat dapat menunjukkan sebab itu.
Kemerdekaan berdasarkan pengetahuan. Ini berarti bahwa kemerdekaan kita itu berdasarkan intelek/akal fikiran kita.
Bagaimanakah keadaan fikiran kita? Bagaimanakah juga harus diakui bahwa pengetahuan kita tentang tujuan manusia demikian kurang terangnya, hingga kebanyakan manusia tidak mempunyai orientasi yang cukup, orientasi yang memungkinkan bergerak kearah tujuan tadi. Dan memang paling sedikit dapatlah disangsikan apakah manusia itu jika hanya berfikir sandiri dapat memperoleh pengetahuan yang cukup tentang hal ini.
Kita disini tidak mempersoalkan pengetahuan yang abstrak tentang Tuhan, pengetahuan yang tidak menarik (itu memang ada). Kita memperbincangkan pengetahuan-pengetahuan yang memenuhi hati, “pengetahuan yang mendinamisir” jiwa, kita membicarakan pengetahuan yang mendekatkan Tuhan yang taqarrub ilallah, pengetahuan yang member hidup. Pengetahuan yang semacam itu dapat dicapai oleh manusia berdasarkan kekuatannya sendiri saja padahal hanya pengetahuan yang semacam inilah yang akan cukup kuat untuk mendorong kita ke atas.
Kesadaran penuh dengan diri sendiri dengan badanya, dengan kesenangannya. Ikatan dunia material adalah menjadi sedemikian rupa sehingga manusia-manusia sangat sukar berfikir tentang yang tinggi-tinggi, tentang cita-cita rohani yang mulia, tentang Tuhan dan pengabdian kepadaNya. Manusia diikat dan dicenderungkan oleh pancainderanya kepada dunia material. Inilah yang lebih terasa daripada dorongan yang tinggi-tinggi itu.
Bukan saja fikiran kita tetapi juga dorongan-dorongan yang ada pada kita itu mengandung luka-luka. Jika mengingat kodratnya yang rohani, bukankah manusia harus terdorong akan kesempurnaan rohani? Memang pada hakikatnya dorongan ini ada, bahkan terkadang terasa pula akan tetapi apakah lagi yang kita lihat sehari-hari? Kebanyakan manusia sehari-hari hanyalah penuh dengan dorongan kesenangan/badan/jasmani. Inilah kebanyak lebih terasa.
Memang demikian manusia itu, sebagai rohani ia pada hakikatnya mempunyai benih kemerdekaan. Ia hendak merdeka, ia ingin lepas dari godaan kejasmaniannya, ia ingin bebas merdeka, akan tetapi sementara itu merupakan kemerdekaan yang terikat yang terbelenggu dan sebabnya…Filsafat belum pernah dapat menerangkan kekurangan ini.
Buat filsafat hal ini selalu akan merupakan rahasia. Bagaimanakah mungkinnya bahwa manusia yang menurut kodratnya mengatasi dunia kebendaan yang seharusnya hanya mempergunakan ‘dunia” itu untuk mencapai kerohaniannya, yang pada hakikatnya harus mengatasi kebendaannya sendiri, toh ingin tenggelam ke dalam materi, ingin menjerumuskan diri kedalam dunia itu, seakan-akan tidak mau mengatasi kebendaan itu. Inilah kontradiksi hidup konkrit manusia. Dan bagaimanakah kontradiksi itu dapat diatasi? Manakah jalan keluarnya? Disinilah filsafat bungkem dan membisu seribu bahasa.
Ahli fikir dan ulama besar dari tokoh alam Islami An Nahdlawi secara filosofis mengemukakan bahwa manusia itu adalah mahluk yang sulit dan penuh paradox atau kontradiksi, pertentangan dalam dirinya sendiri. Keperluan dan keinginannya banyak, lebih banyak dari nafasnya, lebih lama dari hidupnya dan lebih luas dari alam ini.
Manusia itu terdiri dari roh dan jasad, sedangkan roh selalu menariknya untuk selalu kembali kepada asal dan sumbernya (Allah), sedangkan jasad menariknya kepada asalnya pula yaitu tanah. Bila pengaruh roh menjadi lemah maka menjadi lepas laiai manusia dalam kelezatan syahwati, bagaikan hewan liar. Menjadi padamlah sinar roh dan hati, lalu muncullah kezaliman dan berbagai kejahatan. Manusia menjadi hewan liar yang berbahaya, menerkam sesamanya. Manusia menjadi “homo homini lupus”.
Selanjutnya An Nadawy menegaskan betapa Nubuwwah (Allah mengirim Rasul) untuk menolong perikemanusiaan dari bahaya materi yang merusak, mebina roh dan ahlak persaan halus dengan adanya mawazin (neraca) yang adil, mempersiapkan mereka untuk apa sebenarnya manusia lahir ke dunia, yaitu: beribadah untuk menjadi pemegang “wilayah”, pimpinan yang karenanya mereka ada di bumi persada: “khalifah”, pengolah bumi raya ini dengan segala ketentuannya.

Filsafat Dengan Causa Prima
Dalam pada itu filsafat sendiri dalam usahanya menunjukkan apa yang terdalam dalam barang-barang, dalam manusia dan dunia, maka sampailah pada pengertian tentang sebab pertama (causa prima) pada Yang Mutlak dan menerangkan bahwa sebab pertama dan tujuan terakhir  ini bukanlah hanya sesuatu melainkan suatu “ Zat Yang Maha Sempurna”. Dan ini sesuai dengan keyakinan yang hidup dalam setiap hati orang, bahwa ada sesuatu yang mengatasi manusia dan dunia, sesuatu yang lebih luhur, lebih tinggi dan lebih mendalam. Jadi filsafat sendiri menunjukkan kepada “Yang mengatasi segala-galanya” dan bersama dengan itu mengakui batas-batasnya sendiri. Bahwa kita berhadapan dengan “rahasia” tentang manusia dan dunia. Akan tetapi jika filsafat, berdasarkan logika yang sehat dan tajam, mengatakan bahwa “ setiap orang wajib mengabdi kepada Tuhan, harus hidup sebagai hamba Allah (dan ini berlaku umum, bagi setiap orang, demikian pula bagi mereka yang :tidak beragama) maka timbullah pertanyaan: Bagaimanakah tuntutan kodrat kita ini harus dilaksanakan dalam kodratnya?”.
Manakah cara yang harus dipakai, manakah cara yang sesuai dengan kehendak Tuhan? Sebab mengabdi kepada Tuhan itu sudah seharusnya demikian menurut kehendak Tuhan.
Bagaimanakh Pendapat kita terhadap seseorang “hamba” yang katanya mengabdi kepada kita tetapi tidak menurut perintah-perintah yang telah kita berikan kepadanya, melainkan semata-mata menurut kehendaknya sendiri belaka? Itu bukan mengabdi lagi! Begitu juga halnya mengenai soal mengabdi kepada Tuhan/Allah, oleh manusia sebagai hamaba Allah.

Sumber Ilmu Pengetahuan Dan Wahyu Allah
Sebagai sumber lahirnya ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan ilmiah biasanya berkenaan dengan timbulnya keheranan pada diri seseorang peneliti dalam mengamati sesuatu keanehan atau menonjolnya sesuatu gejala yang mendorong dilakukannya penelitian-penelitian.
Prof. Soediman Kartohadiprojo S.H mengatakan bahwa rasa heran yang mendorong seorang peneliti untuk mengadakan penelitiannya yang merupakan sumber-sumber penemuan ilmiah.
Dalam  hidup dan kehidupan ini, manusia melihat masalah, lalu memikir-mikirkan masalah itu dan mengamati dengan cermat, kemudian menghubung-hubungkan hasil pengamatannya itu.
Demikianlah misalnya Izaac Newton prlopor ilmu fisika, yang apada suatu hari duduk di taman belakang rumahnya, kemudian sebuah apple masak jatuh dihadapanya. Ia heran melihat, mengapa apple masak dari pohon itu jatuh ke bumi, tidakmelayang diangkasa. Hal ini mendorongnya untuk menleiti terus menerus yang akhirnya ditemukan “the law of gravitation” dengan gaya tarik bumi maka benda yang memiliki bobot akan jatuh tertarik oleh bumi.
Dalam hipotesis adanya wahyu Allah maka dapatlah dikatakan bahwa ada empat sumber pengetahuan manusia yaitu :
1.      “Fikiran manusia”. Hal ini melahirkan paham Rationalisme yang berpendapat bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah Ratioa (akal Budinya). Pelopornya ialah Rene Descrates. Aliran ini sangat mendewakan akal budi manusia yang melahirkan faham “intelektualisme” dalam dunia pendidikan.
2.      “Pengalaman manusia”. Dengan ini muncul aliran Empirimsme yang pelopori oleh tokoh Jhon Locke. Manusia dilahirkan sebagai kertas tih/meja putih. Pengalamanlah yang akan memberikan lukisan kepadanya, dunia empiris merupakan sumber pengetahuan utama dalam dunia pendidikan terkenal dengan teori “tabula rasa” (teori kertas putih).
3.      “Intuisi manusia”. Kalau pengetahuan yang diperoleh secara rational dan empiris yang merupakan produk dari sesuatu rangkaian penalaran maka intuisi merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui peruses penalaran itu.
Jawaban dari permasalahan yang sedang difikirkan muncul dibenak manusia sebagai suatu keyakinan yang benar walaupun manusia tidak biasa menjelaskan caranya untuk sampai ke situ.
Pengetahuan intuitif ini dipakai sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menetapkan benar tidaknya penetapan yang dikemukakan itu. Kegiatan intuitif dan analitik saling bekerjasama dalam menemukan kebenaran. Bagi tokoh Nietzsche intuisi merupakan “intelegensi” yang paling tinggi dan bagi tokoh Maslow merupakan “pengalaman puncak” (Peak Experience).
4.      “Wahyu Allah” adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusi lewat para Nabi yang diutusnya sejak nabi pertama sampai yang terakhir sebanyak 25 orang.

Wahyu Allah ini dikodifikasikan dalam tiga buah kitab suci yaitu : Taurat, Inji dan Al-Qur’an. Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh empiris maupun yang mencakup permasalahan yang transcendental seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti di hari kemudian.
Pengetahuan ini berdasarkan kepercayaan atau keimanan kepada Allah sebagai sumber pengetahuan, kepada kehidupan hari akhirat, kepada malaikat-malaikat, sebagai perantara Allah menemui para nabi kepada kitab-kitab suci, sebagai cara penyampaian dan kepada para nabi sebagai perantara dan penerima wahyu Allah tersebut.
Kepercayaan inilah yang merupakan titik tolak dalam agama dan lewat kajian selanjutnya dapat meningkat akan atau menurunkan kepercayaan itu.
Ilmu pengetahuan adalah sebaliknya yaitu dimulai dengan tanpa kepercayaan dan rasa tak percaya ilmu pengetahuan mulai mengkaji dengan riset, pengalaman dan percobaan untuk mencapai kebenaran yang factual.
Antara sumber pengetahuan itu tak mungkin ada kontradiksi maka itu hanyalah nampaknya saja, sebenarnya bukanlah kontradiksi atau pertentangan.
Kebanyakan kita tidak atau kurang memperhatikan adanya perbedaan tingkatan pengetahuan atau level of thought itu yang sering memakai perkataan-perkataan yang sama untuk menunjukkan hal-hal lain (misalnya” individu” dalam ilmu hayat dan individu dalam filsafat). Kemungkinan kita hanya memperhatikan salah satu soal saja hanya dari satu sudut saja dengan meniadakan sudut lain yang dikemukakan oleh ilmu lain (evolution or creation).
Akan tetapi persoalannya ialah :
Apakah yang dianggap “wahyu Allah” itu betul-betul “wahyu Allah”. Jika itu hanya karangan manusia saja maka tentu saja anatara filsafat dan karangan manusia itu mungkin terdapat pertentangan.
Jadi dapatlah disimpulkan sebagai berikut : Kita tetaplah mempertahankan peranan dan kepentingan filsafat sebagai ilmu pengetahuan adalah otonom (berdiri sendiri) tidak berdasarkan atau berpangkal pada wahyu Allah (agama), akan tetapi apabila filsafat hendak dijadikan dasar atau pedoman hidup maka terasalah pula kekurangan dari filsafat itu, hingga kita maju selangkah lagi, meningkat satu tingkatan lagi, dengan perkataan lain; Meninggalkan lapangan filsafat dan menginjak lapangan agama.

Kedudukan Ilmu, Filsafat Dan Agama
Ilmu, filsafat dan agama mempunyai hubungan yang terkait dan reflektif dengan manusia. Diaktakan terkait karena ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada tiga alat dan tenaga utama yang berada dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga utama manusia adalah: akal fikir, rasa, dan keyakinan, sehingga dengan ketiga hal tersebut manusia dapat mencapai kebahagiaan bagi dirinya.
Ilmu dan filsafat dapat bergerak berkat akal fikiran manusia. Juga, agama dapat bergerak dan berkembang berkat adanya keyakinan. Akan tetapi ketiga alat dan tenaga utama tersebut tidak dapat berhubungan dengan ilmu, filsafat dan agama apabila tidak didorong dan dijalankan oleh kemauan manusia yang merupakan tenaga tersendiri yang terdapat dalam diri manusia.
Dikatakan reflektif, karena ilmu, filsafat dan agama baru dapat dirasakan (diketahui) faedahnya/manfaatnya dalam kehidupan manusia, apabila ketiganya merefleksi (lewat proses pantul diri) dalam diri manusia.
Ilmu berdasar kepada akal fikir lewat pengalaman dan indera, dan filsafat berdasarkan pada otoritas akal murni secara bebas dalam penyelidikan terhadap kenyataan dan pengalaman terutama dikaitkan dengan kehidupan manusia. Sedangkan agama mendasarkan pada otoritas wahyu. Harap dibedakan agama yang berasal dari pertumbuhan dan perkemangan filsafat yang mendasar pada konsep-konsep tentang kehidupan dunia, terutama konsep-konsep tentang moral.
Menurut Prof. nasroen, S.H., mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan agama. Malahan filsafat yang sejati itu adalah terkandung dalam agama. Apabila filsafat tidak berdasar pada agama dan filsafat hanya semata-mata berdasarkan akal fikir saja, maka filsafat tersebut tidak akan memuat kebenaran objektif, karena yang memberikan penerangan dan putusan adalah akal fikiran. Sedangkan kesanggupan akal fikiran terbatas, sehingga filsafat yang hanya berdasar pada fikiran semata-mata akan tidak sanggup member kepuasan bagi manusia, terutama dalam rangka pemahamannya terhadap Yang Ghaib.



  1. SEJARAH DAN PERANAN PEMIKIRAN FILSAFAT BARAT DALAM PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.

Pembimbing ke filsafat tak akan lengkap tanpa sepatah kata tentang perkembangan filsafat sepanjang sejarah.
Sejarah filsafat ialah penyelidikan ilmiah mengenai perkembangan pemikiran filsafat dari seluruh bangsa manusia dalam sejarah. Jadi awas; sejarah filsafat itu belumlah “filsafat”, sejarah filsafat hanyalah “sejarahnya”!.
Apabila sejarah filsafat dianggap satu-satunya pengantar, bahkan satu-satunya filsafat, itu kami anggap kurang tepat. Lagi pula dilihat dari sudut didaktif, pembimbing yang melulu “historis” saja kami anggap kurang pada tempatnya karena banyaknya aliran-aliran dan pendapat-pendapat yang sering bertentangan satu sama lain. Hal itu dengan mudah dapat menimbulkan salah faham dan menghasilkan kekecewaan belaka.
Akan tetapi jika pengantar historis itu diberikan di samping pengantar sistematis maka ia akan sangat besar faedahnya. Sering kali persoalan-persoalan filsafat hanya dapat difahami jika dilihat perkembangan sejarahnya. Ahli-ahli besar seperti Aristoteles, Thomas Aquino, Immanuel Kant itu hanya dapat dimengerti dari aliran-aliran yang mendahului mereka. Aliran yang satu biasanya merupakan reaksi atau sintesis dari aliran lain. Dan dari seluruh perjalanan pemikiran filsafat itu menjadi kentara juga persoalan-persoalan manakah yang selalu tampil kembali bagi setiap kurun masa, bagi setiap bangsa dan setiaporang. Oleh karena sejarah filsafat itu merupakan mata kuliah tersendiri, maka maksud bab ini tidak lain hendak memperkenalkan beberapa nama aliran-aliran penting, agar saudara dapat “menempatkan” nama-nama yang saudara dengar itu dalam mata pelajaran lainnya juga, seperti dalam sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik dan sebagainya.


Zaman Yunani Kuno (600 sebelum Masehi sampai 500 sesudah Masehi)
Filsafat Barat mulai di Yunani. Pengaruh dari filsafat Timur memang ada, tetapi hanya sedikit. Sifat-sifat filsafat Yunani sangatlah mempengaruhi seluruh alam pikiran Barat. Melepaskan diri dari mitos-mitos dan mencari jawaban yang rasional daripada kenyataan mencari apa yang tetap dan kekal dalam kenyataan yang berubah-ubah. Realistis, terang, tajam dalam perumusan-perumusan, teratur dan rapi.
a.       Kelahiran (Pre-Sokratesi)
Filsafat alam mencari penjelasan daripada alam, khususnya terjadinya segala-galanya dari prinsip pertama (arche).
1.      Mashab Miletos : Thales (625-545), Anaksimander (610-540), Anak Simenes (585-528).
2.      Pythagoras (580-500).
3.      Heraklitos (540-480)
4.      Mashab Elea : Parmenides (530-440), Zeno (490).
5.      Jonisi : Empedokles (483), Anak Sagoras (499-428), Demokritos (460-370).
b.       Perkembangan.
Memusatkan Penyelidikan pada manusia. Filsafat alam tak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, maka timbullah sikap kaum “sofis” (“Pedagang pengetahuan”), sebagai reaksi :Ikhtiar Socrates.
1.      Kaum Sofis : Protagoras (481-411), Gorgias (483-375).
2.      Sokrates (470-400).
c.       Zaman Keemasan.
Mencari sintesa antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia.
1.      Plato (429-347 SM) meneruskan dan menyempurnakan ajaran Socrates. Inti ajarannya prinsip pertama, kesusilaan, alam, dan Negara.
2.      Aristoteles (348-322 SM), murid Plato filsuf pertama yang berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar dari filsafat, yang dipersatukannya dalam sati sistem, meliputi : logika, filsafat, alam, Ilmu jiwa, Metafisika (sebab pertama), etika dan Ilmu Politik.
Hasil-hasil pemikirannya sekarang masih berlaku (Hyle-morfisme).
d.       Zaman Keruntuhan sistem etika.
1.      Stoa (300 SM) 200 sesudah Masehi). Hendak memberikan ajaran hidup praktis, agak materialistis; memperkembangkan logika lebih lanjut yang terkenal :
Zeno (336-364 SM)
Seneca (4-73). Epektetus (50-117)
2.      Epikuris (341-271 SM), materialistis dan “akuistis”; kebahagiaan adalah kepuasan diri, “permulaan dan akar kebaikan adalah kenikmatan perut”.
3.      Skeptisis (Kesangsian, tak mungkin orang mencapai kepastian Pyrrho (360-270) SM), Skestus Empirikus (150).
e.       Zaman Baru
Neo-Platonisi, bersikap religious, kebathinan.
1.      Plotinus (205-270), dan
2.      Porfyrius (232-325), muridnya. Buku yang terkenal; Enneaden (9 buku), ajaran Emanasi.
Zaman Pertengahan (100-1600)
a.            Patristik (100-700).
Di dunia Barat agama Katolik mulai tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan,manusia dan dunia, dan etikanya. Untuk mempertahankan dan menyebarkannya maka maka mereka mempergunakan filsafat yunani dan memperkembangkannya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal tetntang kebebasan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat Tuhan. Yang terkenal tertulianus (160-222),Origenes (185-254) Agustinus (354-430), yang sangat besar pengaruhnya (De Civitate Dei).
Berdasarkan Neo Platonisi dan Stoa, ajaran yang meliputi pengetahuan,
Tententang manisia, jiwa, etika, masyarakat dan sejarah.

b.    Skolastik
Sesudah Agustinus: keruntuhan. Satu-satunya pemimpin yang tampil kemuka adalah Skotus Erigena (810-877). Kemudian: Skolastik, disebut demikian karena filsafat diajarkan pada universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu. Persolan-persoalan: tentang penngertian-pengertian umum (pengaruh Plato). Filsafat mengabdi kepada Theologi. Yang terkenal: Anselmus (1033-1100), Abaeladrus (1079-1142).
Filsafat Arab.
Berkat pengaruh Helenisme (Iskandar),filsafat yunani hidup terus di Seria, diperkembangkan lebih lanjut oleh filsuf-filsuf Arab, kemudian diteruskan ke Eropa melalui Spanyol.
a.       Alkindi (800-870), satu-satunya orang Arab asli. Corak filsafatnya adalah  pemikiran kembali dari ciptaan yunani (menterjemahkan 260 buku yunani) dalam bentuk bebas dengan refleksi dengan iman Islam.
b.       Alfarabi (872-950), filsuf muslim dengan pangkal filsafat dari Plotinus.
c.       Ibn Sina (Avicenna) (980-1037) yang besar pengaruhnya terhadap filsaft barat, sejak usia 10 tahun sudah hafal Al-Qur’an.
d.       Al-gazali (1059-1111), filsuf besar Islam yang mengarang Ihya Ulumudin.
Di Spanyol.
e.       Ibn Bajah (1138), penafsiran karya fisik dan metafisik Aristoteles.
f.        Ibn Rushd (Averros) (1126-1198), yang disebut dengan penafsiran Aristoteles dan yang sangat berpengaruh terhadapat aliran-aliran di Erofa, juga seorang filsuf besar muslim.
g.       Avencebrol (Ibn Giberol) (1020-1070).
h.      Mainmonides (Moses ben Maimon) (1135-1204).

Zaman keemasan : (1200-1350).
            Perkembangan baru karna adanya universitas-universitas (paris), karangan-karangan Aristotelesmulai dikenal umum melalui filsuf-filsuf arab dan yunani.
Ada tiga aliran besar :
a.       Pengikut-pengikut Agustinus: Sigerbonaventuratn (1221-1274).
b.       Pengikut-pengikut Ibn Rushd: Siger dari Brabant (1235-1281).
c.       Pengikut-pengikut Aristoteles: Albertus Magnus (1206-1280), dan muridnya: Thomas Akuinas (1225-1274), yang berhasil menemukan sintesis antara Aristoteles-Piato Agus tinus dan skolastik.
Perbedaan filsafat dan agama sintesisnya, pemecahan soal-soal besar tentang pengetahuan, tentang “ada” dan dasarnya tentang etika. Pengaruhnya sampai sekarang ini masih sangat kuat.
Disamping aliran-aliran ini terdapat juga:
Aliran Neo-Platonis : Roger Bacon (1210-1292).
Aliran Empirisme (pengaruh Aristoteles), yang membela kaidah ilmu pasti dalam ilmu pengetahuan dan penyelidikan berdasarkan eksperimen-eksperimen.
Dauns-Scotus (1270-1308), pembahasan yang tajam, perintis jalan bagi filsafat abad ke XIV, posivistis (hanya apa yang kongkrit yang dapat dilihat dan diraba itu yang benar dan dapat dimengerti) dan voluntaristis (lebih mementingkan kehendak daripada pikiran).
W. Ockham (1550), yang menurutkan ajaran Scotus. Tentang pengetahuan: konseftualistis (lihat logika: pengertian-pengertian umum tidak “benar” sesuai dengan kenyataan.



Zaman Renaissans (peralihan) 1400-1550
Renaissance, perkembangan humanism, pertentangan besar antara tradisi dan kemajuan. Perkembangan baru dari sistem-sistem lama (plato Aristoteles, Stoa) dan usaha mencari sintesis-sintesis baru. Persoalan yang terbesar: hubungan antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan/agama.
a.       Nicolas Cusanus (1401-1464).
b.       Giordano Bruno (1548-1600) panteisme, ajaran emanasi ajaran monade.
c.       Ilmu alam dan filsafat alam berkembang:L.davinci (1452-1519), Paracelsus, Keppler, Galilei (1564-1642).
d.       Skolatis Gapreelus, Ferera, Cayetanus, De Soto, Molina, Suarez, Rob,Bellarminus.
e.       Tentang hukum dan Negara : Macheavelli (1467-1527) dan Hugo de Groot (1583-1645).

Zaman Moderen
Zaman Empirisme dan Rasionalisme. Menentang tradisi sangat kritis, analisis psikologi dipentingkan, bahasa Latin ditinggalkan sebagai bahasa ilmiah, diganti bahasa-bahasa modern. Watak-watak perseorangan dan nasional lebih tampil ke muka.
Cara-cara kebebasan menjadi monarchi. Ilmu alam dan ilmu pasti berkembang.
1.      Prancis.
a.       Rene Descrates (1596-1650), “Bapak Filsafat Modern” yang menimbulkan banyak persoalan-persoalan dan reaksi yang hebat dari aliran-aliran yang menyusulnya.
Yang dipersoalkannya : Metode. Kebimbangan metodis satu-satunya yang pasti: “Aku berfikir, jadi aku ada” (cogito ergo sum). Dari sini sampailah pada “Idea clara et distinct” tentang fikiran dan eksistensi.
Filsafat meliputi : Ukuran-ukuran kepastian, adanya Tuhan, sifat-sifat jiwa, susunan dari manusia. Sifatnya : rasionalistis dan sangat matematis dalam metodenya.
b.       Occasionalisme dan Ontologisme : Malebranche (1638-1715)
c.       Blaise Pascal (1623-1661), menolak Rasionalisme Descrates, skeptic terhadap kekuatan fikiran manusia: Kita hanya dapat berhubungan dengan pernyataan yang sesungguhnya dengan perantaraan “Ie sentiment” dan kenyataan.
2.      Belanda.
Baruh de Spinoza (1632-1677), terkenal karena karangannya: “Athica”, more geometric demonstrate, yang secara ilmu pasti menguraikan seluruh filsafat. Monistis Pantheistis, kebahagiaan ialah pengetahuan tentang kesatuan manusia dengan alam semesta (universal).
3.      Empirisme Inggris: Pengalaman adalah satu-satunya sumber pengetahuan, akal hanya “meregistrasikan”, tak mampu mencapai pengetahuan baru.
a.       Perintis jala: Francis Bacon (1561-1626)
b.       Thoma Hobbes (1588-1679).
c.       Jhone Locke (1632-1704).
d.       George Berkeley (1685-1753).
e.       David Hume (1711-1776).
4.      Jerman
Gottfried Wilhelm Leibnitz (1664-1716), yang mencari sintesis antara pandangan-pandangan mechanis-organis, antara ilmu pengetahuan dan agama, materi dan roh, keharusan logis dan kebebasan, ilmu alam dan sejarah. Yang terkenal adalah metode dan ajaran “Monade”. Iapun memperkenalkan filsafat Tionghoa kepada Erofa.

e. Filsafat Abad Ke XX (1900 - ……)
Sejak Kant persoalan filsafat yang terpenting ialah soal pengetahuan manusia. Kenyataan oleh kant dibagai dua. Dunia Empiris dan Dunia nominal (Reinen Vernunvet dan praktischen Vernunfet). Maka timbul dua aliran besarnya: edialisme mementingkan subyek, dan Empirisme mementingkan obyek. Disamping itu: pansangan-pandangan pesimisme dan metafisika. Sifat-sifat filsafat abad ke XIX bersistem rasionalistis (hanya dengan akal pikiran), fenoministis membatasi diri pada pengalaman langsung pada panca-indera: apa yang mengatasi penginderaan tak dapat dimengerti), dan evolusionistis (semua berkembang, manusia hanya suatu gejala, suatu unsure dari seluruh alam semesta).
Sekitar tahun 1900 pemikiran filsafat berganti haluan: pandangan dunia yang materialistik dan mechanistis ditinggalkan: metode positf (positivistis) dalam filsafat dan ilmu-ilmu kebudayaan diganti metode analisis: keyakinan bahwa ilmu-ilmu alam  tak dapat memberikan penjelasan yang langkap dari pada seluruh kenyataan makin kuat.
Sebab-sebab bergantinya haluan itu antara lain:
-          Dari luar dunia filsafat: perang-perang, perubahan-peruabahan dilapangan sosial kemajuan ilmu-ilmu alam yang makin menentang pandangan dunia yang idealisistis dan empiris, “sebab hukum-hukum abadi” dari mekanika Newton ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Radio-aktivitas Teori quantum, Teori relativitas, pemisahan atom dan kern: Curie (1934), Plance (1947), Einstein, Edington, Jeans, dalam biologi: Thomsom driesch.
-           Berkembangnya Neo-Skolastik (Thomas Aquinas)
-           Kritik Ilmu pengetahuan mengahadapi soal-soal baru: kepastian hukum-hukum alam ternyata mengandung unsure “kebetulan” dan “kebebasan” hingga unsure obyektif penyelidikan keilmuan menjadi kentara.
-           Renungan-renungan tentang dasar ilmu pengetahuan membawa orang kearah Fenomenologi sebagai metode penyelidikan
-           Sebagai reaksi terhadap determinisme (semua ditentukan oleh hukum-hukum alam, tak ada kebebasan) dasn karena pengaruh ajaran Darwin dan kritik ilmu pengetahuan, maka umum lebih mementingkan manusia sebagai keseluruhan, bahkan menitikberatkan pada segi-segi irrasional.
Aliran-aliran abad-XX banyak sekali dan sukar digolong-golongkan, apalagi karena makin eratnya kerjasama internasional. Pada umumnya dapat dikatakan: Empirisme dan Idealisme merupakan kelanjutan dari filsafat abad XIX. Peralihan kefilsafat abad ke-XX: Filsafat hidup dan Fenomenologi, abad ke-XX: Eksistensialisme, Metafisika dan Logistik.
Sifat-sifat filsafat abad ke-XX adalah lawannya daripada sifat-sifat filsafat abad ke-XIX: anti positivistis, tiddak mau bersistem, realistis, menitikberatkan pada manusia, pluralisti, (lawannya monisti: yang mengatakan bahwa semua adalah satu).
1). Empirisme
           Berpangkalan pada materi sebagai “arah berpikir” merupakan lanjutan daripada positivisme.  Sekarang hampir dimana-mana telah ditinggalkan.
-           Jerman: Eugen Duhring, E. Mach (1838-1916) H. Vaihinger.
-           Prancis: Pengaruh dari Durkheim dan Levy Bruhl.
-          Amerika: Di lapangan ilmu jiwa: Behaviorisme, Jhon B. Watson,  Iwan Pavlov (1936)
Psychoanalysa: Freud (1939) A. Adler.
-          Inggris: Moore, Bertrand Russel.
-          Neo-Positivisme: Carnap, Hahn, Reickenbach.
-    Dialektik materialisme: Lenin, Stalin.
2). Idealisme: berpangkal pada “Roh”.
-    Neo-Hegelianisme: A. Lasson (1832-1917), R. Kroner, E. Caird, B. Groce, G. Gentille (1875-1944), G. Bolland (1922).
-    Neo-Kantianisme: “Kembali” ke Kant: Mashab Marburg: H. Cohen (1842-1918), P. Natrop (1854-1924). Mashab Baden W. Windelband (1848-1915), H. Rickert (1863-1936), E. Lask (1875-1915).
-    Idealisme Prancis: O. Hamelin (1856-1907), Leon Braunvich (1869-1944).
3). Filsafat Hidup.
      Tidak puas dengan keterangan yang diberikan Materialisme, orang mencoba menerangkan kenyataan dengan berpangkalan pada “hidup” berdasarkan perasaan dan intuisi.
Peralihan ke Realisme
-          Pragmatisme: masih berbau positivistis, tetapi sudah lebih luas pandangannya, “praktis” apa yang berguna bagi hidup. Asas dasarnya: akal tak mampu, adalah apa yang berguna bagi hidup dan kemajuannya: jalan untuk mencapai kebenaran itu ialah: perasaan dan perbuatan.
William James (1842-1941), Jhon Dewey (1858-?) F.C.S. Schiller Gonseth.
-          Bergson (1859-1941) kenyataan yang selalu “menjadi” (élan vital) hanya dapat dicapai dengan intuisi, tak dapat dinyatakan dengan pengertian-pengertian yang abstrak. Sangat besar pengaruhnya. Pengikut-pegikutnya antara lain: E. Ie Roy, J. Chavalier, Maurice Blondel (1861-1940), Laberthonniere (1860-1932).
-          Historisme. Hidup manusia “mengalir” dalam waktu. Jadi sejarahlah yang merupakan pokok dari filsafat. W. Dhilthey (1911) yang pengaruhnya terasa pada: C. Simmel E. Spranger, Th. Litt, Oswald Spengler, Toynbee.
-          Filsafat hidup Jerman: Ludwig Klages, Keyserling.
-          Pengaruh pendapat-pendapat baru ini merembes dalam: Ilmu jiwa: Lachelier, Bergson, Deleroix, Wherteimer, Kohler, K. Koffka.
Ilmu-ilmu alam: Emile Boutroux (1845-1921), Hendri Pincarre (1859-1933), Pierre Duhen (1861-1916), Emile Meyerson (1859-1933), Ernst Mach (1838-1916).
4.   Fenomelogi: terutama penting sebagai metode baru dalam filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan. “phaenomenon” =  “apa yang memperlihatkan diri dalam kesadaran”.
-          Bolsano, Franz Brentano, Alex meinong.
Edmund Husserl (1859-1938), Max Scheler (1817-1928), yang terkenal karena teori-teori nilai. Metode ini sangat luas dipergunakan.
5.   Eksistensialisme: pennyelidikan “pengalaman hidup” manusia yang selalu “menjadi” dalam suatu ketegangan dialektis antara situasi dan kebebasan. Ada dua aliran yang sangat penting:
-          Eksistensialisme: “tertutup” : membatasi pandangannya pada gambaran manusia yang bercerai-berai tanpa trancendentia, atheitis dan pesimisme, “Sein zun Tode”. Demikian: Jean Paul Sartre (1905-…..) Simone de beauvoir, Albort Camus, George Balaile, Merleau-ponty, Hei8degger dalam priode pertama (Sein und Zeit), Karl Jaspers.
-          Eksistensialisme “terbuka” : mengakui trancendentia, berada-ada artinya, hati terbuka bagi realitas. Demikian: Heidegger dalam priode kedua, Berdiaeff, Gabriel marcell. (1889-1973).

6.     Metafisika.
Berpangkal pada pengalaman konkrit dengan mengakui baik pengetahuan keinderaab maupun pengetahuan intelektual, dicarilah penjelasan terakhir dari pada seluruh kenyataan, terutama dari pada manusia. Sintesis daripada aliran-aliran modern Fenomenologi dan Eksistensialisme dengan warisan pemikiran filsafat dari abad-abad yang telah lampau, terutama filsafat Plato. Aristoteles dan diperkaya oleh filsafat kant, Hegl dan lain-lain. Realistis.
-          diluar skolastik : Trendelenburg, Hans Driesch, Paul Huberlin, Heinrich Schols, Otmar Spann, Nicolai Hartman, A. North WhiteHeat, Samuell Alexander, E. Morgan, R.E. Adamson, Louis Lavelle…
-          Neo-Skolastik : perintis jalan antara: Jhon Henri Newman dan Desire Marcier. Beberapa nama lainnya: Carrogon, Lagrange, Manser, Pagues, Mandonette, Noel, Balthasar, I’de ‘Raeymaeker, Nys Thieri, Michotte,  Deploige, Mansion, Deuleff, F, van Steanbergen, Gamelli Olgiati, Masnopo. Pit Peulaube, J. Maritain, E. de Bryine, E. Gilson, R. Jolivet, Bochenski, Sertillangers, Rousselot, Marechal, Hoenen, K. Rahner, Beysens, Baeumker, Th. Meyer, V. Catherin, H. Pesch. T. Pesch.
7.    Logistik
                  Ilmu yang hendak menyatakan hubungan-hubungan logis yang terdapat antara buah-buah pikiran itu (hukum-hukum logika) dalam rumusan-rumusan simbolis dengan memakai tanda-tanda secara ilmu aljabar. Yang dikenal: Boile (1864), Biere (1880), Schoder (1902), Frege (1925), Feana (1932). “Principia Matematica” buku karangan Whitehead bersama Russell, tokoh-tokoh lain: Carnap, Holbert, Beth, Neurath, Feys, Bechenski, Cauturat.
           

E.    ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT

  1. Empirisme
Sebagai tokohnya adalah Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan David Hume. Oleh karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasaksn manfaatnya, maka pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot. Hal ini disebabkan karena filsafat dianggap tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain, ilmu pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indera (empiri), dan empirilah satu-satunya seumber pengetahuan. Pemikiran tersebut lahir dengan nama empirisme.
Thomas Hobbes (1588-1679)
            Ia seorang ahli fikir Inggris lahir di Malmesbury. Pada usia 15 tahun ia pergi ke Oxford untuk belajar logika Skolastik dan Fisika, yang ternyata gagal, karena ia tidak berminat sebab gurunya beraliran Aristotelian. Sumbangan yang besar sebagai ahli fikir adalah suatu sistem materialistis yang besar, termasuk juga perikehidupan organis dan rohaniah. Dalam bidang kenegaraan ia mengemukakan teori Kontrak Sosial.
            Dalam tulisannya, ia telah menyusun suatu sistem pemikiran yang berpangkal pada dasar-dasar empiris, disamping juga menerima metode dalam ilmu alam yang matematis.
            Pendapatnya, bahwa ilmu filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya umum. Karena filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang sebab akibat atau tentang gejala-gejala yang diperoleh dari sebabnya. Sasaran filsafat adalah fakta, yaitu untuk mencari sebab-sebabnya. Segala yang ada ditemukan oleh sebab, sedangkan prosesnya sesuai dengan hukum ilmu pasti/ilmu alam.
            Namanya sangat terkenal karena teorinya tentang Kontrak sosial, yaitu manusia mempunyai kecendrungan untuk mempertahankan diri. Apabila setiap orang mempunyai kecendrungan demikian, maka pertentangan, pertengkaran, atau bahkan perang total tak dapat dihindari. Perang akan mengakibatkan kehidupan menjadi sengsara dan buruk. Bagaimana manusia dapat menghindarinya. Maka diperlukan akal sehat, agar setiap orang mau melepaskan haknya untuk berbuat sekehendaknya sendiri. Untuk itu mereka harus bersatu membuat perjanjian untuk mentaati / tunduk terhadap penguasa. Orang-orang yang dipesatukan disebut Common wealth.
Jhon Locke (1932-1704)
            Ia dilahirkan di Wrington, dekat Bristol, Inggris. Disamping sebagai ahli hukum, juga menyukai filsafat dan teologi, mendalami ilmu kedokteran dan penelitian kimia. Dalam mencapai kebenaran, sampai seberapa jauh (bagaimana) manusia memakai kemampuannya.
            Dalam penelitiannya ia memakai istilah sensation dan reflection. Sensation adalah suatu yang dapat berhubungan dengan dunia luar, tetapi manusia tidak dapat mengerti dan meraihnya. Sedangkan reflection adalah pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada manusia, yang sifatnya lebih baik daripada sensation. Tiap-tiap pengetahuan yang diperoleh manusia terdiri dari sensation dan reflection. Walaupun demikian, manusia harus mendahulukan sensation. Mengapa demikian? Karena jiwa manusia di saat dilahirkan putih bersih (tabula rasa) yaitu jiwa itu kosong bagaikan kertas putih yang belum tertulisi. Tidak ada sesuatu dalam jiwa yang dibawa sejak lahir, melainkan pengalamanlah yang membentuk jiwa seseorang.

  1. Positivisme
Filsafat Positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta - fakta tersebut kita atur dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Beberapa tokoh: August Comte (1798-1857), jhon S. Mill (1806-1873). Herbert Spencer (1820-1903).

August Comte (1798-1857)
Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karya penting, cours de philoshopia positive (Kursus tentang filsafat positif), dan berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.
Menurut pendapatnya, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisis dan tahap ilmiah/positif.
Tahap teologis, yaitu pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang bathiniah (sebab pertama). Disini manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya dibalik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
Tahap metafisis, yaitu pada tahap ini manusia hanya sebagai tujuan pergesaran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam.
Tahap Ilmiah/positif, yaitu pada tahap ini manusia telah mulai mengetahui dan sadar, bahwa upaya pengenalan teologi dan metafisis tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari dengan memakai akal.
Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan rohani) juga dibidang ilmu pengetahuan.
Pada akhir hidupnya, ia berupaya untuk membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya. Agama baru tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”.
Sebagai istilah ciptaannya yang terkenal altruism yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.

  1. Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari kata Yunani. Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.
Tokohnya: Wiliam James (1842-1910) lahir di New York, yang memperkenalkan ide-idenya tentang pragmatisme kepada dunia. Ia ahli dalam bidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi dan filsafat.
Pemikiran filsafatnya lahir, karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran, tentang asal / tujuan dan hakikat bagi orang Amerika terlalu teoritis. Yang ia inginkan adalah hasil-hasil yang konkret. Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari idea atau konsep haruslah diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya.
Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan, maka ide-ide tersebut benar.

  1. Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata fenomena yang artinya gejala, yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semua. Kebalikannya kenyataan. Juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati oleh indera. Misalnya, penyakit flu gejalanya batuk, pilek. Dalam filsafat fenomenologi, arti diatas berbeda dengan apa yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidka perlu harus diamati oleh indera, karena gejala juga dapat dilihat secara bathiniah, dan tidak harus berupa kejadia-kejadian. Jadi, apa yang kelihatan dalam dirinya sendiri seperti apa adanya.
Dan yang lebih penting dalam filsafat fenomenologi sebagai sumber berfikir yang kritis. Pemikiran yang demikian besar pengaruhnya di Eropa dan Amerika antara tahun 1920 hingga tahun 1945 dalam bidang ilmu pengetahuan positif. Tokohnya: Edmund Husserl (1839-1939), dan pengikutnya Max Scheler (1874-1928).
Edmund Husserl (1839-1939) lahir di Wina. Ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, kemudian filsafat. Akhirnya menjadi guru besar di Halle, Gottingen, Freiburg.
Pemikirannya, bahwa obyek / benda harus diberi kesempatan untuk berbicara, yaitu dengan cara deskriptif fenomenologis yang didukung oleh metode deduktif. Tujuannya ialah untuk melihat hakikat gejala-gejala intuitif. Sedangkan metode deduktif artinya menghayalkan gejala-gejala dalam berbagai macam yang berbeda. Sehingga akan terlihat batas invariable dalam situasi yang berbeda-beda. Sehingga akan mucul unsur yang tidak berubah-ubah yaitu hakikat. Inilah yang dicarinya dalam metode variasi eidetic

e.    Idealisme

Setelah Kant mengetengahkan tentang kemampuan akal manusia, maka para murid Kant tidak puas terhadap batas kemampuan akal, alasannya karena akal murni tidak akan dapat mengenal hal yang berada diluar pengalaman. Untuk itu dicarinya suatu dasar, yaitu suatu sistem metafisika yang ditemukan lewat dasar tindakan: aku sebagai sumber sekongkret-kongkretnya. Titik tolak tersebut dipakai sebagai dasar untuk membuat kesimpulan tentang keseluruhan yang ada.
Pelopor Idealisme: J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel (1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).
Apa yang dirintis oleh Kant mencapai puncak perkembangannya pada Hegel. Hegel lahir di Stutgart, Jerman. Pengaruhnya begitu besar sampai luar Jerman. Menjadi professor ilmu filsafat sampai meninggal. Setelah ia mempelajari pemikiran Kant, ia tidak merasa puas tentang ilmu pengetahuan yang dibatasi secara kritis. Menurut pendapatnya, segala peristiwa di dunia ini hanya dapat dimengerti jika suatu syarat dipenuhi, yaitu jika peristiwa-peristiwa itu sudah secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasannya. Ide yang berfikir itu sebenranya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Artinya, gerak yang menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis (gerak yang bertentangan), kemudian timbul sintesis yang merupakan tesis baru, yang nantinya menimbulkan anti tesis dan seterusnya. Inilah yang dsebutnya sebagai dialektika. Proses dialektika inilah yang menjelaskan segala pristiwa.

f.     Materialisme

Munculnya positivisme dan evolusionisme menambah terbukanya pintu pengingkaran terhadap aspek kerohanian. Julie de Lamettrie (1709-1721) mengemukakan pemikiran bahwa binatang dan manusia tidak ada bedanya, karena semuanya diangap sebagai mesin. Buktinya, bahan (badan) tanpa jiwa mungkin hidup (bergerak) sedangkan jiwa tanpa bahan (badan) tidak mungkin ada. Jantung katak yang dikeularkan dari tubuh katak masih berdenyut (hidup) walau beberapa saat saja
Seorang tokoh lagi (Materialisme Alam) adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872) sebagai pengikut Hegel, mengemukakan pendapatnya, bahwa baik pengetahuan maupun tindakan berlaku adagium, artinya terimalah dunia yang ada, bila menolak agama/metafisika. Satu-satunya asas kesusilaan adalah keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Dan untuk mencari kebahagiaan manusia harus ingat akan sesamanya.
Dari Materialisme Historis/dialektis, yaitu Karl Marx (1818-1883), nama lengkapnya Karl Heinrich Marx, dilahirkan di Trier, Prusia, Jerman. Sewaktu menjadi mahasiswa ia terpengaruh oleh ajaran Hegel, dan dapat mencapai gelar doctor dalam bidang filsafat. Dikala ia berkawan dengan Bruno Bauer ia mendapatkan kekecewaan, tetapi setelah berkawan dengan Friedrich Engels di Paris, maka dengan kawannya itulah ia (tahun 1848) menyusun manifesto komunist. Setelah itu, ia menjadi buronan politik dan diusir dan dipenjara di London, sampai meninggal dunia. Ia meninggalkan warisan sebah karya terbesarnya, das Kapital,  yang terbit tahun 1867.
Menurut pendapatnya, tugas seorang fiosof adalah bukan untuk menerangkan dunia, tetapi untuk mengubahnya. Hidup manusia itu ternyata ditentukan oleh keadaan ekonomi. Dari segala hasil tindakannya: ilmu seni, agama, kesusilaan, hukum, politik-semuanya itu hanya endapan dari keadaan itu, sedangkan keadaan itu sendiri ditentukan benar-benar dalam sejarah.

  1. Eksistensialisme
Kata eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar, dan sistensi = berdiri, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaanya ditentukan oleh aku-nya. Karena manusia selalu terlihat disekelilignya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan - merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang konkret.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya, bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pelopornya adalah Soren Kierkgaard (1813-1855), Martin Heidegger, J.P. Sartre, Karl Jaspers, Gabriel Marcel.
Pemikiran Soren Kierkgaard mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang umum tetapi berada dalam eksistensi yang individu, yang konkret. Oleh karena, eksistensi manusia penuh dengan dosa, sehingga hanya iman kepada kristus sajalah yang dapat mengatasi rasa bersalah karena dosa.


DAFTAR BACAAN


AchAsmoro madi, Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
 Bertens, sejarah filsafat yunani, Kanisius, yogyakarta, 1975.
Edith Hamilton, The Greek Way Towestern Civilization, New  York: the new Amerikan Librari n.d.
Hasbullah Bakri, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, AB Sitti Syamsiah, Sala, 1961.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.
.Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Muslim Ishak, Tokoh-tokoh Filsafat Islam dari Barat (Spanyol), Bina Ilmu, Surabaya, 1980.
Nasroen, Falsafat dan cara berfalsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1967.
 Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, Introduction to Philosophy, Grand Rapids: Baker Book House, 1982.
Pronggodigdo, (Ed). Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1972.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1991.



[1] Disampaikan pada perkuliahan Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong untuk Semester 1, Dosen Pengampu Mata Kuliah MISRAN TAHRANI, S.Ag. 
[2]Waktu Homerrus melahirkan karyanya + tahun 850 SM orang-orang pada saat itu masih mempercayai dongeng-dongeng/mitos, sehingga pada saat itu logos (akal) tidak berbicara. Baru sekitar abad IV SM mulai muncul para ahli piker yang tidak puas dengan dongeng-dongeng. Lihat Bertens, sejarah filsafat yunani, Kanisius, yogyakarta, 1975, hlm. 14.
[3] Karel Agung/Charlemagne (Prancis), Carolus Magnus (latin), Charles I (742-814) menyerbu Italia untuk membantu Paus terhadap Desiderius (774) menjadi raja di Lombardis; merebut Spanyol Timur Laut dari tangan orang-orang islam Arab (778); menaklukkan dan mengkristenisasikan orang-orang Saxon. Tahun 800 menempatkan kembali Paus Leo III diatas tahtanya. Kemudian oleh Paus dinobatkan menjadi kaisar di Roma. Lihat Pronggodigdo, (Ed). Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1972, hlm.214.
[4] Di Spanyol terdapat dua universitas, yaitu: universitas Cordoba yang didirikan oleh Abdurrahman II tahun 788, dan Universitas Granada yang didirikan oleh Khalifah Banu Nasr VII. Lihat Hasbullah Bakri, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, AB Sitti Syamsiah, Sala, 1961, hlm. 105.
[5] Dunia Kristen waktu itu sangat mengekang akal-pikir. Segala penemuan ilmu pengetahuan yang tidak mendapatkan legalitas dari gereja harus ditolak dan diberantas. Masuknya pikiran baru ke Eropa membuka masa kegelapan, sehingga Eropa berkenalan dengan filsafat Yunanbi dan Islam yang membawa kearah kebebasan berpikir. Lihat Muslim Ishak, Tokoh-tokoh Filsafat Islam dari Barat (Spanyol), Bina Ilmu, Surabaya, 1980, hlm. 7, kutipan dari Romein Aera Eropa, 1965.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking