FILSAFAT UMUM[1]
A.
PENGANTAR MENUJU PEMAHAMAN FILSAFAT
Mengapa ada filsafat? Mengapa orang berfilsafat?
Bahkan ada orang yang menolak filsafat dengan menyatakan, mengapa tidak cukup
membicarakan dan mengamalkan ilmunya saja, tidak perlu berfikir secara berlebihan,
seperti yang dilakukan dalam berfilsafat?
Terkadang manusia selalu mempersoalkan suatu
apapun termasuk mengapa harus berfilsafat? Banyak hal yang ditanyakan seperti
benda, keadaan, hal konkret ataupun abstrak. Mengapa timbul
pertanyaan-pertanyaan seperti itu? Hal tersebut karena seolah-olah mengherankan
sesuatu. Pertanyaannya pun bermacam-macam, mulai dari pertanyaan yang bersifat
biasa, seperti pertanyaan tentang hal wujud sampai dengan pertanyaan yang
bersifat filsafati. Kalaupun harus berlangsung berfilsafat, anjuran Kant maka
timbullah pertanyaan baru, “apa yang menjadi dasar pertanyaan tersebut?”.
Keheranan seperti itu merupakan bekal bagi
seseorang untuk berfilsafat, bahkan timbul pertanyaan yang tidak bersifat
filsafati. Hal ini penting karena dengan heran, orang akan bertanya sehingga
ilmunya akan bertambah. Dengan bertambahnya ilmu lebih dalam dan lebih luas,
orang akan mampu menganalisis masalah dengan lebih tajam, serta mampu menguasai
lingkungannya. Dengan demikian, orang tersebut mampu memahaminya, kemudian akan
bertindak dengan benar. Seperti kita ketahui, bahwa kebenaranlah yang akan
membawa seseorang kepada puncak kebahagiaannya.
Masalah selanjutnya, yaitu mengapa harus
berfilsafat? Tentu tidak menjadi keharusan bagi seseorang untuk berfiilsafat
atau sekedar pertanyaan secara ilmiah, atau sesuai dengan bidang ilmunya. Namun, orang yang berfilsafat
akan menemukan akar dan hakikat dari apa yang menjadi bahan pemikirannya.
Selayaknya, kita mengetahui terlebih dahulu bagaiamana berfilsafat, atau lebih
sederhananya apa filsafat itu?.
Sementara itu, untuk keperluan pelaksanaannya
filsafat dianggap sebagai pertanyaan yang mempersoalkan suatu secara mendalam
dan sungguh-sungguh, radikal sampai keakar-akarnya (Radiks = Akal). Sebuah
pertanyaan yang berbeda dari pertanyaan yang diperbincangkan dalam ilmu
pengetahuan yang bertitik tolak pada wujudnya. Tujuan yang hendak dicapai
adalah kebenaran yang hakiki dan kebenaran yang berfilsafati.
Apabila ada orang yang berpendapat bahwa kita
tidak perlu bertanya secara filsafati, orang tersebut tampaknya tidak mengenal
filsafat sebagai perbincangan yang melahirkan ilmu pengetahuan disamping perbincangan
masalah-masalah lainnya. Terlebih dahulu, ia patut memahami pengertian filsafat
secara dasar dengan tepat sehingga keraguan atas manfaat berfilsafat tidak akan
terjadi. Dengan demikian, pertanyaannya menjadi mengapa orang berfilsafat?
Tampaknya, pertanyaan dan pemikiran yang
bersifat rasional merupakan ciri khas manusia dibandingkan makhluk hidup
lainnya. Ia akan bertanya tentang semua hal untuk menjawab pertanyaannya ia
akan berusaha mencari jawaban yang memenuhi kebutuhan intelektualnya. Oleh
karena itu, manusia berfikir (homo
sapiens) disebut sebagai a rational
animal, animal rational atau binatang yang mampu berfikir. Hal ini berlaku
apabila manusia dan hewan dikelompokkan kedalam suatu golongan dan tidak
memperhatikan perbedaan yang esnsial atau berbeda prinsip. Hal ini merupakan
permasalahan dalam bidang antropologi dan metafisika, khususnya yang menyangkut
hakikat manusia. Sebagai penjelasan awal mengenai hal ini akan dikemukakan
dalam alinea berikut.
Setiap hal yang mengherankan dapat melahirkan
suasann atau mood yang akan berpengaruh terhadap pemikirannya. Dalam ilmu
pengetahuan, setiap ilmu mempunyai masalahnya sendiri-sendiri. persoalannya,
filsafat adalah segala sesuatu, tidak terkecuali. Akan tetapi, dalam
mempersoalkannya terdapat keterbatasan, yaitu menyangkut hakikat filsafat itu
sendiri. Apabila kimia membicarakan hukum-hukum persenyawaan zat maka filsafat
membicarakan hakikat dari hukum-hukum tersebut. Inilah yang dimaksud dengan
sarwa sekalian alam yang menjadi filsafat yang disebut juga universal.
Jelas kiranya, bahwa segala hal yang diherankan,
kemudian dipertanyakan orang. Pada dasarnya, apa yang dipertanyakan orang
meliputi masalah-masalah ilmiah, estetika, religius, dan filsafati. Masalah
ilmiah akan melahirkan pertanyaan ilmiah pula, kemudian menimbulkan jawaban
kebenaran ilmiah. Adapun sifat religius akan melahirkan masalah religius yang
akan melahirkan pertanyaan religius sebelum akhirnya melalui alasan-alasan
religius akan melahirkan kebenaran-kebenaran religius. Adapun masalah estetika
melahirkan pertanyaan yang menuntut pemikiran estetis, dan diakhiri oleh
jawaban estetis. Sementara itu, masalah-masalah filsafati melahirkan pertanyaan
filsafati untuk selanjutnya melahirkan jawaban filsafati mengenai hakikat
sesuatu (the nature of…).
APAKAH FILSAFAT
Secara etimologis, filsafat berasal dari
beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Yunani. Filsafat dalam bahasa
Inggris, yaitu philosophy, sedangkan
dalam bahasa Yunani, filsafat merupakan gabungan dua kata, yaitu philein yang berarti cinta atau philos yang berarti mencintai,
menghormati, menikmati, dan Sophia
atau sophien yang artinya kehikmatan,
kebenaran, kebaikan, kebijaksanaan, atau kejernihan. Secara etimologis,
berfilsafat atau filsafat berarti mencintai, menikmati kebijaksanaan atau
kebenaran. Hal ini sejalan dangan apa yang diucapkan ahli filsafat yunani kuno,
Socrates bahwa pilosof adalah orang
yang mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran. Jadi fliosof bukanlah
orang yang bijaksana atau berpengetahuan benar, melainkan orang yang sedang
belajar dan mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Dalam bahasa Indonesia,
filsafat berasal dari bahasa Arab, filsafah
yang juga berakar pada istilahYunani.
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan
dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
2. Filsafat adalah suatu proses kritik
atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung
tinggi (arti formal).
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya
filsafat berusaha untuk mengkombinasikan hasil bermacam-macam sains dan
pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandanga yang konsisten tentang alam
(arti spekulatif).
4. filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang
arti kata dan konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga
logo-sentrisme.
5. filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat
perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
ASAL MULA FILSAFAT
Berbicara tentang kelahiran dan perkembangan
filsafat pada awal kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan pengembangan
(ilmu) pengetahuan yang munculnya pada masa peradaban Kuno (masa yunani).
Pada tahun 2000 SM bangsa Babilon yang hidup di
lembah sungai Nil (Mesir) dan sungai Efrat, telah mengenal alat pengukur berat, tabel
bilangan berpangkat, table bilangan perkalian dengan menggunakan 10 jari.
Piramida yang merupakan salah satu keajaiban
dunia itu. Yang ternyata pembuatannya menerapkan geometri dan matematika,
menunjukkan cara berfikirnya sudah tinggi. Selain itu mereka pun sudah dapat
mengadakn kegiatan pengamatan benda-benda langit, baik bintang, bulan,
matahari, sehingga dapat meramalkan gerahana baik gerhana bulan maupun gerhana
matahari. Ternyata ilmu yang mereka pakai dewasa ini disebut astronomi.
Di India dan Cina waktu itu telah ditemukan cara
pembuatan kertas dan kompas (sebagai penunjuk arah).
Berikut akan dipaparkan secara historis asal
mula filsafat dari masa Yunani sampai Masa Abad Dewasa Ini (Filsafat abad
ke-20) :
1. Masa Yunani
Yunani terletak di Asia
kecil. Kehidupan penduduknya sebgai nelayan dan pedagang, sebab sebagian besar
penduduknya tinggal didaerah pantai, sehingga mereka dapat menguasai jalur
perdagangan laut.
Kebiasaan mereka hidup dialam bebas
sebagai nelayan itulah mewarnai kepercayaan yang dianutnya yaitu berdasarkan
kekuatan alam, sehingga beranggapan bahwa hubungan manusia dengan Sang Maha
Pencipta bersifat formalitas. Artinya, kedudukan Tuhan terpisah dengan
kehidupan manusia.
Kepercayaan, yang bersifat formalitas (natural religion) tidak memberikan
kebebasan kepada manusia, ini ditentang oleh Homerrus[2]
dengan dua karyanya yang terkenal, yaitu Ilias
dan Odyseus. Kedua karya Homerrus
itu memuat nilai-nilai yang tinggi dan bersifat edukatif. Sedemikian besar
peranan karya Homerrus, sama kedudukannya seperti wayang purwa di Jawa.
Akibatnya masyarakat lebih kritis dan rasional.
Pada abad ke-6 SM, bermunculan para
pemikir yang kepercayaannya bersifat rasional (cultural religion) menimbulkan pergeseran. Tuhan tidak lagi
terpisah dengan manusia, melainkan justru menyatu dengan kehidupan manusia. Sistem
kepercayaan yang natural religios
berubah menjadi sistem cultural religios.
Dalam sistem kepercayaan natural religios ini manusia terikat
oleh tradisionalisme. Sedangkan dalam sistem kepercayaan cultural religius ini
memungkinkan manusia mengembangkan potensi dan budayanya dengan bebas, sehingga
dapat mengembangkan pemikirannya untuk menghadapi dan memecahkan berbagai
misteri kehidupan/alam dengan akal pikiran.
Ahli pikir yang pertama kali muncul
adalah Thales (+ 625-545 SM) yang berhasil mengembangkan geometri dan
matematika, Liokippos dan Democritos mengembangkan teori materi, Hipocrates
mengembangkan ilmu kedokteran, Euclid mengembangkan geometri edukatif, Socrates
mengembangkan teori tentang moral, Plato mengembangkan teori tentang ide,
Aristoteles mengembangkan teori yang menyangkut dunia dan benda, dan berhasil
mengumpulkan data 500 jenis binatang (ilmu biologi). Suatu keberhasilan yang
luar biasa dari Aristoteles adalah menemukan sistem pengaturan pemikiran
(logika formal) yang sampai sekarang masih dikenal.
Oleh karena arah pemikiran filsafatnya
pada alam semesta maka corak pemikirannya: kosmosentris.
Sedangkan para ahli pikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang hidup
pada masa Yunani Klasik karena arah pemikirannya pada manusia corak pemikiran
filsafatnya: antroposentris. Hal ini
disebabkan karena arah pemikiran para ahli pikir Yunani Klasik tersebut
memasukkan manusia sebagai subyek yang harus bertanggung jawab terhadap segala
tindakannya.
2. Masa Abad Pertengahan
Masa ini diawali dengan lahirnya
filsafat Eropa. Sebagiamana halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh
kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada abad pertengahan pun dipengaruhi
oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran filsafat abad pertengahan
didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalu didasarkan atas dogma
agama, sehingga corak pemikiran kefilsafatannya bersifat teosentris.
Baru pada abad ke-6 M, setelah mendapat
dukungan dari Karel Agung,[3]
maka didirikanlah sekolah-sekolah yang memberi pelajaran: gramatika,
dialektika, geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Keadaan yang demikian
akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat pada abad ke-13 yang ditandai
berdirinya Universitas-universitas dan Ordo-ordo. Dalam ordo-ordo inilah mereka
mengabdikan dirinya untuk kemajuan ilmu dan agama, seperti Anselmus
(1033-1109), Abailardus (1079-1143), Thomas Aquinas (1225-1274).
Dikalangan para ahli pikir Islam
(periode filsafat skolastik Islam) muncul: Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina,
Al-Ghazali, Ibnu Bajah, Ibnu Tuffail, Ibnu Rusyid. Periode skolastik Isalam ini
berlangsung tahun 8500-1200. pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan
ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Akan tetapi setelah jatuhnya kerajaan
Islam di Granada (Spanyol) tahun 1492 mulailah kekuasaan politik barat menjarah
ketimur.[4]
Suatu prestasi yang paling besar dalam kegiatan ilmu pengetahuan terutama dalam
bidang filsadfat. Disini mereka merupakan mata rantai yang mentransfer filsafat
Yunani, sebagaimana yang dilakukan sarjana-sarjana Islam di Timur terhadap
Eropa dengan menambah pikiran-pikiran sendiri. Para
filosof Isalm sendiri sebagian menganggap filsafat Aristoteles adalah benar,
Plato dan Al-quran adalah benar, mereka mengadakan perpaduan dan sinkretisme
antara agama dan filsafat. Kemudian pikiran-pikiran ini masuk ke Eropa, yang
merupakan sumbangan Islam yang paling besar, yang besar pengaruhnya terhadap
ilmu pengetahuan dan pemikiran filsafat terutama dalam bidang teology dan ilmu
pengetahuan alam.[5]
Peralihan dari abad pertengahan kepada abad modern dalam sejarah filsafat
disebut sebagai masa peralihan (transisi), yaitu munculnya Renaissance dan
Humanisme, yang berlangsung pada abad 15-16. munculnya Renaissance dan
Humanisme inilah yang memulai masa abad modern. Mulai zaman modern inilah
peranan ilmu alam kodrat sangat menonjol, sehingga akibatnya pemikiran filsafat
semakin dianggap sebagai pelayan dari teologi, yaitu suatu sarana untuk
menetapkan kebenaran-kebenaran mengenai Tuhan yang dicapai oleh akal manusia.
3. Masa Abad Modern
Pada masa abad modern ini pemikiran filsafat
ini berhasil menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandangan
kehidupan, sehingga corak pemikirannya:antroposentris, yaitu pemikiran
filsafatnya mendasar pada akal pikir dan pengalaman.
Diatas telah dikemukakan bahwa munculnya
Renaissance dan Humanisme sebagai awal masa abad modern. Daiman para ahli
filosof menjadi pelopor perkembangan
filsafat (kalau pada masa abad pertengahan yang menjadi pelopor
perkembangan filsafat adalah para pemuka agama). Dan pemikiran filsafat masa
abad modern ini berusaha meletakkan
dasar-dasar bagi metode induksi secara modern, serta membuka sistematika yang
sifatnya logis-ilmiah. Pemikiran filsafat diupayakan lebih bersifat praktis,
artinya pemikiran filsafat diarahkan pada upaya manusia agar dapat menguasai
lingkungan alam dengan menggunakan berbagai penemuan ilmiah.
Karena semakin pesatnya orang
menggunakan metode induksi/ eksperimental dalam berbagai penelitian ilmiah,
akibatnya perkembangan pemikiran filsafat mulai tertinggal oleh perkembangan
ilmu-ilmu alam kodrat (naturale science). Renedescartes (1596-1650) sebagai
bapak filsafat modern yang berhasil melahirkan suatu konsep dari perpaduan
antara metode ilmu alam ilmu pasti kedalam pemikiran filsafat. Upaya ini
dimaksudkan, agar kebenaran dan kenyataan filsafat juga sebagai kebenaran dan
kenyataan yang jelas.
Pada abad ke-18, perkembangan pemikiran
filsafat mengarahkan kepada filsafat ilmu pengetahuan, dimana pemikiran
filsafat diisi dengan upaya manusia, bagaimana cara/sarana apa yang dipakai
untuk mencari kebenaran dan kenyataan. Sebagai tokohnya George Berkeley
(1685-1753), David Hume (1711-1776), Rousseau (1722-1778).
Di Jerman muncul Christian Wolft
(1679-1754) dan Imannuel Kant (1724-1804), yang mengupayakan agar filsafat
menjadi ilmu pengetahuan yang pasti dan berguna, yaitu dengan cara membentuk
pengertian-pengertian yang jelas dan bukti yang kuat.
Abad ke-19 perkembangan pemikiran
filsafat terpecah belah. Pemikiran filsafat pada saat itu telah mampu membentuk
sesuatu kepribadian tiap-tiap bangsa dengan pengertian dan caranya sendiri. Ada filsafat Amerika,
Filsafat Prancis, Filsafat Inggris, Filsafat Jerman. Tokoh-tokohnya adalah
Hegel (1770-1831), Karl Marks (1818-1883), Agust Comte (1798-1857), JS. Miller
(1806-1873), Jhon Dewey (1858-1952).
Akhirnya dengan munculnya pemikiran
filsafat yang bermacam-macam ini, berakibat tidak terdapat lagi pemikiran
filsafat yang mendominasi. Giliran selanjutnya, lahirlah filsafat kontemporer
atau filsafat dewasa ini.
4. Masa Abad Dewasa Ini (Filsafat abad
ke-20)
Filsafat Dewasa ini atau filsafat abad
ke-20 juga disebut filsafat kontemporer yang yang merupakan cirri khas
pemikiran filsafat adalah desentrelisasi manusia. Karena pemnikiran filsafat
abad ke-20 ini memberikan perhatian yang khusus kepada bidang bahasa dan etika
sosial.
Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok
masalah: arti kata-kata dan arti pernyataan-pernyataan. Masalah ini muncul
karena bahwa realitas sekarang ini banyak bermunculan berbagai istilah, dimana
cara pemakaiannya sering tidak dipikirkan secara mendalam, sehingga menimbulkan
tafsir yang berbeda-beda (bermakna ganda). Maka timbullah filsafat analitika,
yang didalamnya membahas tentang cara berfikir untuk mengatur pemakaian
kata-kata/istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, dan sekaligus menimbulkan
bahaya-bahaya yang terdapat di dalamnya. Oleh karena bahasa sebagai obyek
terpenting dalam pemikiran filsafat, maka para ahli pikir menyebut sebagai:
logosentris.
Dalam bidang etika sosial memuat
pokok-pokok masalah: apakah yang hendak kita perbuat di dalam masyarakat dewasa
ini?
Kemudian, para paruh pertama abad ke-20
ini timbul aliran-aliran kefilsafatan seperti: Neo-thomisme, neo-Kantiamisme,
neo-Hegelianisme, Kritika ilmu, Historisme, Irasionalisme, Neo-vitalisme,
Spiritualisme, Neo-positivisme. Aliran-aliran ini sampai sekarang tinggal
sedikit yang masih bertahan. Sedangkan pada awal belahan belahan akhir abad
ke-20 muncul aliran-aliran kefilsafatan yang lebih dapat memberikan corak
pemikiran dewasa ini seperti: filsafat Analitik, Filsafat Eksistensi,
struktualisme, Kritika sosial.
SIFAT DASAR FILSAFAT
1. Bersifat Radikal
Berfilsafat berarti berpikir secara
radikal. Filsuf adalah pemikir yang radikal. Karena berpikir secara radikal, ia
tidak akan pernah terpaku hanya pada fenomena suatu entitas tertentu. Ia tidak
akan pernah berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradikalan
berpikirnya itu akan senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh
kenyataan. Bila dikatakan bahwa filsuf selalu berupaya untuk menemukan radix seluruh kenyataan, berarti dirinya
sendiri sebagai suatu realitas telah termasuk kedalamnya sehingga ia pun
berupaya untuk mencapai akar pengetahuan tentang dirinya sendiri.
Mengapakah radix atau akar realitas
begitu penting untuk ditemukan? Ini karena bagi seorang filsuf, hanya apabila
akar realitas itu telah ditemukan, segala sesuatu yang tumbuh diatas akar itu
akan dapat dipahami. Hanya apabila akar suatu permasalahan telah ditemukan,
permasalahan itu dapat dimengerti sebagaimana mestinya.
Berpikir radikal tidak berarti hendak
mengubah, membuang, atau menjungkirbalikkan segala sesuatu, melainkan dalam
arti yang sebenarnya, yaitu berpikir secara mendalam, untuk mencapai akar permasalahan
yang dipermasalahkan. Berpikir radikal justru hendak memperjelas realitas,
lewat penemuan serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri.
2. Mencari Asas
Filsafat bukan hanya mengacu kepada
bagian tertentu dari realitas, melainkan kepada keseluruhannya. Dalam memandang
keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas yang paling
hakiki dari keseluruhan realitas. Seorang filsuf akan selalu berupaya untuk
menemukan asas yang paling hakiki dari realitas.
Mencari asas pertama berarti juga
berupaya menemukan sesuatu yang menjadi esesnsi realitas. Dengan menemukan
esensi suatu realitas, realitas itu dapat diketahui dengan pasti dan menjadi
jelas. Mencari asas adalah salah satu sifat dasar filsafat.
3. Memburu kebenaran
Filsuf adalah pemburu kebenaran.
Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan
setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab tiu, dapat dikatakan bahwa
berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu.
Tentu saja kebenaran yang hendak digapai
bukanlah kebenaran yang meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang
sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan, setiap kebenaran yang telah diraih
harus senantiasa terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih
kebenaran yanglebih pasti. Demikian seterusnya.
Jelas terlihat bahwa kebenaran filsafati
tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu
kebenaran baru yang menuju kebenaran yang lebih pasti. Kebenaran baru yang
ditemukan itu juga terbuka untuk diipersoalkan kembali demi menemukan kebenaran
yang lebih meyakinkan.
Dengan demikian, terlihat bahwa salah
satu sifat dasar filsafat ialah senantiasa memburu kebenaran. Upaya memburu
kebenaran itu adalah demi kebenaran itu sendiri, dan kebenaran yang diburu
adalah kebenaran yang lebih meyakinkan serta lebih pasti.
4. Mencari kejelasan
Salah satu penyebab kelahiran filsafat
ialah keraguan. Untuk menghilangkan keraguan diperlukan kejelasan. Ada filsuf yang menyatakan
bahwa berfilsafat berarti berupaya mendapatkan kejelasan dan pejelasan mengenai
seluruh realitas. Ada
pula yang menyatakan bahwa filsuf senantiasa mengejar kejelasan pengertian (clarity
of undersranding). Geisler dan Feinberg mengatakan bahwa cirri khas penelitian filsafati ialah adanya usaha keras
demi meraih kejelasan intelektual (intellectual clarity). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa berfikir secara filsafati berarti berusaha memperoleh
kejelasan.
Mengejar kejelasan berarti harus
berjuang dengan gigih untuk mengeliminasi segala sesuatu yang tidak jelas, yang
kabur, dan yang gelap, bahkan juga yang serba rahasia dan juga berupa
teka-teki. Tanpa kejelasan, filsafatpun akan menjadi sesuatu yang mistik, serba
rahasia, kabur, gelap, tak mungkin dapat menggapai kebenaran.
Jelas terlihat bahwa berfilsafat
sesungguhnya merupakan suatu perjuangan untuk mendapatkan kejelasan pengertian
dan kejelasan seluruh realitas. Perjuangan mencari kejelasan itu adalah salah
satu sipat dasar filsafat.
5. Berpikir Rasional
Berpikir secara radikal, mencari asas,
memburu kebenaran, dan mencari kejelasan tidak mungkin dapat berhasil dengan
baik tanpa berpikir secara rasional. Berpikir secara rasional berarti berpikir
logis, sistematis, dan kritis. Berpikir logis adalah bukan hanya sekedar
menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat, melainkan
agar sannggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar
dari premis-premis yang digunakan.
Berpikir logis juga menuntut pemikiran
yang sistematis. Pemikiran yang sistematis adalah rangkaian pemikiran yang
berhubungan satu sama lain. Atau saling berkaitan secara logis. Tanpa berpikir
yang logis-sistematis dan koheren, tak mungkin diraih kebenaran yang dapat
dipertanggung jawabkan.
Berpikir kritis berarti membakar kemauan
untuk terus-menerus mengevaluasi argument-argumen yang mengklaim diri
benar. Seorang yang berpikir kristis
tidak akan mudah menggenggam suatu kebenaran sebelum kebenaran itu
mdipersoalkan dan benar-benar diuji lebih dahulu. Berpikir
logis-sistematis-kritis adalah cirri utama berpikir rasional. Adapun berpikir
rasional adalah salah satu sipat dasar filsafat.
OBYEK MATERI DAN OBYEK FORMAL FILSAFAT
Semua ilmu pengetahuan pasti mempunyai obyek materi dan obyek forma.
Yang disebut obyek materi adalah hal atau bahan
yang diselidiki (hal yang dijadikan sasaran penyelidikan). Sedangkan obyek
forma adalah sudut pandang (point of view), darimana hal atau bahan tersebut
dipandang.
Misalnya ilmu alam, obyek formanya perubahan dan
bangun benda. Ilmu kimia obyek formanya susunan benda. Ilmu gaya obyek formanya kekuatan dan gerak benda.
Sehingga ketiga ilmu tersebut diatas mempunyai obyek forma yang berbeda, akan
tetapi ketiga ilmu tersebut mempunyai obyek materi yang sama yaitu benda.
Bagaimana dengan obyek materi dan obyek formanya
filsafat? Obyek materi filsafat adalah segala sesuatu yang ada. “ada” disini
mempunyai tiga pengertian, yaitu ada dalam kenyataan, ada dalam pemikiran, dan
ada dalam kemungkinan. Sedangkan obyek forma filsafat adalah menyeluruh dan
secara umum. Menyeluruh disini berarti bahwa filsafat dalam memandangnya dapat
mencapai hakikat (mendalam), atau tidak ada satupun yang berada diluar jangkauan
pembahasan filsafat. Umum disini berarti bahwa dalam hal tertentu, hal tersebut
dianggap benar selama tidak merugikan kedudukan filasafat sebagai ilmu.
Menurut Ir. Poedjawijatna, obyek materi filsafat
adalah ada dan yang mungkin ada. Obyek materi filsafat tersebut sama dengan
obyek materi dari ilmu seluruhnya. Yang menentukan perbedaan ilmu dengan yang
satunya adalah obyek formanya. Sehingga, kalau ilmu membatasi diri dan berhenti
pada dan berdasarkan pengalaman, sedangkan filsafat tidak membatasi dir,
filsafat hendak mencari keterangan yang sedalam-dalamnya, inilah obyek forma
fisafat.
CIRI-CIRI PEMIKIRAN FILSAFAT
Berpikir kefilsafatan memiliki karakteristik
tersendiri yang dapat dibedakan dari bidang ilmu lain. Beberapa ciri
kefilsafatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Radikal, artinya, berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada
hakikat atau substansi yang dipkirkan.
2. Universal artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum
manusia. Kekhususan berfikir kefilsafatan menurut Jaspers terletak pada aspek
keumumannya.
3. Konseptual, artinya, merupakan hasil generalisasi dan abstraksi
pengalaman manusia. Misalnya apakah kebebasan itu?
4. Koheren dan konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan
kaidah-kaidah berfikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
5. Sistematik, artinya: pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu
harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau
tujuan tertentu.
6. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berfikir secara
kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
7. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafat bolah
dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari
prasangka-prasangka sosial, historis, cultural, bahkan relijius.
8. Bertanggung jawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang
yang berfikir sekaligus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya, paling
tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
Ke delapan ciri berfikir kefilsafatan ini
menjadikan filsafat cenderung berbeda dengan cirri berfikir ilmu-ilmu lainnya,
sekaligus menempatkan kedudukannya filsafat sebagai bidang keilmuan yang
netral, terutama ciri ketujuh
PERANAN FILSAFAT
Menyimak sebab-sebab kelahiran filsafat dan
proses perkembangannya, sesungguhnya filsafat telah memerankan sedikitnya tiga
peranan utama dalam sejarah pemikiran manusia. Ketiga peranan yang telah
diperankannya itu ialah sebagai pendobrak,
pembebas, dan pembimbing.
Pendobrak.
Berabad-abad lamanya intelekualitas manusia
tertawan dalam penjara tradisi dan kebiasaan. Dalam penjara itu, manusia
terlena dalam alam mistik yang penuh sesak dengan hal-hal serba rahasia yang
terungkap lewat berbagai mitos dan mite. Manusia menerima begitu saja segala
penuturan dongeng dan takhatul tanpa mempersoalkannya lebih lanjut. Orang
beranggapan bahwa karena segala dongeng dan takhayul itu merupakan bagian yang
hakiki dari warisan tradisi nenek moyang, sedang tradisi itu benar dan tak
dapat diganggu gugat, maka dongeng dan takhayul itu pasti benar dan tak boleh
diganggu gugat.
Oleh sebab itu, orang-orang Yunani, yang
dikatakan memiliki “suatu rasionalitas yang luar biasa”, juga pernah percaya kepada dewa dewiyang
duduk dimeja perjamuan di Olimpus sambil menggoncangkan kayangan dengan sorakan
dan gelak tawa tak henti-hentinya. Mereka percaya kepada Dewa-dewi yang menipu
satu sama lain, licik dan sering memberontak dan kadangkala seperti anak nakal.
Keadaan tersebut berlangsung cukup lama.
Kehadiran filsafat telah mendobrak pintu-pintu dan tembok-tembok tradisi yang
begitu sakral dan selama itu tak boleh diganggu gugat. Gendati pendobrakan itu
membutuhkan waktu yang cukup[ panjang,kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa
filsafat benar-benar telah berperan selaku pendobrak yang mencengangkan.
Pembebas.
Filsafat bukan sekedar mendobrak pintu penjara
tradisi dan kebiasaan yang penuh dengan berbagai mitos dan mite itu, melainkan
juga merenggut manusia keluar dari dalam
penjara itu. Filsafat membebasan manusia dari ketidak tahuan dan kebodohannya.
Demikian pula, filsafat membebasan manusi dari belenggu cara berfikir yang
mistis dan mitis.
Sesungguhnya, filsafat telah, sedang, dan akan
terus berupaya membebaskan manusia dari kekurangan dan kemiskinan pengetahuan
yang menyebabkan manusia yang picik dan dangkal. Filsafat pun membebaskan
manusia dari cara berpikir yang tidak teratur dan jernih.filsafat juga
membebaskan manusia dari cara berpikir tidak kritis yang membuat manusia mudah
menerima kebenaran-kebenaran semu
yang menyesatkan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa filsafat
membebaskan manusia dari segala jenis “penjara” yang hendak mempersempit dari
ruang gerak akal budi manusia.
Pembimbing
Bagaimanakah filsafat dapat membebaskan manusi
dari segala jenis “penjara” yang hendak mempersempit ruang gerak akal budi
manusia itu? Sesungguhnya, filsafat hanya mampu melaksanakan perannya selaku pembimbing.
Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir
yang mistis dan mitis dengan membimbing manusia untuk berpikir secara rasional.
Filsafat membebasan manusia dari cara berpikir yang picik dan dangkal dengan
membimbing manusia untuk berpikir secara luas dan lebih mendalam, yakni
berpikir secara universal sambil berupaya mencapai radix. Dan menemukan esensi suatu pembahasan. Filsafat membebaskan
manusia dari cara berpikir dari cara berpikir dan tidak teratur dan tidak
jernih dengan membimbing manusia untuk berpikir secara sistematis dan logis.
Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tak utuh dan dan begitu
fragmentaris dengan membimbing manusia untuk berpikir secara integral dan
koheren.
KEGUNAAN FILSAFAT
Studi filsafat ini kerap kali diabaikan orang
karena seolah-olah tidak cukup membumi, yaitu tidak ada hubungannya dengan
masalah-masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari terlebih lagi menyelesaikan
masalah dalam kehidupan sehari-hari, tetapi sekedar “latihan berfikir”, seperti
mengisi teka-teki silang.
Berdasarkan pemahaman dasarnya, persepsi ini
tidak tepat, meskipun didalamnya terkandung manfaat. Secara khusus, filsafat
merupakan perbincangan mencari hakikat suatu gejala atau hal yang ada. Artinya,
filsafat merupakan landasan dari sesuatu apapun, tumpuan segala hal, jika
salah, tentulah berbahaya, sedikitnya akan merugikan. Apabila kehidupan
berpengetahuan itu diibaratkan sebuah pohon maka filsafat adalah akarnya. Yaitu
bagian yang berhubungan langsung dengan sumber kehidupan pohon itu, sedangkan
batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah menjadi bahan kajian ilmu
pengetahuan. Berdasarkan hadil penelitian, ilmu pengetahuan berhubungan dengan
apa yang terlihat atau yang biasa disebut menggejala atau mewujud. Terlebih
lagi kaum awam, ia hanya dapat melihat sesuatu secara langsung atau yang
berhubungan secara langsung, khususnya menjawab kebutuhan nyata dirinya
sendiri.
Dalam perbincangan lebih nyata, filsafat
mempersoalkan dan membicarakan kembali keakar, baik berdasarkan ilmu
pengetahuan maupun pemahaman lain. Jadi, filsafat menyadarkan manusia terhadap
apa yang sudah diyakini, digauli, digunakan, dam dilakukannya. Hal ini penting
! sebagai contoh pada matematika, “mengapa 5 X 5 lebih besar daripada 4 X 4?”
umumnya, orang percaya begitu saja, bahkan mempercayai apa yang dikatakan orang
lain, seperti atau orang tua dan kakaknya. Jawaban yang sebenarnya adalah
adanya kesepakatan bahwa sebutan angka 5 lebih tinggi nilainya daripada 4.
Dengan catatan, angka berikutnya lebih
tinggi nilainya dari angka sebelumnya. Filsafat mengatakan, “ingatlah dibalik
matematika itu ada suatu kesepakatan, jika kespakatannya tidak demikian, belum
tentu 5 X 5 lebih besar daripada 4 X 4.
Dalam hal ini, ilmu pengetahuan mengenal asumsi
yang disebut aksioma, yaitu anggapan dasar yang merupakan tumpuan atau sumber
dari awal kehidupan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Wacana atau perbincangan
filsafat melahirkan asumsi tersebut. Hal tersebut disebut juga keyakinan
filsafati (philosophical belief). Asumsi
tersebut jika terus-menerus ditelaah ketepatannya, bukan tidak mungkin akan
mengalami perubahan, entah itu bertambah atau berkurang, atau justru berubah.
Akhirnya, teori-teoti baru dalam bidang ilmu pengetahuan akan bermunculan
sehingga lahirlah istilah filsafat ilmu. Filsafat ilmu berperan fundamental dan
melahirkan, memelIhara, dan membangun ilmu pengetahuan.
Masalah penting ialah suatu pandangan filsafati
tidak akan hilang atau terganti dengan pendangan filsafat berikutnya, meskipun
hal tersebut bertujuan untuk mengoreksi pandangan filsafati sebelumnya. Hal itu
dapat terjadi karena pandangan atau pemikiran fisafati adalah perbincangan
rasional semata, tetapi mendalam dan melibatkan seluruh jiwa raga atau
eksistensinya. Kebenarannya, selain relative juga mendasar. Oleh karena itu,
jika ada satu pendapat, kemudian dikoreksi oleh pendapat baru, bukan berarti
yang satunya hilang kemudian diganti dengan yang lain, melainkan menjadi dua
pandangan atau pendapat. Jika kedua pendapat yang berbeda itu kita padukan akan
melahirkan tiga pandangan.
Selanjutnya, perubahan itu akan terus berkembang
tidak henti-hentinya sehingga pandangan dasar itu akan terus berubah dan berkembang.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang didasari akan berubah pula, khususnya
dalam arti berkembang. Begitulah filsafat, pada saat suatu keyakjinan mengenai
sesuatu ditetapkan, pada saat itu pula diragukan. Pada saat kebenaran
ditemukan, muncullah keraguan atas kebenaran itu.
Perlu diperhatikan, bahwa selain asumsi atau
aksioma, dikenal pula istilah lain yang hampir serupa, yaitu postulat.
Perbedaanya adalah, bahwa asumsi yang merupakan keyakinan filosofis yang
menjadi anggapan dasar ilmu yang adapun postulat merupakan keyakinan filsafati
dan landasan ilmu pengetahuan yang diakhir perbincangan atau penelitiannya
dibicarakan kembali untuk diubah.
Manfaat lain filsafat adalah didasarkan pada
pengertian filsafat sebagai suatu integrasi atau pengintegrasi sehingga dapat
melakukan fungsi integrasi ilmu pengetahuan. Sebagian besar orang hanya
menyangkutkan apa yang paling dekat dan apa yang paling dibutuhkannya pada saat
dan tempat tertentu. Alam raya, ilmu pengetahuan, benda-benda, dan manusia
hanya dipandangnya dari beberapa bagian kecil yang penting, serta menurut
waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Dengan demikian, pandangannya tentang
segala sesuatu adalah sempit dan eksklusif. Alam raya seolah-olah dibagi-bagi,
manusia seolah-olah dipotong-potong menjadi badan dan jiwa, sedangkan jiwanya
dibagi-bagi menjadi emosi, motifasi, intelegensi, dan lain-lain. Masyarakat
dikotak-kotakkan sehingga akan kehilangan arti menyeluruh dan hakikatnya.
Filsafat memandang segala sesuatu dalam suatu sistem
keseluruhan dan dalam segala aspeknya, sebagai akibat dari pandangan dasar atau
akarnya.
CABANG-CABANG FILSAFAT
Asas-asas filsafat merupakan suatu kajian yang
mengetengahkan prinsip-prinsip pokok bidang filsafat. Aktifitas filsafat
melibatkan akal fikir manusia secara utuh, konsisten dan bertanggung jawab.
Dalam aktifitas akal itu para filosof mencoba mengungkap tentang realitas.
Kegiatan mengungkap realitas ini membutuhkan bahasa sebagai sarana bagi
pemahaman terhadap realitas tersebut. Dari sini muncullah berbagai istilah
tehnis filsafati yang mengandung makna khas seperti: subtansi, eksistensi,
impresi, kategori. Istilah-istilah teknis filsafati ini muncul dalam
bidang-bidang utama filsafat, yakni; Metafisika, Epistemology, dan Aksiologi.
1.
Epistemologi
Epistemologi mempersoalkan kebenaran
pengetahuan. Pernyataan tentang
Kebenaran diperlukan susunan yang tepat. Kebenaran pengetahuan disebut
memenuhi syarat-syarat epistemologi karena juga tepat susunannya, atau disebut
logis. Meskipun logika dan epistemologi merupakan dua hal berbeda, keduanya
memiliki kaitan yang sangat kuat, ialah bahwa logika menjadi prasyarat yang
mendasari epistemologi.
Dalam epistemologi,
secara lebih rinci terdapat perbincangan mengenai dasar, batas, dan obyek
pengetahuan. Oleh sebagian orang, epistemologi disebut filsafat ilmu. Secara
umum dan mendasar, terdapat perbedaan antara epistemologi dan filsafat ilmu.
Secara umum, epistemologi mempersoalkan kebenaran pengetahuan, sedangkan
filsafat ilmu (philosophy of science), secara khusus mempersoalkan ilmu atau keilmuan pengetahuan.
Hal yang dibicarakan
adalah pengetahuan dan susunan (sistem). Ilmu atau science adalah
pengetahuan-pengetahuan yang gejalanya dapat diamati berulang-ulang melalui
eksperimen sehingga dapat secara berulang-ulang oleh orang yang berbeda-berbeda
dalam waktu yang berbeda. Adapun hal yang dibicarakan dalam epistemologi adalah
hakikat ketepatan susunan berfikifr yang secara tepat pula digunakan untuk
masalah-masalah yang bersangkutan dengan maksud menemukan kebenaran isi
pernyataannya. Isi pernyataannya ialah sesuatu yang ingin diketahuiu. Oleh
karena itu, epistemologi disebut atau bersesuaian dengan ilmu pengetahuan
sehingga pengertiannya untuk sebagian orang sama saja dengan filsafat ilmu.
Berikut ini akan
dibicarakan secara ringkas beberapa pokok persoalan yang dipersoalkan di dalam
epistemologi.
Tentang
Pengetahuan
Jika dikatakan seseorang mengetahui sesuatu, itu
berarti ia memiliki pengetahuan tetang sesuatu itu. Dengan demikian,
pengetahuan adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang
diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Apabila
si Paimun yang barn pulang dari Tokyo
menceritakan bahwa Tokyo itu kota yang sangat besar, jalan rayany lebar-lebar, hampir semua bangunannya bertingkat,
warga kotanya ramat dan sebagainya,
maka semua yang dituturkannya itu adalah pengetahuanny tentang Tokyo.
Kita mengetahui bahwa satu ditambah satu adalah dua, sepuluh kali sepuluh adalah seratus. Kita pun
mengetahui bahwa ada bermacam-macam
warna: merah, putih, hitam, dan sebagainya. Kita juga mengetahu bahwa rumah,
meja, sungai, taut, gunung, dan manusia adalah Bagian dari lingkungan hidup kita. Semua yang kita ketahui
tentang sesuatu itu adalal pengetahuan.
Pengetahuan senantiasa
memiliki subjek, yakni yang mengetahui, karen tanpa ada yang mengetahui tidak mungkin ada pengetahuan. Jika ada
subjek pasti ada pula objek, yakni
sesuatu yang ihwalnya kita ketahui atau Kendal kita
ketahui. Tanpa objek, tidak mungkin ada pengetahuan.
Pengetahuan bertautan erat dengan kebenaran karena demi mencapa kebenaranlah
pengetahuan itu eksis. Kebenaran ialah kesesuaian pengetahuai dengan
objeknya. Ketidaksesuaian pengetahuan dengan objeknya disebut ke keliruan.
Suatu objek yang ingin diketahui senantiasa memiliki begitu banyal aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak.
Kenyataannya, manusia hanya mengetahui
beberapa aspek dan suatu objek itu, sedangkan yank lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan
demikian, jelas bahwa amat suli untuk
mencapai kebenaran yang lengkap dari objek tertentu, apalagi mencapa seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat
dijadikan objek pengetahuan.
Pengetahuan dapat dibagi ke
dalam tiga jenis sebagai berikut:
1.
Pengetahuan biasa (ordinary knowledge). Pengetahuan ini terdiri dari pengetahuan nir-ilmiah dan pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan nir-ilmiah adalah hasl pencerapan dengan indra
terhadap objek tertentu yang dijumpai dalam
kehidupan sehari-hari dan termasuk pula pengetahuan intuitif. Pengetahuan pra-ilmiah merupakan hasl pencerapar indrawi dan pengetahuan
yang merupakan hasl pemikiran rasional yang tersedia
untuk diuji lebih lanjut kebenarannya dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
2.
Pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang
diperoleh lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Pengetahuan yang demikian dikenal juga dengan sebutan science.
3.
Pengetahuan filsafati (philosophical knowledge). Pengetahuan filsafati diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan
pemikiran-pemikiran yang logis, analitis,
dan sistematis. Pengetahuan filsafati adalah pengetahuan yang berkaitan dengan hakikat, prinsip, dan asas
dari seluruh realitas yang dipersoalkan
selaku objek yang hendak diketahui.
Sumber-Sumber
Pengetahuan
Apakah sebenarnya yang menjadi sumber pengetahuan? Para
filsuf memberi jawaban yang
berbeda-beda terhadap pertanyaan itu. Plato, Descartes, Spinoza, dan Leibniz mengatakan bahwaakal budi atau rasio adalah sumber utama bagi pengetahuan, bahkan ada yang secara ekstrem menekankan bahwa akal budi adalah satu-satunya sumber bagi
pengetahuan. Para filsuf yang mendewakan akal budi itu
berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pan-dangan yang bertentangan dengan akal
budi tidak mungkin benar. Bagi mereka,
pikiran memiliki fungsi yang amat penting dalam proses mengetahui.
Beberapa filsuf lainnya, seperti Bacon, Hobbes, dan Locke, menyatakan bahwa bukan akal budi, melainkan pengalaman
indrawilah yang menjadi sumber utama bagi
pengetahuan. Kendati memang ada perbedaan pandangan di antara
mereka sendiri, mereka semua sependapat bahwa pada dasarnya pengetahuan bergantung pada pancaindra manusia
serta pengalaman-pengalaman indranya,
dan bukan pada rasio. Mereka juga mengklaim bahwa seluruh ide dan konsep manusia sesungguhnya
berasal dari pengalaman. Tidak ada ide
atau konsep yang di dalam dirinya sendiri bersifat apriori. Mereka mengatakan bahwa semua
ide dan konsep itu sesungguhnya aposteriori.
Jika benar bahwa seluruh ide dan
konsep manusia bergantung pada pengalaman, maka sesungguhnya seluruh pengetahuan manusia itu pun bersifat aposteriori.
Akan tetapi, para filsuf itu
mengakui juga bahwa tidak semua pengetahuan
manusia secara langsung bergantung pada pengalaman, melainkan apabila ditelusuri lebih lanjut pada akhirnya akan terlihat bahwa pengetahuan sesungguhnya
berasal dari pengalaman. John Locke
mengatakan bahwa seluruh ide manusia berasal secara langsung dari sensasi dan lewat refleksi terhadap
ide-ide sensatif itu sendiri. Tidak ada
suatu apa pun juga dalam akal budi manusia yang tidak berasal dari pengalaman indrawi.
Immanuel Kant, yang filsafatnya tidak sealiran dengan John Locke, jup berpendapat bahwa kendati seluruh ide dan konsep
manusia bersifat apriori sehingga ada kebenaran apriori, ide dan konsep itu hanya dapat diaplikasikan apabila ada pengalaman. Tanpa pengalaman, seluruh
ide dan konsep seperti kebenaran apriori tidak akan pernah dapat diaplikasikan. Dengan kata lain Kant hendak mengatakan bahwa akal budi manusia
hanya dapat berfung sebagaimana mestinya apabila dihubungkan
dengan pengalaman. Denga demikian, Kant
memperdamaikan kedua pandangan tersebut yang selan itu senantiasa saling bertentangan.
Kesahihan Pengetahuan
Di dalam epistemologi, ada beberapa teori kesahihan pengetahuan, antara
lain teori kesahihan koherensi, teori kesahihan korespondensi, teori kesahihan pragmatis, teori kesahihan semantik, dan teori
kesahihan logikal yang berlebih-lebihan.
Teori Kesahihan Koherensi (Coherence Theory of Truth) menegaskan
bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu
pengetahuan) diakui sahih jika proposisi
itu memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proposisi sebelumnya
yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan ketentuan-ketentuan logika.
Teori Kesahihan
Korespondensi/Saling Bersesuaian (Correspondence Theory of Truth) mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih apabih proposisi bersesuaian dengan realitas yang
menjadi objek pengetahuan itu Kesahihan
korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenarai dan kepastian indrawi. Dengan demikian, kesahihan
pengetahuan itu dapa dibuktikan secara
langsung.
Teori Kesahihan Pragmatis (Pragmatical Theory qf Truth) menegaskan bahwa pengetahuan itu sahih jikalau proposisinya
memiliki konsekuensi-konsekuensi kegunaan atau benar-benar bermanfaat bagi
yang memiliki pe-ahuan itu. Teori
kesahihan pragmatis adalah teori kesahihan yang telah dikenal secara tradisional.
Teori Kesahihan Semantik (Semantic Theory of Truth) adalah teori yang mekankan arti dan makna suatu proposisi. Bagi teori
kesahihan semantik, proposisi harus
menunjukkan arti dan makna sesungguhnya yang mengacu pada referen atau realitas
dan bisa juga arti definitif dengan menunjuk ciri yang ada.
Teori Kesahihan
Logikal yang berlebih-lebihan (Logical Superfluity Theory of Truth) hendak menunjukkan
bahwa proposisi logis yang memiliki term
berbeda tetapi berisi
informasi sama tak perlu dibuktikan lagi, atau ia telah menjadi suatu bentuk logik yang
berlebih-lebihan. Contoh: siklus adalah lingkaran atau lingkaran adalah bulatan dan sebagainya. Dengan demikian, Proposisi lingkaran itu bulat tak perlu dibuktikan lagi kebenarannya.
Kemudian terdapat
empat jenis kebenaran yang secara umum dikenal orang, yaitu kebenaran religius,
kebenaran filosofi, kebenaran estetis dan kebenaran ilmiah.
a.
Kebenaran Religius adalah kebenaran
yang memenuhi atau dibangun berdasarkan kaidah-kaidah agama atau keyakinan
tertentu atau disebut juga kebenaran mutlak yang tidak bisa dibantah lagi.
Bentuk pemahamannya adalah dogmatis. Hal yang dimaksud dengan agama adalah
ketentuan atau ajara-ajaran yang diturunkan melalui wahyu Tuhan YME, bukan
hasil pemikiran atau perenungan manusia, misalnya Islam, Kristen Protestan,
Katolik dan Yahudi. Sebagian pihak berpendapat, bahwa agama-agama lain, seperti
Bdha dan Hindu dinilai bukan agama, karena merupakan hasil kontemplasi,
perenungan, dan pemikiran manusia. Namun, ada pihak lain yang berpendapat bahwa
Budha dan Hindu agama karena materinya sama dengan agama lainnya yang penting
adalah keyakinan mutlak yang melatar belakanginya. Bahan pembicaraan kita dalam
buku ini, setiap keyakinan, baik yang datangnya melalui Tuhan YME maupun tidak
disebut agama karena berdasarkan keyakinan yang mutlak.
b.
Kebenaran Filosofis adalah kebenaran
hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau the nature, meskipun bersifat subjektip
dan relative, namun mendalam karena melalui penghayatan eksistensial bukan
hanya pengalam intelektual semata. Kebenaran filolofis ini berguna untuk
menyadarkan kita pada relatifnya pengetahuan yang kita miliki karena
pengetahuan it uterus berubah, dalam arti berkembang. Inti filsafat adalah
berfikir, sedangkan dasarnya adalah rasio.
c.
Kebenaran Estetis ialah kebenaran
yang berdasarkan indah dan buruk, serta cita rasa estetis. Artinya, keindahan
yang bedasarkan harmoni dalam pengertian luas yang menimbulkan rasa tenang,
senag, dan nyaman. Misalnya, Golden
Section menyebutkan bahwa bentuk dua dimensi yang seimbang adalah dengan
skala 2 X 3. Hukum estetika dalam seni rupa ini digunakan dalam ukuran bendera
sedunia, misalnya bendera dengan ukuran besar mempunyai lebar 2 meter dan
panjang 3 meter, sedangkan ukuran yang kecil lebar 2 cm dan panjang 3 cm.
d.
Kebenaran Ilmiah, yang ditandai
dengan terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, terutama menyangkut adanya teori yang
menunjang dan sesuai dengan bukti, kebenaran rasional yang ditunjang hasil uji
lapangan yang disebut bukti empiris. Kebenaran teoritis adalah kebenaran yang
berdasarkan rasio atau kebenaran rasional, berdasarkan teori-teori yang
menunjangnya. Pengertian bukti disini adalah bukti empiris, yaitu hasil
pengukuran objektif di lapangan. Sifat objektif berlaku umum, dapat diulang
melalui eksperimentasi, cendenrung amoral-sesuai apa adanya, bukan apa yang
seharusnya, dan merupakan ciri-ciri ilmu pengetahuan.
2.
Metafisika
Kata metafisika
itu saat ini memiliki
berbagai-bagai arti. Metafisika bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi
eksistensi atau realitas sebagai suatu
keseluruhan. Istilah ini bisa juga berarti sebagai usaha untuk menyelidiki alam yang berada di luar pengalaman atau
menyelidiki apakah hakikat yang berada
di batik realitas. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang
komprehensif mengenai seluruh
realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Metafisika biasanya dibagi sebagai berikut.
1. Metafisika Umum atau Ontologi
2. Metafisika Khusus, yang terdiri dari
·
Kosmologi
·
Teologi metafisik
·
Filsafat
antropologi
Metafisika Umum atau Ontologi
Metafisika umum, yang juga populer dengan nama ontologi, membahas segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan
sekaligus. Pembahasan itu dilakukan dengan
membedakan dan memisahkan eksistensi yang sesungguhnya dari penampakan atau penampilan eksistensi
itu. Pertanyaan-pertanyaan ontologis yang
utama dan paling sering diajukan adalah sebagai berikut: Apakah realitas atau ada yang begitu beraneka ragam dan berbeda-beda pada hakikatnya satu atau tidak? Apabila memang benar satu, apakah gerangan
yang satu itu? Apakah eksistensi yang
sesungguhnya dari segala sesuatu yang
ada itu merupakan realitas yang tampak atau tidak?
Idealisme
Teori ini mengajarkan bahwaada yang sesungguhnya berada di dunia ide. Segala sesuatu yang tampak dan mewujud nyata
dalam alam indrawi hanya merupakan
gambaran atau bayangan dari yang sesungguhnya, yang berada di dunia ide. Dengan kata lain, realitas yang sesungguhnya bukanlah yang kelihatan, melainkan yang tidak
kelihatan. Tokoh idealisme subjektif,
George Berkeley (1685-1753); menyatakan bahwa satusatunya realitas yang sesungguhnya ialah aku
subjektif yang spiritual. Bagi Berkeley tak
ada substansi material dan sebagainya, seperti kursi dan meja, karena semuanya
itu hanya merupakan koleksi ide yang ada dalam alam pikiran sejauh yang dapat diserap. Eksponen idealisme transendental,l
mmanuel Kant (1724-1804), berpendapat bahwa objek pengalaman kita, yaitu yang ada dalam ruang dan
waktu, tidak lain daripada penampilan dari
yang tak memiliki eksistensi dan independen di luar pemikiran kita. Idealisme objektif yang
dikembangkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada adalah satu bentuk dari satu pikiran.
Materialisme
Materialisme menolak hal-hal yang tidak
kelihatan. Bagi materialisme, ada yang sesungguhnya adalah yang keberadaannya semata-mata bersifat material atau sama sekali bergantung
pada material. Jadi, realitas yang sesungguhnya
adalah alam kebendaan, dan segala sesuatu ang mengatasi alam kebendaan itu
haruslah dikesampingkan. Oleh bab itu,
seluruh realitas hanya mungkin dijelaskan secara materialistis.
Leukippos dan Demokritos (460-370 SM) mengatakan
bahwa seluruh realitas bukan
cuma satu, melainkan terdiri dari begitu banyak unsur dan unsur-unsur itu tidak terbagi, maka disebut atom yang berarti tidak dapat dibagi). Atom-atom
itu adalah bagian materi yang sangat kecil yang tidak berkualitas dan
senantiasa bergerak karena adanya ruang kosong. Jiwa manusia pun terdiri dari
atom-atom.
Thomas Hobbes (1588-1679) berpendapat bahwa seluruh realitas adalah
materi yang tidak bergantung pada gagasan dan pikiran kita. Setiap kejadian adalah gerak yang terjadi oleh
keharusan, maka seluruh realitas yang tidak lain dari materi itu senantiasa
berada di dalam gerak.
Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) menekankan bahwa materi haruslah menjadi titik pangkal dari segala
sesuatu. Bagi Feuerbach, alam material adalah realitas yang sesungguhnya. Adapun karena manusia adalah
bagian dari alam material itu, manusia adalah satu realitas yang konkret. Menurut Feuerbach, agama dan Tuhan
hanyalah impian manusia yang begitu
egoistis demi meraih kebahagiaan bagi dirinya sendiri.
Dualisme
Dualisme mengajarkan bahwa substansi individual terdiri dari dua tipe fundamental yang berbeda dan tak dapat
direduksikan kepada yang lainnya. Kedua tipe fundamental dari
substansi itu ialah material dan mental.
Dengan demikian, dualisme
mengakui bahwa realitas terdiri dari materi atau yang ada secara
fisis dan mental atau
yang beradanya tidak kelihatan secara fisis.
Dualisme harus dibedakan dari monisme dan pluralisme. Monisme dan pluralisme adalah teori tentang jumlah substansi dan bukan mempersoalkan tipe fundamental dari substansi itu.
Memang ada filsafat pluralistis yang bersifat dualistis, misalnya Cartesianisme, tetapi ada pula
yang tidak.
Metafisika Khusus:
Kosmologi
Etimologis, istilah kosmologi berasal dari dua kata Yunani kosmos dan logos. Kosmos berarti dunia atau ketertiban yang merupakan lawan dari chaos (kacau
balau atau tidak tertib). Logos berarti kata, percakapan atau ilmu.
Jadi, kosmologi berarti
percakapan tentang dunia atau alam
dan ketertiban yang paling fundamental dari seluruh realitas.
Kosmologi memandang alam sebagai suatu totalitas dari fenomena dan
berupaya untuk memadukan spekulasi metafisika dengan evidensi ilmiah di dalam suatu kerangka yang koheren. Hal-hal yang
biasa disoroti dan dipersoalkan ialah
mengenai ruang dan waktu, perubahan, kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan, dan keabadian. Metode yang
digunakan bersifat rasional dan justru hal itulah yang membedakannya
dari berbagai-bagai kisah asal mula dan
struktur alam.
Metafisika Khusus: Teologi
Metafisik
Teologi metafisik sering juga dikenal dengan nama theodicea kendati sesungguhnya theodicea
hanyalah merupakan bagian
dari teologi metafisik. Theodicea sebenarnya hanya membahas dan membenarkan kepercayaan kepada Allah Yang Mahakuasa di tengah-tengah
realitas kejahatan yang meraalela
di dunia ini.
Teologi metafisik mempersoalkan eksistensi Allah yang dibahas secara terlepas dari kepercayaan agama. Eksistensi Allah
hendak dipahami secara rasional.
Konsekuensinya, Allah menjadi sistem filsafat yang perlu dianalisis dan dipecahkan lewat metode ilmiah. Apabila
Allah dilepaskan dari kepercayaan agama,
hasil analisis dan pembahasan yang diperoleh bisa berupa satu dari beberapa kemungkinan berikut ini:
·
Allah tidak ada.
·
Tidak dapat
dipastikan apakah Allah ada atau tidak.
·
Allah ada tanpa
dapat dibuktikan secara rasional.
·
Allah ada, dengan
bukti rasional.
Beberapa filsuf terkenal, seperti Anselmus, Descartes, Thomas Aquinas, dan Immanuel Kant, telah berupaya membuktikan
bahwa Allah itu benar-benar ada.
Bukti-bukti rasional yang mereka ketengahkan, antara lain adalah sebagai berikut.
1.
Argumen Ontologis: Semua manusia memiliki ide tentang Allah. Sementara itu, diketahui pula bahwa kenyataan atau realitas senantiasa lebih sempurna daripada ide. Dengan demikian, Tuhan pasti ada dan realitas adanya itu pasti lebih
sempurna daripada ide manusia tentang Tuhan.
2.
Argumen Kosmologis: Setiap akibat pasti punya sebab. Dunia (kosmos) adalah akibat. Karena itu, dunia pasti memiliki
sebab di luar dirinya ,sendiri. Penyebab adanya dunia itu adalah Tuhan.
3.
Argumen Teleologis: Segala sesuatu ada tujuannya. Sebagai contoh: mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan
kaki untuk berjalan. Karena segala sesuatu memiliki tujuan, itu berarti seluruh
realitas tidak terjadi dengan
sendirinya, melainkan dijadikan oleh yang mengatur tujuan itu. Pengatur tujuan itu adalah Tuhan.
4.
Argumen Moral: Manusia bermoral karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah,
dan seterusnya. Itu menunjukkan bahwa
ada dasar dan sumber moralitas. Dasar dan sumber moralitas itu adalah Allah.
Filsafat Stoa yang panteistis mengajarkan bahwa
segala sesuatu dijadikan oleh kekuatan ilahi, yaitu kekuatan
alam. Kekuatan ilahi itu menjiwai segala
sesuatu. Alam semesta dikuasai oleh logos,
yakni rasio Allah. Logos yang
adalah rasio Allah itu adalah juga tata tertib dunia, yang menciptakan segala sesuatu, mengatur, serta menuntun segala sesuatu menuju suatu
tujuan. Segala sesuatu telah
ditentukan oleh hukum logos, yaitu nasib yang tak dapat diubah. Sesungguhnya, determinisme stoisisme yang
amat terkenal adalah barangkali yang
paling jelas dan paling tegas dari seluruh ajaran metafisika yang panteistis.
Filsafat panteistis Benedictus (Baruch) Spinoza (1632-1677) mengatakan
bahwa segala sesuatu yang ada adalah Allah dan tidak ada sesuatu apapun yang tidak tercakup di dalam Allah. la juga
menegaskan bahwa sesungguhnya tidak ada
suatu apa pun yang dapat berada tanpa Allah.
Namun tidak semua aliran filsafat sepakat tentang kebenaran eksistensi
Allah di dunia ini, sebagaimana Skeptisisme, David Hume (1711-1776). Ludwing Feuerback (1804-1872), Friedrich Nietzche (1844-1900) dan
Sigmund Freud (1856-1939)
Metafisika Khusus:
Filsafat Antropologi
Filsafat antropologi adalah bagian metafisika khusus yang mempersoalkan apakah manusia itu?Apakah hakikat manusia? Bagaimanakah hubungannya dengan alam dan sesamanya? Dengan kata lain, filsafat antropologi berupaya menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagaimana adanya, baik menyangkut
esensi, eksistensi, status, maupun relasirelasinya.
Sebenarnya, sudah sejak zaman purba, manusia dipersoalkan secara filsafati. Pythagoras mengajarkan keabadian jiwa
manusia dan perpindahannya ke dalam jasad
hewan apabila manusia telah mati, dan jika hewan itu mati akan berpindah lagi ke jasad lainnya,
demikian seterusnya. Perpindahan jiwa yang demikian itu merupakan suatu proses penyucian jiwa. Jiwa itu akan kembali ke tempat asalnya di langit apabila
proses penyuciannya telah selesai. Untuk
membebaskan jiwa dari perpindahan itu, manusia harus berpantang terhadap jenis makanan tertentu, taat
terhadap peraturan-peraturan yang berlaku dalam lingkungan persekutuan Pythagorean, bermusik, dan berfilsafat.
Demokritos (460-370 SM) mengajarkan
bahwa manusia adalah materi. Jiwa pun adalah materi yang terdiri dari atom-atom khusus yang bundar,
halus dan licin, oleh sebab
itu tidak saling mengait satu sama lain. Demikian juga atom-atom yang berbentuk lain. Dengan
demikian, atom-atom jiwa gampang menempatkan diri di antara atom-atom lainnya dan menyebar ke seluruh tubuh manusia.
Plato (428-348 SM) mengajarkan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Tubuh adalah musuh jiwa. Karena tubuh penuh
dengan berbagai kejahatan dan jiwa
berada di dalam tubuh yang demikian itu, maka tubuh merupakan penjara jiwa. Jiwa manusia terdiri
dari tiga bagian, yaitu nous (akal), thumos (semangat), dan epithumia (nafsu). Karena pengaruh nafsu, jiwa manusia terpenjara dalam tubuh.
Aristoteles (384-322 SM) menyatakan bahwa manusia merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Tubuh dan jiwa hanya merupakan dua segi dari manusia yang satu. Tubuh adalah materi, dan
jiwa adalah bentuk. Manusia merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan, maka konsekuensinya ialah pada saat manusia
mati, baik tubuh maupun jiwa, kedua-duanya mati. Itu berarti jiwa manusia tidak abadi. Dengan kata lain, sama sekali
tidak ada kehidupan sesudah kematian.
Kematian adalah akhir dari segala-galanya.
Namun, Aristoteles juga mengakui bahwa
ada bagian dari jiwa itu yang tidak dapat
mati.
Selanjutnya, dualisme Descartes (1596-1650) menegaskan bahwa tubuh dan jiwa adalah dua hal yang sangat berbeda dan
harus dipisahkan. Tubuh adalah suatu mesin
yang terdiri dari bagian-bagiannya yang begitu kompleks. Adapun jiwa adalah sesuatu yang tidak terbagi,
tidak terbatasi oleh ruang dan waktu,
ditandai oleh kegiatan rohani, seperti berpikir, berkehendak, dan sebagainya. Kendati berbeda dan terpisah, tubuh
dan jiwa itu memiliki pertautan yang erat satu sama lainnya,
bagaikan kapal dan juru mudinya.
George Berkeley (1685-1753) berpendapat bahwa jiwa manusia adalah pusat segala realitas yang tampak. Penolakannya
terhadap materi menunjukkan bahwa Berkeley adalah seorang
spiritualis. Akan tetapi, idealisme subjektif spiritualis Berkeley
tidak berpangkal pada yang abstrak, melainkan pada yang konkret, yang diperoleh lewat pengamatan
indrawi. Sesuatu itu dikatakan ada karena dapat dilihat dan dirasakan. Jadi, kebenaran sesuatu itu
tergantung pada yang melihat dan yang
merasa. Yang melihat dan yang merasa itu adalah yang hadir dalam tubuh manusia, yaitu roh. Tubuh tidak lebih
dari tanda kehadiran roh.
Sebaliknya, Feuerbach mengajarkan bahwa di balik alam tidak ada Allah. Demikian pula di balik tubuh tidak ada
jiwa. Jelas terlihat bahwa Feuerbach adalah seorang materialis karena ia menyangkal segi rohani
manusia.
Feuerbach sendiri tidak mau menyebut ajarannya sebagai materialisme, melainkan organisme. Ia menyatakan bahwa manusia bukan mesin seperti yang diajarkan oleh penganut materialisme.
Feuerbach menunjukkan bahwa ia menolak
materialisme dengan mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang organis. Selaku makhluk hidup yang organis manusia senantiasa berhubungan
secara konkret dengan sesamanya. Ungkapan itu sekaligus menunjukkan status manusia. Feuerbach menandaskan
bahwa tubuh menunjukkan manusia
sebagai makhluk yang tidak tertutup dalam dirinya sendiri dan yang dengan akal budinya menyadari bahwa ia
senantiasa berada dalam relasi aku-engkau.
2.
Aksiologi
Aksiologi adalah bagian filsafat yang
mempersoalkan penilaian, terutama berhubungan dengan masalah atau teori umum
formal mengenai nilai. Tampaknya, gagasan mengenai Aksiologi yang diperoleh
oleh Lotze, kemudian Brentano, Husserel, Scheller, dan Nicolai Hatmann. Scheller
mengontraskannya dengan praeskologi, yaitu pengertian umum mengenai hakikat
tindakan. Secara khusus, bersangkutan dengan deontologi, yaitu teori moralitas
mengenai tindakan yang benar.
Dalam penilaiannya, terdapat dua bidang yang
paling populer saat ini, yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku dan
keadaan atau tampilan fisik. Dengan demikian, kita mengenal aksiologi dalam dua
jenis, yaitu etika dan estetika.
1. Etika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas
perbuatan dari sudut baik dan jahat. Perlu diamati disini, bahwa perbuatan
manusia senantiasa mendapat penilaian baik dan jahat. Tentulah bagi sesorang
dalam menilai arti baik, tetapi mengapa yang sebaliknya disebut jahat, bukan
buruk atau tidak baik saja. Adapun alasannya adalah bahwa yang dimaksud dengan
jahat disini adalah perbuatan-perbuatan yang akan merendahkan atau merusak
kualitas kehidupan seseorang.
Etika dalam bahasa Yunani, ethos yang artinya kebiasaan, habbit,
atau custom. Maksudnya, hampir tidak
ada orang yang tidak memiliki kebiasaan baik atau buruk. Oleh karena itu,
istilah etis dan tidak etis dinilai kurang tepat. Adapun istilah yang tepat
adalah etika baik dan etika jahat.
2. Estetika
merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut
indah dan jelek. Secara umum, estetika disebut sebagai kajian filsafati mengenai
apa yang mermbuat rasa senang. Secara visual dan imajinasi, estetika disebut
juga kajian mengenai keindahan, atau teori tentang cita rasa, dan kritik dalam
kesenian kreatif serta pementasa. Tokoh paling terkenal dalam bidang ini adalah
Alexander Baumgarten (1714-1762)
dalam disertasinya pada 1735 yang justru dianggap awal diwacanakannya estetika.
Aksiologi
selain pembagiannya berdasarkan etika dan estetika, para ahli membaginya dalam
liputan tentang hakikat penilaian atas kebenaran, kebaikan, kehidupan, dan
kesucian. Dalam hal ini, setiap ahli mempunyai hak untuk mengajukan pendapatnya
sendiri-sendiri, dan pembaca tidak mesti mangikuti satu diantara beberapa
pendapat itu karena yang terpenting adalah pengakuan atas alasannya.
B.
HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU PENGETAHUAN
Realita Hubungan
Filsafat Dengan Ilmu Pengetahuan
Kita berusaha melihat realita
hubungannya, berdasarkan suatu asumsi, bahwa keduanya merupakan kegiatan
manusia. Kegiatan manusia dapat diartikan dalam prosesnya dan juga dalam
hasilnya. Dilihat dari hasilnya, filsafat dan ilmu merupakan hasil daripada
berfikir manusia secara sadar, sedangkan dilihat dari segi prosesnya, filsafat
dan ilmu menunjukkan suatu kegiatan yang berusaha untuk memecahkan
masalah-masalah dalam kehidupan manusia (untuk memperoleh kebenaran dan
pengetahuan), dengan menggunakan metode-metode atau prosedur-prosedur tertentu
secara sistematis dan kritis.
Filsafat dan ilmu memiliki hubungan
saling melengkapi satu sama lainnya. Perbedaan antara kedua kegiatan manusia
itu, bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling mengisi, saling
melengkapi, karena pada hakekatnya, perbedaan itu terjadi disebabkan cara
pendekatan yang berbeda. Maka dalam hal ini perlu membandingkan antara filsafat
dan ilmu, yang menyangkut perbedaan-perbedaan maupun titik temu antara
keduanya.
1. Hubungan Filsafat dan Ilmu.
Ilmu (Science)
(1). Anak
filsafat
(2). Analitis;memeriksa
semua gejala melalui unsur terkecilnya untuk memperoleh gambaran senyatanya
menurut bagiannya.
(3). Menekankan
fakta-fakta untuk melukiskan obyeknya; netral dan mengabstrakkan faktor
keinginan dan penilaian manusia.
(4). Memulai
sesuatu dengan memakai asumsi-asumsi.
(5). Menggunakan
metode eksperimen yang terkontrol sebagai cara kerja dan sifat terpenting;
menguji sesuatu dengan menggunakan penginderaan.
|
Filsafat
- Induk
Ilmu
- Sinoptis;
memandang dunia dan alam semesta sebagai keseluruhan, untuk dapat
menerangkannya, dan memahaminya secara keseluruhan.
- Bukan
saja menekankan keadaan sebenarnya dari obyek, melainkan bagaimana juga
seharusnya obyek itu. Manusia dan nilai merupakan faktor penting.
- Memeriksa
dan meragukan segala asumsi-asumsi.
- Menggunakan
semua penemuan ilmu pengetahuan; menguji sesuatu berdasarkan pengalaman
dengan memakai fikiran.
|
Semua ilmu sudah dibicarakan dalam
filsafat. Bahkan beberapa ilmu pengetahuan lahir dari filsafat, berarti ilmu
yang memisahkan diri dari filsafat. Misalnya matematika, astronomi, fisika,
kimia, biologi, psikologi dan sosiologi.
Ilmu bersifat analitis, ilmu pengetahuan
hanya menggarap salah satu lapangan pengetahuan sebagai obyek formalnya.
Sedangkan filsafat belajar dari ilmu pengetahuan dengan menekankan keseluruhan
dari sesuatu (sinoptis), karena keseluruhan mempunyai sifat sendiri yang tidak
ada pada bagian-bagiannya.
Ilmu bersifat deskriptif tentang
obyeknya agar dapat menemukan fakta-fakta, tekhnik-tekhnik dan alat-alat.
Filsafat tidak hanya melukiskan sesuatu, melainkan membantu manusia untuk
mengambil putusan-putusan tentang tujuan, nilai-nilai dan tentang apa-apa yang
harus diperbuat manusia. Filsafat tidak netral, karena faktor-faktor subyektif
memegang peranan yang penting dalam berfilsafat.
Ilmu mulai dengan asumsi-asumsi.
Filsafat juga mempunyai asumsi-asumsi dan menyelidikinya atau merenungkannya
karena ia meragukan terhadap asumsi tersebut.
Ilmu pengetahuan menggunakan
eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas. Verifikasi terhadap teori
dilakukan dengan jalan mengujinya dan praktek berdasarkan penginderaan.
Sedangkan filsafat menggunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Verifikasi
dilakukan filsafat dengan melalui akal fikiran yang didasarkan kepada semua
pengalaman insane, sehingga dengan demikian filsafat dapat menelaah
masalah-masalah yang mungkin tidak dapat dicarikan penyelesaian oleh ilmu.
Selanjuatnya Prof. Sikun Pribadi
mengemukakan perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
“ Jelaslah, bahwa
perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan, ialah bahwa ilmu pengetahuan
bertolak dari dunia fakta (jadi bersifat ontis), sedangkan filsafat bertolak
dari dunia nilai, artinya selalu menghubungkan masalah dengan makna keseluruhan
hidup (jadi bersifat deontis), walaupun kedua bidang aktivitas itu sifatnya
kognitif”.
Jadi ilmu berhubungan dengan
mempersoalkan fakta-fakta yang aktual, yang diperoleh dengan eksperimen,
observasi, dan verifikasi, hanya berhubungan sebagian dari asfek kehidupan atau
kejadian yang ada di dunia ini, sedangkan keseluruhan yang bermakna
mengemukakan perbedaan antara filsafat dan ilmu sebagai berikut :
1. Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, filsafat mencoba
berhubungan dengan keseluruhan pengalaman, untuk memperoleh suatu pandangan
yang lebih komprehensif tentang sesuatu.
2. Ilmu menggunakan pendekatan analitis dan deskriptif, sedangkan
filsafat sintetis atau sinoptis, berhubungan dengan sifat-sifat dan kualitas
alam dan hidup secara keseluruhan.
3. Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian, dan organism
menjadi organ-organ, filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk sintetis
yang menjelaskan dan mencari makna sesuatu secara keseluruhan.
4. Ilmu menghilangkan fakto-faktor pribadi yang subyektif, sedangkan
filsafat tertarik kepada personalitas, nilai-nilai dan semua pengalaman.
5. Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan
filsafat tidak hanya tertarik kepada bagian-bagian yang nyata, melainkan juga
kepada kemungkinan-kemungkinan yang ideal dari suatu benda, serta nilai dan
maknanya.
6. Ilmu meneliti alam, mengontrol proses alam sedangkan tugas filsafat
mengkritik, menilai dan mengkoordinasikan tujuan.
7. Ilmu lebih menekankan pada deskripsi hukum-hukum fenomenal dan
hubungan kausal. Filsafat tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan
pertanyaan “why” dan “how”.
- Titik Temu Fisafat dan Ilmu
Di samping beberapa pendapat di atas,
ada beberapa titik pertemuan antara filsafat dan ilmu, yaitu:
1. Banyak ahli filsafat yang termasyhur, telah memberikan sumbangannya
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, misalnya Lebiniz menemukan “Diferensial
Kalkulus”, Whitehead dan Bertrand Russel dengan teori matematikanya yang
terkenal.
2. Filsafat dan ilmu pengetahuan keduanya menggunakan metode-metode
reflective thingking dalam menghadapi fakta-fakta dunia dan hidup ini.
3. Filsafat dan ilmu pengetahuan keduanya menunjukkan sikap kritis dan
terbuka, dan tidak memberikan perhatian yang tidak berat sebelah terhadap
kebenaran.
4. Keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisir dan tersusun
secara sistematis.
5. Ilmu memberi filsafat sejumlah bahan-bahan deskriptif dan faktual
serta esensial bagi pemikiran filsafat.
6. Ilmu mengoreksi filsafat dengan jalan menghilangkan sejumlah ide-ide
yang bertentangan dengan pengetahuan yang ilmiah.
7. Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong-potong, yang menjadikan
ilmu yang berbeda-beda, dan menyusun bahan-bahan tersebut kedalam suatu
pandangan tentang hidup dan dunia yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Perbandingan
Filsafat Dengan Pengetahuan Ilmiah
Di sini kita mempunyai titik pangkal untuk
menentukan perbedaan antara pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) dengan
filsafat itu.
Persamaannya ialah sebagai berikut:
a. Kedua-duanya mencari rumusan-rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyeknya
selengkap-lengkap sampai habis-habisan.
b. Kedua-duanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau pertalian
yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan
sebab-sebabnya.
c. Kedua-duanya hendak memberikan sintesis yaitu suatu pandangan yang
bergandengan.
d. Kedua-duanya mempunyai metode dan sistem.
e. Kedua-duanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan.
Seluruhnya timbul dari hasrat manusia akan kebenaran (obyektifitas), akan
pengetahuan yang lebih mendalam yang mengasas.
Perbedaannya ialah sebagai berikut:
a. Obyek material (lapangan) filsafat itu
bersifat universal (umum) yaitu segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan
obyek material (lapangan) ilmu pengetahuan (pengetahuan ilmiah) itu bersifat
khusus dalam arti khusus masing-masing bidang pengolahannya saja.
Karena sifat khusus dari ilmu
pengetahuan itu, maka ilmu pengetahuan itu adalah suatu spesifikasi. Dari
spesifikasi itu orang masih terus-menerus mengadakan diferensiasi sampai kepada
spesialisasi. Oleh karena itu ilmu pengetahuan biasanya disebut juga ilmu spesial,
ilmu pengetahuan mengejar obyektifitas (kebenaran) dan menyatakan bahwa sesuatu
itu benar atau tidak benar, tetapi ilmu pengetahuan tidak dapat memberi jawaban
apakah kebenaran itu sendiri. Di lain pihak, filsafat itu bersifat universal,
maka pendekatan (approach) filsafat bermuara kepada reflection/contemplation
(perenungan-pertimbangan).
b. Obyek formal
(sudut pandang) filsafat itu bersifat non-fragmentaris,
karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas,
mendalam dan mengasas. Sedangkan ilmu pengetahuan bersifat fragmentaris dan abstrak dengan peninjauan secara ekstensif dan
intensif.
Dengan ekstensif berarti ilmu
pengetahuan itu dalam meninjau obyek materialnya hanyalah sebagian daripada
realita. Dengan intensif berarti selalu meninjau obyek materialnya dari sudut
pandang tertentu yang menuju kepada spesialisasi atau pengkhususan
masing-masing bidang keilmuan itu.
Disamping itu obyek formal (sudut
pandangan) ilmu pengetahuan itu bersifat teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide
manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita. Misalnya manusia itu
berpotensial haus, ia minum.
Karena masalahnya mengkhusus dan
menteknis, maka aspirasi ilmu pengetahuan itu ialah ketepatan. Ilmu pengetahuan
dijalankan manusia dengan menteknis. Tujuan untuk menyempurnakan kodratnya,
supaya lebih sempurna mengabdi kepada masyarakat.
Oleh karena itu manusia dalam hidup dan
kehidupannya, pada hakikatnya menyempurnakan barang-barang material, maka
timbullah beberapa problema sebagai berikut:
1. Apakah materi atau barang material itu?
2. Bagimanakah hubungan materi dengan kodrat
manusia?
3. Apakah sebabnya tercipta hubungan itu?
4. Apakah artinya dan manakah batas penyempurnaan
barang-barang material itu?
5. Bila penyempurnaan barang-barang material itu
(dengan teknik) ditujukan kepada kebahagiaan hidup manusia, sebagai individual
maupun seluruh manusia, karena tingkat penyempurnaan itu belum tentu membawa
kebahagiaan hidup manusia, maka apakah dan bagaimanakah fungsi teknis yang sebenarnya
untuk manusia itu?
c. Filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana
pengetahuan yang mementingkan kontrol atau pengawasan.
Misalnya untuk mengetahui sesuatu dalam
ilmu pengetahuan haruslah diadakan riset.
Oleh karena itu nilai ilmu pengetahuan, timbul
dari kegunaannya, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainya.
d. Filsafat membuat pertanyaan lebih jauh dan
lebih mendalam berdasarkan kepada explisitis dari apa yang terkandung dari
pengalaman realita sehari-hari.
Filsafat tidak pernah memikirkan persoalan
tentang dari tahu kepada yang tidak tahu, karena untuk tahu tetap juga tidak
tahu dan tidak tahu adalah juga sudah tahu tentang sesuatu itu.
Negatifitas
daripada tidak tahu adalah sebagian daripada dasar atas sisa tahu secara
positif dan visa versa. Apa yang
mula-mula, sekarang diketahui sesudah perenungan filosofis tampak menjadi
kurang diketahui dan lebih misteri (penuh rahasia).
Bagi ilmu
pengetahuan bersifat diskursif,
artinya menguraikan secara logis. Prosesnya mulai dari tahu kepada tidak tahu
dan hanya ilmu pengetahuanlah yang menemukan pengertian logis.
e. Seorang tokoh Eksistensialisme Gabriel
Marcell mengemukakan istilah “Problema
dan Misteri”.
Pada
prinsipnya filsafat itu membawa kepada suatu misteri (penuh rahasia) yang tidak dapat dipecahkan sekaligus. Meskipun
demikian potensial daripada sesuatu usaha untuk memperoleh sesuatu keterangan,
maka pemikiran filsafat itu tetap pengertian secara mendalam, karena misteri
realita itu sendiri mengajak manusia untuk menembus secara bijaksana dan lebih
mendalam serta untuk menjelaskan misteri itu sendiri.
Kadang-kadang
situasi ini dinyatakan oleh bayangan dari suatu cahaya yang bersinar dalam
kegelapan dan sebagai suatu cahaya, maka filsafat itu memancarkan sinar
cahayanya melalui kegelapan misteri.
Di lain pihak suatu problema menggambarkan dirinya sendiri dalam prinsip sebagai
suatu yang dapat dipecahkan, apabila seseorang dapat mengatur data-data yang
cukup dan mengetahui metode yang benar. Pemecahan suatu problema itu dapat
membawa kepada persoalan-persoalan baru, minimal sebagian daripada problema itu
dapat dipecahkan.
Hal demikian adalah persoalan daripada
ilmu pengetahuan.
f.
Filsafat hendaknya memberikan penjelasan yang terakhir, yang mutlak yang
mendalam, yang mengasas (first causes). Sedangkan ilmu pengetahuan
menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu
dalam, yang lebih dekat, yang sekunder (secondary causes).
Memang
benarlah bahwa ilmu pengetahuan itu hendak memberikan penjelasan tentang
kenyataan atau realita yang kita alami ini, mengenai manusia dan dunia dan
dengan ini, memberikan pengetahuan yang pasti, obyektif dan sistematis.
Akan tetapi ini belum cukup, belum
selesai dengan tuntas.
Oleh
karena itu kita harus melangkah lagi kepada bahasan tentang tiga buah alasan
prinsipil antara filsafat dan ilmu pengetahuan itu seperti pada penguraian
berikut ini.
Tingkat/Ruangan
Ilmu Pengetahuan
Seperti telah dikatakan, penyelidikan
filsafat dilakukan dengan sesuatu metode yang bersifat ilmiah artinya dengan
pengamatan-pengamatan kenyataan-kenyataan, yang hasilnya digolong-golongkan,
dianalisis, dijadikan satu sistem.
Disamping itu sekiranya pada
tempatnyalah untuk mengemukakan bahwa dalam kegiatan kejiwaan manusia dapat
dibedakan antara empat cara atau tipe mengerti maka dapatlah dibedakan empat tingkatan/ruangan pengetahuan (level
of thought) sebagai berikut :
1. Tingkatan ilmu pengetahuan (level of science).
2. Tingkatan ilmu pasti (level of mathematic).
3. Tingkatan fisafat (level of philosophy).
4. Tingkatan agama (level of religion).
Masing-masing tingkatan atau ruangan pengetahuan ini mempunyai corak,
derajat kapasitas, cara berfikir, ukuran-ukuran dan sifat-sifat tersendiri.
Tidaklah dalam arti seakan-akan sifat-sifat ini sama sekali bertentangan satu
sama lain karena yang berfikir pada berbagai tingkatan pengetahuan ini selalu
akal manusia yang sama, tetapi dalam arti bahwa
pada tingkatan atau level tertentu ada beberapa corak tertentu yang
lebih tampil ke muka, sehingga boleh dikatakan berbeda-beda satu sama lain.
Aristoteles yang
mengemukakan pembedaan tingkatan pengetahuan ini dan dalam perjalanan sejarah
keempat tingkatan pengetahuan ini selalu tampak kembali.
Jadi dapatlah
disimpulkan bahwa filsafat dapat dikatakan mengenai
lain-lain ilmu pengetahuan akan tetapi filsafat janganlah dianggap
“kumpulan dari semua ilmu-ilmu pengetahuan” belaka. Filsafat adalah ilmu
pengetahuan tersendiri, merupakan tingkatan “pengetahuan” yang tersendiri atau
tingkatan pengetahuan otonom.
Perbedaan
Prinsipil Filsafat Dengan Ilmu Pengetahuan
Dalam mengupas masalah perbedaan prinsipil anatara
filsafat dengan ilmu pengetahuan di sini dikemukakan tiga buah alasan perbedaan
yaitu :
a. Penjelasan yang terakhir
Seorang ahli ilmu hayat misalnya
mempelajari gejala-gejala “hidup” obyeknya ialah mahluk-nahluk yang hidup. Maka
ia akan menyelidiki semua pertanyaan-pertanyaan hidup dari tumbuh-tumbuhan,
binatang dan dari manusia pula untuk diterangkannya kemudian. Maka ia mencari
pengetahuan tentang peredaran darah, pencernaan, organ-organ dan sebagainya
serta mencoba menunjukkan semua factor-faktor yang mempengaruhi hidup itu. Akan
tetapi bahwa mahluk-mahluk yang dipelajarinya itu “hidup”, itu diterimanya
tanpa pembuktian lebih lanjut. Karena hal ini tidak menjadi lapangan
penyelidikannya atau obyek materialnya.
Seorang filsuf sebaliknya yakin bahwa
misalnya pencernaan atau peredaran darah itu tidak habis diterangkan dengan menujukkan kelenjar-kelenjar,
alat-alat, getah-getah dan sebagainya, melainkan terletak dalam adanya mahluk itu hidup. Dan apabila ia mencoba
memperoleh pengertian tentang hidup itu dan sampai pada kesimpulan bahwa hidup
itu bersifat “dapat menggerakkan dirinya sendiri”/swagerak(bahasa latin:motus
sui).
Maka ia bertanya terus apakah masalah
bergerak dan mengapakah barang hidup itu bergerak dan barang mati itu tidak
bergerak?
Begitu juga mengenai manusia, seorang
filsuf tidak hanya bertanya misalnya :
- Bagaimanakah manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
sehari-hari?
- Bagaimanakah sifat-sifatnya kebudayaan itu hasil ciptaanya?
- Tetapi, apakah manusia itu ?
- Apakah sifatnya yang paling pokok?
- Apakah ia mempunyai fikiran yang membedakannya dari semua
mahluk-mahluk lainnya di alam dunia?
- Apakah ia mempunyai jiwa yang mendorongnya untuk mencari
kebutuhannya sendiri dan mengapa ia terdorong untuk berbuat demikian? Jadi
tak puas dengan secondary causes dengan
proximate explanation, melainkan
menerobos sampai intisari, sampai dasar-dasar yang paling dasar, yang
memberikan penjelasan yang terakhir, ultimate
explanation dan first causes.
- Keinginan Akan Sytesis (akan pandangan yang meliputi keseluruhannya)
Ilmu pengetahuan itu seperti apa yang
telah dikatakan ada bermacam-macam, ada banyak, karena kenyataan memang
beraneka ragam pula. Didorong oleh keinginan untuk mengerti dengan lengkap dan
mendalam, maka orang membagi-bagi ilmu pengetahuan menjadi berbagai-bagai ilmu
pengetahuan yang masing-masing mempelajari satu lapangan yang khusus. Dan dalam
pengkhususan itu orang masih terus mengadakan spesialisasi lebih lanjut. Akan
tetapi sementara itu orang merasakan keinginan untuk mengerti totalitasnya (keseluruhannya)
demikian pula dalam spesialisasi dalam lapangan ilmu pengetahuan khusus orang
itu merasakan bahwa bagian-bagian hanya dapat dimengerti jika dipandang dalam
keseluruhannya.
Demikian halnya di dalam ilmu
pengetahuan yang telah khusus. Demikian pula mengenai seluruh lapangan ilmu pengetahuan
maka disamping keinginan akan pengetahuan yang mengenai seluruhnya di dalam
satu cabang pengetahuan terasa juga dorongan untuk mempunyai pandangan yang
melampaui batas-batas pengkhususan itu (ini sudut negatifnya) dan yang mengenai
seluruh kenyataan/realitas (ini sudut positifnya). Dengan perkataan lain lagi: ilmu
pengetahuan yang dapat dikatakan pernyataan dari hasrat untuk mengerti, untuk
mencapai kebenaran. Jadi telah menunjukkan keunggulan manusia adalah jiwanya
yang dengan sadar mengalahkan dunia kebendaan untuk mengabdi kepadanya. Akan
tetapi hasrat atau dorongan untuk mengerti itu lebih lanjut lagi. Ilmu
pengtahuan itu bagi jiwa manusia masih terlalu terbatas adanya, terlalu
terbagi-bagi pula. Yang dikehendaki oleh akal budi manusia adalah kesatuan di dalam
kebanyak ragaman itu, pandangan yang meliputi seluruh lapangan ilmu pengetahuan.
Sedang dasarnya yang lebih dalam lagi ialah: bagi seluruh dunia, manusia yang menjadi pusat dan puncaknya.
Sambil hidup di dalam dunia ini haruslah mencari tujuan hidupnya, memberikan
arti dan isi kepadanya. Dan haruslah sesuai dengan harta dan martabat manusia
(barsifat manusiawi) artinya dengan sadar bebas merdeka ia harus menentukan
jalannya. Ia harus menentukan sikap dan kedudukannya terhadap sesama manusia,
terhadap dirinya sendiri dan terhadap Tuhan pula. Dengan lain perkataan: ia
harus mengerti tentang segala sesuatu itu, dan menempatkan dirinya di dalam
keseluruhan itu. Maka di atas hasil-hasil penyelidikan ilmu pengetahuan ia
memerlukan suatu pengetahun lagi yang lebih luas, yang mengenai keseluruhan
yang ada, yang meliputi semua lapangan kehidupannya, dan dengan mana ia dapat
menempatkan dirinya sendiri di dalam keseluruhan itu. Pengetahuan inilah yang
kita sebut filsafat”.
h. Pernyataan yang timbul dari Ilmu pengetahuan itu sendiri
Lain dari pada itu ilmu pengetahuan itu
tidak dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang timbul bagi seorang
manusia, malahan ilmu pengetahuan itu sendiri menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
yang tak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Seperti telah
diketahui tadi, ilmu hayatmisalnya tanpa pembuktian menerima adanya
mahluk-mahluk yang hidup. Apbila seorang ahli alam menyelidiki benda-benda
mati, maka ia harus menerima adanya benda-benda hidup, hal itu tidak manjadi
persoalan bagi mereka.
Dan ini berpangkalan pada pengertian dan
kejadian-kejadian yang oleh ilmu pengetahuan itu dianggap sudah pasti, tak
memerlukan pembuktian ataupun penyelidikan lagi. Ahli kimia msalnya berpangkalan
bahwa ada benda-benda material. Ilmu jiwa berdasrakan sangkaan bahwa manusia
memang mempunyai jiwa.
Ahli sejarah berpangkaln pada pengakuan
bahwa memang ada terjadi peristiwa-peristiwa sejarah ada momentum-momentum yang
bersejarah bahwa ada waktu, lagipula ia sebagai ahli memang dapat atau sanggup
mengetahui peristiwa-peristiwa atau momentum-momentum. Ini semuanya tidaklah
dipersoalkan atau perlu dibuktikan terlebih dahulu. Ini diterima sebagai
kenyataan. Akan tetapi sementara itu teranglah bahwa ini tidak seterang seperti
anggapan mereka. Seorang ahli kimia tiak bertanya: ”apakah benda itu” dan mengapa justru benda itu ada?
Ahli sejarah tidak bertanya mengenai:
a. Siapakah sebetulnya pada hakikatnya manusia itu?
b. Mengapa ia hidup di dalam waktu?
c. Mengapa ia selalu hidup bermasyarakat?
d. Mengapa manusia tentu menciptakan suatu kebudayaan? Dan seterusnya.
Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini
akan timbul! Seorang dokter menunjukan hubungan sebab-akibat antara dua gejala
yang diperiksanya, misalnya antara makan dan matinya seorang pasien itu.
Akan tetapi ia tidak bertanya mengenai:
a. Apakah arti sebab itu?
b. Apakah memang ada “sebab” itu?
Tetapi manusia toh bertanya demikian!
Dan pada umumnya pengetahuan tentu beranggapan bahwa manusia itu mencari
kebenaran dan mencapai pengetahuan. Akan tetapi ilmu pasti, ilmu kimia, ilmu
hayat, sosiologi, ilmu jiwa, ilmu sejarah atau ilmu pengetahuan yang khusus
manapun juga tidak memberikan jawaban atau penjelasan tentang apakah kebenaran
itu, apakah kebenaran itu memang dapat dicapai oleh akal budi manusia.
Padahal ini merupakan pertanyaan yang
sangat penting, yang lebih penting dan menentukan dari pada semua hasil ilmu
pengetahuan yang khusus itu karna pertanyaan ini mengenai manusia sendiri dan
dari jawaban atas pertanyaan ini tergantunglah seluruh nasip ilmu pengetahuan
itu. Teranglah sekarang bahwa ilmu-ilmu pengetahuan menelorkan banyak soal-soal
yangjawabannya terletak di luar ilmu pengetahuan itu sendiri. Maka jelas bahwa
kita sebagai manusia disamping ilmu-ilmu pengetahuan itu khusus masih
memerlukan suatu ilmu pengetahuan lain lagi, suatu ilmu pengetahuan yang khusus
mempelajari soal-soal seperti tersebut di atas. Dan ilmu-ilmu pengetahuan itu
tak lain ialah “filsafat”, filsaptlah
yang bertugas dalam hal:
- memberikan
kenyataan yang “ terakhir”;
- memberikan
syntesis yang diinginkan;
- menjawab
pertanyaan–pertanyaan yang timbul dari ilmu-ilmu pengetahuan;
- mempelajari
apa yang terdalam di dalam barang-barang, di dalam dunia, di dalam manusia
itu sendiri.
Suatu ilmu pengetahuan yang
mempersoalkan justru “adanya” kesemuanya dan menunjukan sebab-sebab dan
dasarnya.
Semuanya ilmu-ilmu pengetahuan tentu berdasarkan
anggapan bahwa barang-barang yang dipandangnya sebagai obyek itu tentu ada,
akan tetapi ilmu-ilmu pengetahuan itu tidak mengatakan sepatah katapun tentang:
- apakah yang
disebut “ada” itu?
- Apakah hidup
itu?
- Apakah sebab
itu?
- Apakah
pikiran itu?
- Apakah yang
baik itu?
- Apakah ngerti
itu?
- Apakah yang
buruk itu?
- Apakah
kebenaran itu?
- Apakah
kemerdekaan itu?
- Apakah jiwa itu
dan dan mengapa kita atau ajal mati?.......dan sebagainya.
Ahli filsafat sebaliknya justru hendak memiliki
tentang:
- Apakah “ada”
itu?
- Dari manakah
asalnya “ada” itu?
- Apakah tujuan
“ada” itu?
- Apakah
sebab-sebabnya “ada” itu?
- Apakah
syarat-syaratnya “ada” itu?...........dan sebagainya.
Apakah ternyata bahwa “ada” itu ada
tingkatannya, maka dipersoalkanlah apa arti ”ada” itu dalam setiap tingkatan
itu, dalam barang-barang mati, dalam tumbuh-tumbuhan, dalam binatang-binatang
dan dalam mmanusia. Dan apabila ternyata bahwa manusia itu sendiri belumlah
merupakan penjelasan yang terakhir dari semuanya itu, maka diteruskanlah penyelidikannya
hingga sampailah ia pada Tuhan, sebab pertama (causa prima) dan tujuannya
terakhir dari dunia dan manusia. Maka jika misalnya ilmu mendidik dibangun atas
keyakinan bahwa manusia memang dapat dididik, filsafatlah yang membicarakan
apakah manusia itu sesungguhnya, apakah dan mengapakah ia perlu atau mungkin
dididik. Lagi apabila orang dalam ilmu mendidik berbicara tentang misalnya
nilai-nilai kepribadian, nilai sosial. Tujuan, naluri, kehendak bebas, hidup,
kesusilaan, maka kesemuanya itu diambil dari pengalaman sehari-hari, tetapi
tidak dapat dipertanggungjawabkan sampai habis-habisan oleh ilmu mendidik,
melainkan oleh filsafat. Kalau orang tokoh berbicara tentang hal-hal tersebut
dan memberikan definisi-definisi, maka itu sebetulnya “dipinjem” dari filsafat.
Dengan filsafat merupakan mata rantai yang menghubungkan semua ilmu-ilmu
pengetahuan yang telah khusus itu oleh karena filsafat itu justru mempelajari
pengertian-pengertian yang paling umum dan dasar-dasar yang paling dasar yang
terdapat kembali dalam setiap ilmu pengetahuan, berlaku untuk setiap ilmu
pengetahuan, merupakan pokok pangkalan dan dasar bagi ilmu pengetahuan lainya.
Inilah sebabnya maka filsafat disebut ilmu
pengetahuan ”umum” atau universal.
Ini tidak dalam arti bahwa seakan-akan filsafat itu “mengerti semua tentang semua”yang berlaku buat ilmu sepengetahuan
lainnya. Misalnya:
a. Tentang “ada” itu yang
terdapat kembali dalam setiap barang yang ada,
b. Tentang pengetahuan manusia,
c. Tentang alat yang dipergunakan oleh setiap ilmu pengetahuan dan
sebagainya.
Universal juga dalam arti, meliputi
keseluruhan yang ada. Lapangan yang dikerjakan oleh filsafat itu sangat luas
sekali, semua yang ada yang harus ada atau
dapat ada itu termasuk obyeknya.
Jadi lain dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya
yang terbatas pada salah satu lapangan pengalaman yang tertentu saja maka
filsafat mengenai semua lapangan-lapangan pengalaman sekedar manusia dapat
memperoleh pengetahuan tentangnya. Sifat
universal filsafat itu ternyata dari sejarah pula.
- Tentang hal
mengerti, syarat-syaratnya dan metode-metodenya.
- Tentang ada (being)
dan tidak ada.
- Tentang alam,
dunia dan seisinya.
- Mencoba
menentukan apa yang baik dan apa yang buruk
- Apakah
hakikat manusia dan hubungannya dengan semua mahluk-mahluk lainnya.
- Malahan Tuhan
pun tak dikecualikannya.
Akhirnya sifat universal ternyata juga
dari adanya filsafat hendak memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang
timbul bagi setiap orang, asal saja ia hidup sadar dan mempergunakan
fikirannya.
C.
HUBUNGAN FILSAFAT DAN AGAMA
Kontradiksi
Kehidupan Konkrit Manusia
Seperti telah
diuraikan bahwa kita harus membedakan empat
tingkatan/ruangan pengetahuan (level of thought), yaitu :
1. Tingkatan ilmu pengetahuan (ilmu alam dan kebudayaan)
2. Tingkatan ilmu-ilmu pasti.
3. Tingkatan filsafat.
4. Tingkatan agama atau theology.
Masing-masing tingkatan ini mempunyai
metode, cara penyelidikan, ukuran-ukuran, hukum-hukum sendiri, yang tidak boleh
“dioper” atau dialihkan ke tingkatan lain dengan semau-maunya saja.
Juga mengenai peranan dan kepentingan
filsafat itu. Dari uraian diatas teranglah bahwa filsafat merupakan pertolongan
yang sangat penting pula pengaruhnya terhadap seluruh sikap dan pandangan
orang, karena filsafat justru hendak memberikan dasar-dasar yang terdalam
mengenai hakikat manusia dan dunia.
Akan tetapi, walaupun kita akan selalu
mempertahankan pendapat bahwa filsafat adalah usaha menerangkan segala sesuatu
itu sampai kepada dasar-dasar yang terdalam akan tetapi sering terjadi pula
bahwa filsafat tidak dapat menerangkan realitas yang kita alami. Misalnya; hasrat mengejar kemerdekaan: bahwa manusia
adalah merdeka, artinya ialah bahwa manusia mengatasi dan menguasai materi,
bahwa ia tidak seluruhnya terikat pada materi dan dikuasai oleh materi.
Kemerdekaan kita seakan-akan merupakan sayap dengan mana manusia dapat
membumbung keatas. Akan tetapi yang terang dan nyata yang tak dapat disangkal
bahwa yang kita alami sendiri ialah: ada luka-luka pada sayap kita itu.
Kemerdekaan kita berupa sayap, tetapi sayap yang luka.
Kemudian kita seakan-akan berada dalam
belenggu. Penyebabnya kemungkinan akan tetap rahasia bagi kita. Belum pernah
filsafat dapat menunjukkan sebab itu.
Kemerdekaan berdasarkan pengetahuan. Ini
berarti bahwa kemerdekaan kita itu berdasarkan intelek/akal fikiran kita.
Bagaimanakah keadaan fikiran kita?
Bagaimanakah juga harus diakui bahwa pengetahuan kita tentang tujuan manusia
demikian kurang terangnya, hingga kebanyakan manusia tidak mempunyai orientasi
yang cukup, orientasi yang memungkinkan bergerak kearah tujuan tadi. Dan memang
paling sedikit dapatlah disangsikan apakah manusia itu jika hanya berfikir
sandiri dapat memperoleh pengetahuan yang cukup tentang hal ini.
Kita disini tidak mempersoalkan
pengetahuan yang abstrak tentang Tuhan, pengetahuan yang tidak menarik (itu
memang ada). Kita memperbincangkan pengetahuan-pengetahuan yang memenuhi hati,
“pengetahuan yang mendinamisir” jiwa, kita membicarakan pengetahuan yang
mendekatkan Tuhan yang taqarrub ilallah, pengetahuan yang member hidup.
Pengetahuan yang semacam itu dapat dicapai oleh manusia berdasarkan kekuatannya
sendiri saja padahal hanya pengetahuan yang semacam inilah yang akan cukup kuat
untuk mendorong kita ke atas.
Kesadaran penuh dengan diri sendiri
dengan badanya, dengan kesenangannya. Ikatan dunia material adalah menjadi
sedemikian rupa sehingga manusia-manusia sangat sukar berfikir tentang yang
tinggi-tinggi, tentang cita-cita rohani yang mulia, tentang Tuhan dan
pengabdian kepadaNya. Manusia diikat dan dicenderungkan oleh pancainderanya
kepada dunia material. Inilah yang lebih terasa daripada dorongan yang
tinggi-tinggi itu.
Bukan saja fikiran kita tetapi juga
dorongan-dorongan yang ada pada kita itu mengandung luka-luka. Jika mengingat
kodratnya yang rohani, bukankah manusia harus terdorong akan kesempurnaan
rohani? Memang pada hakikatnya dorongan ini ada, bahkan terkadang terasa pula
akan tetapi apakah lagi yang kita lihat sehari-hari? Kebanyakan manusia
sehari-hari hanyalah penuh dengan dorongan kesenangan/badan/jasmani. Inilah
kebanyak lebih terasa.
Memang demikian manusia itu, sebagai rohani ia pada hakikatnya mempunyai
benih kemerdekaan. Ia hendak merdeka, ia
ingin lepas dari godaan kejasmaniannya, ia ingin bebas merdeka, akan tetapi
sementara itu merupakan kemerdekaan yang terikat yang terbelenggu dan
sebabnya…Filsafat belum pernah dapat menerangkan kekurangan ini.
Buat filsafat hal ini selalu akan
merupakan rahasia. Bagaimanakah mungkinnya bahwa manusia yang menurut kodratnya
mengatasi dunia kebendaan yang seharusnya hanya mempergunakan ‘dunia” itu untuk
mencapai kerohaniannya, yang pada hakikatnya harus mengatasi kebendaannya
sendiri, toh ingin tenggelam ke dalam materi, ingin menjerumuskan diri kedalam
dunia itu, seakan-akan tidak mau mengatasi kebendaan itu. Inilah kontradiksi
hidup konkrit manusia. Dan bagaimanakah kontradiksi itu dapat diatasi? Manakah
jalan keluarnya? Disinilah filsafat bungkem dan membisu seribu bahasa.
Ahli fikir dan ulama besar dari tokoh
alam Islami An Nahdlawi secara
filosofis mengemukakan bahwa manusia itu adalah mahluk yang sulit dan penuh
paradox atau kontradiksi, pertentangan dalam dirinya sendiri. Keperluan dan
keinginannya banyak, lebih banyak dari nafasnya, lebih lama dari hidupnya dan
lebih luas dari alam ini.
Manusia itu terdiri dari roh dan jasad,
sedangkan roh selalu menariknya untuk selalu kembali kepada asal dan sumbernya
(Allah), sedangkan jasad menariknya kepada asalnya pula yaitu tanah. Bila
pengaruh roh menjadi lemah maka menjadi lepas laiai manusia dalam kelezatan
syahwati, bagaikan hewan liar. Menjadi padamlah sinar roh dan hati, lalu
muncullah kezaliman dan berbagai kejahatan. Manusia menjadi hewan liar yang
berbahaya, menerkam sesamanya. Manusia menjadi “homo homini lupus”.
Selanjutnya An Nadawy menegaskan betapa Nubuwwah (Allah mengirim Rasul) untuk
menolong perikemanusiaan dari bahaya materi yang merusak, mebina roh dan ahlak
persaan halus dengan adanya mawazin (neraca) yang adil, mempersiapkan mereka
untuk apa sebenarnya manusia lahir ke dunia, yaitu: beribadah untuk menjadi
pemegang “wilayah”, pimpinan yang karenanya mereka ada di bumi persada:
“khalifah”, pengolah bumi raya ini dengan segala ketentuannya.
Filsafat Dengan
Causa Prima
Dalam pada itu filsafat sendiri dalam
usahanya menunjukkan apa yang terdalam dalam barang-barang, dalam manusia dan
dunia, maka sampailah pada pengertian tentang sebab pertama (causa prima) pada Yang Mutlak dan menerangkan bahwa sebab pertama dan tujuan terakhir ini bukanlah
hanya sesuatu melainkan suatu “ Zat Yang
Maha Sempurna”. Dan ini sesuai dengan keyakinan yang hidup dalam setiap
hati orang, bahwa ada sesuatu yang mengatasi manusia dan dunia, sesuatu yang
lebih luhur, lebih tinggi dan lebih mendalam. Jadi filsafat sendiri menunjukkan
kepada “Yang mengatasi segala-galanya” dan
bersama dengan itu mengakui batas-batasnya sendiri. Bahwa kita berhadapan
dengan “rahasia” tentang manusia dan dunia. Akan tetapi jika filsafat,
berdasarkan logika yang sehat dan tajam, mengatakan bahwa “ setiap orang wajib
mengabdi kepada Tuhan, harus hidup sebagai hamba Allah (dan ini berlaku umum,
bagi setiap orang, demikian pula bagi mereka yang :tidak beragama) maka
timbullah pertanyaan: Bagaimanakah tuntutan kodrat kita ini harus dilaksanakan
dalam kodratnya?”.
Manakah cara yang harus dipakai, manakah
cara yang sesuai dengan kehendak Tuhan? Sebab mengabdi kepada Tuhan itu sudah
seharusnya demikian menurut kehendak Tuhan.
Bagaimanakh Pendapat kita terhadap
seseorang “hamba” yang katanya mengabdi kepada kita tetapi tidak menurut
perintah-perintah yang telah kita berikan kepadanya, melainkan semata-mata
menurut kehendaknya sendiri belaka? Itu bukan mengabdi lagi! Begitu juga halnya
mengenai soal mengabdi kepada Tuhan/Allah, oleh manusia sebagai hamaba Allah.
Sumber Ilmu
Pengetahuan Dan Wahyu Allah
Sebagai sumber lahirnya ilmu pengetahuan
dan penemuan-penemuan ilmiah biasanya berkenaan dengan timbulnya keheranan pada
diri seseorang peneliti dalam mengamati sesuatu keanehan atau menonjolnya
sesuatu gejala yang mendorong dilakukannya penelitian-penelitian.
Prof. Soediman Kartohadiprojo S.H
mengatakan bahwa rasa heran yang mendorong seorang peneliti untuk mengadakan
penelitiannya yang merupakan sumber-sumber penemuan ilmiah.
Dalam
hidup dan kehidupan ini, manusia melihat masalah, lalu memikir-mikirkan
masalah itu dan mengamati dengan cermat, kemudian menghubung-hubungkan hasil
pengamatannya itu.
Demikianlah misalnya Izaac Newton
prlopor ilmu fisika, yang apada suatu hari duduk di taman belakang rumahnya,
kemudian sebuah apple masak jatuh dihadapanya. Ia heran melihat, mengapa apple
masak dari pohon itu jatuh ke bumi, tidakmelayang diangkasa. Hal ini
mendorongnya untuk menleiti terus menerus yang akhirnya ditemukan “the law of gravitation” dengan gaya tarik bumi maka benda
yang memiliki bobot akan jatuh tertarik oleh bumi.
Dalam hipotesis adanya wahyu Allah maka
dapatlah dikatakan bahwa ada empat sumber pengetahuan manusia yaitu :
1. “Fikiran manusia”. Hal ini melahirkan paham Rationalisme yang
berpendapat bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah Ratioa
(akal Budinya). Pelopornya ialah Rene Descrates. Aliran ini sangat mendewakan
akal budi manusia yang melahirkan faham “intelektualisme” dalam dunia
pendidikan.
2. “Pengalaman manusia”. Dengan ini muncul aliran Empirimsme yang
pelopori oleh tokoh Jhon Locke. Manusia dilahirkan sebagai kertas tih/meja
putih. Pengalamanlah yang akan memberikan lukisan kepadanya, dunia empiris
merupakan sumber pengetahuan utama dalam dunia pendidikan terkenal dengan teori
“tabula rasa” (teori kertas putih).
3. “Intuisi manusia”. Kalau pengetahuan yang diperoleh secara rational
dan empiris yang merupakan produk dari sesuatu rangkaian penalaran maka intuisi
merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui peruses penalaran itu.
Jawaban dari permasalahan yang sedang difikirkan
muncul dibenak manusia sebagai suatu keyakinan yang benar walaupun manusia
tidak biasa menjelaskan caranya untuk sampai ke situ.
Pengetahuan intuitif ini dipakai sebagai
hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menetapkan benar tidaknya penetapan
yang dikemukakan itu. Kegiatan intuitif dan analitik saling bekerjasama dalam
menemukan kebenaran. Bagi tokoh Nietzsche intuisi merupakan “intelegensi” yang
paling tinggi dan bagi tokoh Maslow merupakan “pengalaman puncak” (Peak
Experience).
4. “Wahyu Allah” adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada
manusi lewat para Nabi yang diutusnya sejak nabi pertama sampai yang terakhir
sebanyak 25 orang.
Wahyu Allah ini dikodifikasikan dalam
tiga buah kitab suci yaitu : Taurat, Inji dan Al-Qur’an. Wahyu Allah (agama)
berisikan pengetahuan baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh
empiris maupun yang mencakup permasalahan yang transcendental seperti latar
belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia dan segenap isinya serta
kehidupan di akhirat nanti di hari kemudian.
Pengetahuan ini berdasarkan kepercayaan
atau keimanan kepada Allah sebagai sumber pengetahuan, kepada kehidupan hari
akhirat, kepada malaikat-malaikat, sebagai perantara Allah menemui para nabi
kepada kitab-kitab suci, sebagai cara penyampaian dan kepada para nabi sebagai
perantara dan penerima wahyu Allah tersebut.
Kepercayaan inilah yang merupakan titik
tolak dalam agama dan lewat kajian selanjutnya dapat meningkat akan atau
menurunkan kepercayaan itu.
Ilmu pengetahuan adalah sebaliknya yaitu
dimulai dengan tanpa kepercayaan dan rasa tak percaya ilmu pengetahuan mulai
mengkaji dengan riset, pengalaman dan percobaan untuk mencapai kebenaran yang
factual.
Antara sumber pengetahuan itu tak
mungkin ada kontradiksi maka itu hanyalah nampaknya saja, sebenarnya bukanlah
kontradiksi atau pertentangan.
Kebanyakan kita tidak atau kurang
memperhatikan adanya perbedaan tingkatan pengetahuan atau level of thought itu
yang sering memakai perkataan-perkataan yang sama untuk menunjukkan hal-hal
lain (misalnya” individu” dalam ilmu hayat dan individu dalam filsafat).
Kemungkinan kita hanya memperhatikan salah satu soal saja hanya dari satu sudut
saja dengan meniadakan sudut lain yang dikemukakan oleh ilmu lain (evolution or
creation).
Akan tetapi persoalannya ialah :
Apakah yang dianggap “wahyu Allah” itu
betul-betul “wahyu Allah”. Jika itu hanya karangan manusia saja maka tentu saja
anatara filsafat dan karangan manusia itu mungkin terdapat pertentangan.
Jadi dapatlah disimpulkan sebagai
berikut : Kita tetaplah mempertahankan peranan dan kepentingan filsafat sebagai
ilmu pengetahuan adalah otonom (berdiri sendiri) tidak berdasarkan atau
berpangkal pada wahyu Allah (agama), akan tetapi apabila filsafat hendak
dijadikan dasar atau pedoman hidup maka terasalah pula kekurangan dari filsafat
itu, hingga kita maju selangkah lagi, meningkat satu tingkatan lagi, dengan
perkataan lain; Meninggalkan lapangan filsafat dan menginjak lapangan agama.
Kedudukan Ilmu,
Filsafat Dan Agama
Ilmu, filsafat dan agama mempunyai
hubungan yang terkait dan reflektif dengan manusia. Diaktakan terkait karena
ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada tiga alat dan
tenaga utama yang berada dalam diri manusia. Tiga alat dan tenaga utama manusia
adalah: akal fikir, rasa, dan keyakinan, sehingga dengan ketiga hal tersebut
manusia dapat mencapai kebahagiaan bagi dirinya.
Ilmu dan filsafat dapat bergerak berkat
akal fikiran manusia. Juga, agama dapat bergerak dan berkembang berkat adanya
keyakinan. Akan tetapi ketiga alat dan tenaga utama tersebut tidak dapat
berhubungan dengan ilmu, filsafat dan agama apabila tidak didorong dan
dijalankan oleh kemauan manusia yang merupakan tenaga tersendiri yang terdapat
dalam diri manusia.
Dikatakan reflektif, karena ilmu,
filsafat dan agama baru dapat dirasakan (diketahui) faedahnya/manfaatnya dalam
kehidupan manusia, apabila ketiganya merefleksi (lewat proses pantul diri)
dalam diri manusia.
Ilmu berdasar kepada akal fikir lewat
pengalaman dan indera, dan filsafat berdasarkan pada otoritas akal murni secara
bebas dalam penyelidikan terhadap kenyataan dan pengalaman terutama dikaitkan
dengan kehidupan manusia. Sedangkan agama mendasarkan pada otoritas wahyu.
Harap dibedakan agama yang berasal dari pertumbuhan dan perkemangan filsafat
yang mendasar pada konsep-konsep tentang kehidupan dunia, terutama
konsep-konsep tentang moral.
Menurut Prof. nasroen, S.H.,
mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan agama. Malahan
filsafat yang sejati itu adalah terkandung dalam agama. Apabila filsafat tidak
berdasar pada agama dan filsafat hanya semata-mata berdasarkan akal fikir saja,
maka filsafat tersebut tidak akan memuat kebenaran objektif, karena yang
memberikan penerangan dan putusan adalah akal fikiran. Sedangkan kesanggupan
akal fikiran terbatas, sehingga filsafat yang hanya berdasar pada fikiran
semata-mata akan tidak sanggup member kepuasan bagi manusia, terutama dalam
rangka pemahamannya terhadap Yang Ghaib.
- SEJARAH DAN
PERANAN PEMIKIRAN FILSAFAT BARAT DALAM PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN.
Pembimbing ke filsafat tak akan lengkap
tanpa sepatah kata tentang perkembangan filsafat sepanjang sejarah.
Sejarah filsafat ialah penyelidikan
ilmiah mengenai perkembangan pemikiran filsafat dari seluruh bangsa manusia
dalam sejarah. Jadi awas; sejarah filsafat itu belumlah “filsafat”, sejarah
filsafat hanyalah “sejarahnya”!.
Apabila sejarah filsafat dianggap
satu-satunya pengantar, bahkan satu-satunya filsafat, itu kami anggap kurang
tepat. Lagi pula dilihat dari sudut didaktif, pembimbing yang melulu “historis”
saja kami anggap kurang pada tempatnya karena banyaknya aliran-aliran dan
pendapat-pendapat yang sering bertentangan satu sama lain. Hal itu dengan mudah
dapat menimbulkan salah faham dan menghasilkan kekecewaan belaka.
Akan tetapi jika pengantar historis itu
diberikan di samping pengantar sistematis maka ia akan sangat besar faedahnya.
Sering kali persoalan-persoalan filsafat hanya dapat difahami jika dilihat
perkembangan sejarahnya. Ahli-ahli besar seperti Aristoteles, Thomas Aquino,
Immanuel Kant itu hanya dapat dimengerti dari aliran-aliran yang mendahului
mereka. Aliran yang satu biasanya merupakan reaksi atau sintesis dari aliran
lain. Dan dari seluruh perjalanan pemikiran filsafat itu menjadi kentara juga
persoalan-persoalan manakah yang selalu tampil kembali bagi setiap kurun masa,
bagi setiap bangsa dan setiaporang. Oleh karena sejarah filsafat itu merupakan
mata kuliah tersendiri, maka maksud bab ini tidak lain hendak memperkenalkan
beberapa nama aliran-aliran penting, agar saudara dapat “menempatkan” nama-nama
yang saudara dengar itu dalam mata pelajaran lainnya juga, seperti dalam
sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik dan sebagainya.
Zaman Yunani Kuno (600 sebelum Masehi sampai 500 sesudah Masehi)
Filsafat Barat mulai di Yunani. Pengaruh dari
filsafat Timur memang ada, tetapi hanya sedikit. Sifat-sifat filsafat Yunani
sangatlah mempengaruhi seluruh alam pikiran Barat. Melepaskan diri dari
mitos-mitos dan mencari jawaban yang rasional daripada kenyataan mencari apa
yang tetap dan kekal dalam kenyataan yang berubah-ubah. Realistis, terang,
tajam dalam perumusan-perumusan, teratur dan rapi.
a. Kelahiran (Pre-Sokratesi)
Filsafat alam mencari penjelasan daripada alam,
khususnya terjadinya segala-galanya dari prinsip pertama (arche).
1. Mashab Miletos : Thales (625-545), Anaksimander (610-540), Anak
Simenes (585-528).
2. Pythagoras (580-500).
3. Heraklitos (540-480)
4. Mashab Elea : Parmenides (530-440), Zeno (490).
5. Jonisi : Empedokles (483), Anak Sagoras (499-428), Demokritos
(460-370).
b. Perkembangan.
Memusatkan Penyelidikan pada manusia. Filsafat
alam tak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, maka timbullah sikap kaum
“sofis” (“Pedagang pengetahuan”), sebagai reaksi :Ikhtiar Socrates.
1. Kaum Sofis : Protagoras (481-411), Gorgias (483-375).
2. Sokrates (470-400).
c. Zaman Keemasan.
Mencari sintesa antara filsafat alam dan
filsafat tentang manusia.
1. Plato (429-347 SM) meneruskan dan menyempurnakan ajaran Socrates. Inti
ajarannya prinsip pertama, kesusilaan, alam, dan Negara.
2. Aristoteles (348-322 SM), murid Plato filsuf pertama yang berhasil
menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar dari filsafat, yang
dipersatukannya dalam sati sistem, meliputi : logika, filsafat, alam, Ilmu
jiwa, Metafisika (sebab pertama), etika dan Ilmu Politik.
Hasil-hasil pemikirannya sekarang masih berlaku
(Hyle-morfisme).
d. Zaman Keruntuhan sistem etika.
1. Stoa (300 SM) 200 sesudah Masehi). Hendak memberikan ajaran hidup
praktis, agak materialistis; memperkembangkan logika lebih lanjut yang terkenal
:
Zeno (336-364 SM)
Seneca (4-73). Epektetus (50-117)
2. Epikuris (341-271 SM), materialistis dan “akuistis”; kebahagiaan
adalah kepuasan diri, “permulaan dan akar kebaikan adalah kenikmatan perut”.
3. Skeptisis (Kesangsian, tak mungkin orang mencapai kepastian Pyrrho
(360-270) SM), Skestus Empirikus (150).
e. Zaman Baru
Neo-Platonisi, bersikap religious, kebathinan.
1. Plotinus (205-270), dan
2. Porfyrius (232-325), muridnya. Buku yang terkenal; Enneaden (9 buku),
ajaran Emanasi.
Zaman Pertengahan (100-1600)
a.
Patristik (100-700).
Di dunia Barat agama Katolik mulai
tersebar dengan ajarannya tentang Tuhan,manusia dan dunia, dan etikanya. Untuk
mempertahankan dan menyebarkannya maka maka mereka mempergunakan filsafat
yunani dan memperkembangkannya lebih lanjut, khususnya mengenai soal-soal
tetntang kebebasan manusia, kepribadian, kesusilaan, sifat Tuhan. Yang terkenal
tertulianus (160-222),Origenes (185-254) Agustinus (354-430), yang sangat besar
pengaruhnya (De Civitate Dei).
Berdasarkan Neo Platonisi dan Stoa,
ajaran yang meliputi pengetahuan,
Tententang manisia, jiwa, etika,
masyarakat dan sejarah.
b.
Skolastik
Sesudah Agustinus: keruntuhan.
Satu-satunya pemimpin yang tampil kemuka adalah Skotus Erigena (810-877).
Kemudian: Skolastik, disebut demikian karena filsafat diajarkan pada
universitas-universitas (sekolah) pada waktu itu. Persolan-persoalan: tentang
penngertian-pengertian umum (pengaruh Plato). Filsafat mengabdi kepada Theologi.
Yang terkenal: Anselmus (1033-1100), Abaeladrus (1079-1142).
Filsafat Arab.
Berkat pengaruh Helenisme
(Iskandar),filsafat yunani hidup terus di Seria, diperkembangkan lebih lanjut
oleh filsuf-filsuf Arab, kemudian diteruskan ke Eropa melalui Spanyol.
a. Alkindi (800-870), satu-satunya orang Arab asli. Corak filsafatnya
adalah pemikiran kembali dari ciptaan
yunani (menterjemahkan 260 buku yunani) dalam bentuk bebas dengan refleksi
dengan iman Islam.
b. Alfarabi (872-950), filsuf muslim dengan pangkal filsafat dari
Plotinus.
c. Ibn Sina (Avicenna) (980-1037) yang besar pengaruhnya terhadap filsaft
barat, sejak usia 10 tahun sudah hafal Al-Qur’an.
d. Al-gazali (1059-1111), filsuf besar Islam yang mengarang Ihya
Ulumudin.
Di Spanyol.
e. Ibn Bajah (1138), penafsiran karya fisik dan metafisik Aristoteles.
f.
Ibn Rushd (Averros) (1126-1198), yang
disebut dengan penafsiran Aristoteles dan yang sangat berpengaruh terhadapat
aliran-aliran di Erofa, juga seorang filsuf besar muslim.
g. Avencebrol (Ibn Giberol) (1020-1070).
h. Mainmonides (Moses ben Maimon) (1135-1204).
Zaman keemasan : (1200-1350).
Perkembangan
baru karna adanya universitas-universitas (paris ), karangan-karangan Aristotelesmulai
dikenal umum melalui filsuf-filsuf arab dan yunani.
a. Pengikut-pengikut Agustinus: Sigerbonaventuratn (1221-1274).
b. Pengikut-pengikut Ibn Rushd: Siger dari Brabant
(1235-1281).
c. Pengikut-pengikut Aristoteles: Albertus Magnus (1206-1280), dan
muridnya: Thomas Akuinas (1225-1274), yang berhasil menemukan sintesis antara
Aristoteles-Piato Agus tinus dan skolastik.
Perbedaan filsafat dan agama
sintesisnya, pemecahan soal-soal besar tentang pengetahuan, tentang “ada” dan
dasarnya tentang etika. Pengaruhnya sampai sekarang ini masih sangat kuat.
Disamping aliran-aliran ini terdapat juga:
Aliran Neo-Platonis : Roger Bacon (1210-1292).
Aliran Empirisme (pengaruh Aristoteles), yang
membela kaidah ilmu pasti dalam ilmu pengetahuan dan penyelidikan berdasarkan
eksperimen-eksperimen.
Dauns-Scotus (1270-1308), pembahasan yang tajam,
perintis jalan bagi filsafat abad ke XIV, posivistis (hanya apa yang kongkrit
yang dapat dilihat dan diraba itu yang benar dan dapat dimengerti) dan
voluntaristis (lebih mementingkan kehendak daripada pikiran).
W. Ockham (1550), yang menurutkan ajaran Scotus.
Tentang pengetahuan: konseftualistis (lihat logika: pengertian-pengertian umum
tidak “benar” sesuai dengan kenyataan.
Zaman Renaissans (peralihan) 1400-1550
Renaissance, perkembangan humanism, pertentangan
besar antara tradisi dan kemajuan. Perkembangan baru dari sistem-sistem lama
(plato Aristoteles, Stoa) dan usaha mencari sintesis-sintesis baru. Persoalan
yang terbesar: hubungan antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan/agama.
a. Nicolas Cusanus (1401-1464).
b. Giordano Bruno (1548-1600) panteisme, ajaran emanasi ajaran monade.
c. Ilmu alam dan filsafat alam berkembang:L.davinci (1452-1519),
Paracelsus, Keppler, Galilei (1564-1642).
d. Skolatis Gapreelus, Ferera, Cayetanus, De Soto , Molina, Suarez, Rob,Bellarminus.
e. Tentang hukum dan Negara : Macheavelli (1467-1527) dan Hugo de Groot
(1583-1645).
Zaman Moderen
Zaman Empirisme dan Rasionalisme. Menentang
tradisi sangat kritis, analisis psikologi dipentingkan, bahasa Latin
ditinggalkan sebagai bahasa ilmiah, diganti bahasa-bahasa modern. Watak-watak
perseorangan dan nasional lebih tampil ke muka.
Cara-cara kebebasan menjadi monarchi. Ilmu alam
dan ilmu pasti berkembang.
1. Prancis.
a. Rene Descrates (1596-1650), “Bapak Filsafat Modern” yang menimbulkan
banyak persoalan-persoalan dan reaksi yang hebat dari aliran-aliran yang
menyusulnya.
Yang dipersoalkannya : Metode. Kebimbangan
metodis satu-satunya yang pasti: “Aku berfikir, jadi aku ada” (cogito ergo
sum). Dari sini sampailah pada “Idea clara et distinct” tentang fikiran dan
eksistensi.
Filsafat meliputi : Ukuran-ukuran kepastian,
adanya Tuhan, sifat-sifat jiwa, susunan dari manusia. Sifatnya : rasionalistis
dan sangat matematis dalam metodenya.
b. Occasionalisme dan Ontologisme : Malebranche (1638-1715)
c. Blaise Pascal (1623-1661), menolak Rasionalisme Descrates, skeptic
terhadap kekuatan fikiran manusia: Kita hanya dapat berhubungan dengan
pernyataan yang sesungguhnya dengan perantaraan “Ie sentiment” dan kenyataan.
2. Belanda.
Baruh de Spinoza (1632-1677), terkenal karena
karangannya: “Athica”, more geometric demonstrate, yang secara ilmu pasti
menguraikan seluruh filsafat. Monistis Pantheistis, kebahagiaan ialah
pengetahuan tentang kesatuan manusia dengan alam semesta (universal).
3. Empirisme Inggris: Pengalaman adalah satu-satunya sumber pengetahuan,
akal hanya “meregistrasikan”, tak mampu mencapai pengetahuan baru.
a. Perintis jala: Francis Bacon (1561-1626)
b. Thoma Hobbes (1588-1679).
c. Jhone Locke (1632-1704).
d. George Berkeley (1685-1753).
e. David Hume (1711-1776).
4. Jerman
Gottfried Wilhelm Leibnitz (1664-1716), yang
mencari sintesis antara pandangan-pandangan mechanis-organis, antara ilmu
pengetahuan dan agama, materi dan roh, keharusan logis dan kebebasan, ilmu alam
dan sejarah. Yang terkenal adalah metode dan ajaran “Monade”. Iapun
memperkenalkan filsafat Tionghoa kepada Erofa.
e. Filsafat
Abad Ke XX (1900 - ……)
Sejak Kant persoalan filsafat yang
terpenting ialah soal pengetahuan manusia. Kenyataan oleh kant dibagai dua.
Dunia Empiris dan Dunia nominal (Reinen Vernunvet dan praktischen Vernunfet).
Maka timbul dua aliran besarnya: edialisme mementingkan subyek, dan Empirisme
mementingkan obyek. Disamping itu: pansangan-pandangan pesimisme dan
metafisika. Sifat-sifat filsafat abad ke XIX bersistem rasionalistis (hanya
dengan akal pikiran), fenoministis membatasi diri pada pengalaman langsung pada
panca-indera: apa yang mengatasi penginderaan tak dapat dimengerti), dan
evolusionistis (semua berkembang, manusia hanya suatu gejala, suatu unsure dari
seluruh alam semesta).
Sekitar tahun 1900 pemikiran filsafat
berganti haluan: pandangan dunia yang materialistik dan mechanistis
ditinggalkan: metode positf (positivistis) dalam filsafat dan ilmu-ilmu
kebudayaan diganti metode analisis: keyakinan bahwa ilmu-ilmu alam tak dapat memberikan penjelasan yang langkap
dari pada seluruh kenyataan makin kuat.
Sebab-sebab bergantinya haluan itu antara lain:
-
Dari luar dunia filsafat: perang-perang,
perubahan-peruabahan dilapangan sosial kemajuan ilmu-ilmu alam yang makin
menentang pandangan dunia yang idealisistis dan empiris, “sebab hukum-hukum abadi”
dari mekanika Newton
ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Radio-aktivitas Teori quantum, Teori
relativitas, pemisahan atom dan kern: Curie (1934), Plance (1947), Einstein,
Edington, Jeans, dalam biologi: Thomsom driesch.
-
Berkembangnya
Neo-Skolastik (Thomas Aquinas)
-
Kritik
Ilmu pengetahuan mengahadapi soal-soal baru: kepastian hukum-hukum alam
ternyata mengandung unsure “kebetulan” dan “kebebasan” hingga unsure obyektif
penyelidikan keilmuan menjadi kentara.
-
Renungan-renungan
tentang dasar ilmu pengetahuan membawa orang kearah Fenomenologi sebagai metode
penyelidikan
-
Sebagai
reaksi terhadap determinisme (semua ditentukan oleh hukum-hukum alam, tak ada
kebebasan) dasn karena pengaruh ajaran Darwin
dan kritik ilmu pengetahuan, maka umum lebih mementingkan manusia sebagai
keseluruhan, bahkan menitikberatkan pada segi-segi irrasional.
Aliran-aliran abad-XX banyak sekali dan
sukar digolong-golongkan, apalagi karena makin eratnya kerjasama internasional.
Pada umumnya dapat dikatakan: Empirisme dan Idealisme merupakan kelanjutan dari
filsafat abad XIX. Peralihan kefilsafat abad ke-XX: Filsafat hidup dan
Fenomenologi, abad ke-XX: Eksistensialisme, Metafisika dan Logistik.
Sifat-sifat filsafat abad ke-XX adalah
lawannya daripada sifat-sifat filsafat abad ke-XIX: anti positivistis, tiddak
mau bersistem, realistis, menitikberatkan pada manusia, pluralisti, (lawannya
monisti: yang mengatakan bahwa semua adalah satu).
1). Empirisme
Berpangkalan
pada materi sebagai “arah berpikir” merupakan lanjutan daripada positivisme. Sekarang hampir dimana-mana telah
ditinggalkan.
-
Jerman:
Eugen Duhring, E. Mach (1838-1916) H. Vaihinger.
-
Prancis:
Pengaruh dari Durkheim dan Levy Bruhl.
-
Amerika: Di lapangan ilmu jiwa:
Behaviorisme, Jhon B. Watson, Iwan
Pavlov (1936)
Psychoanalysa: Freud (1939) A. Adler.
-
Inggris: Moore, Bertrand Russel.
-
Neo-Positivisme: Carnap, Hahn,
Reickenbach.
- Dialektik
materialisme: Lenin, Stalin.
2). Idealisme:
berpangkal pada “Roh”.
- Neo-Hegelianisme:
A. Lasson (1832-1917), R. Kroner, E. Caird, B. Groce, G. Gentille (1875-1944),
G. Bolland (1922).
- Neo-Kantianisme:
“Kembali” ke Kant: Mashab Marburg: H. Cohen (1842-1918), P. Natrop (1854-1924).
Mashab Baden W. Windelband (1848-1915), H.
Rickert (1863-1936), E. Lask (1875-1915).
- Idealisme
Prancis: O. Hamelin (1856-1907), Leon Braunvich (1869-1944).
3). Filsafat Hidup.
Tidak puas dengan
keterangan yang diberikan Materialisme, orang mencoba menerangkan kenyataan
dengan berpangkalan pada “hidup” berdasarkan perasaan dan intuisi.
Peralihan ke Realisme
-
Pragmatisme: masih berbau positivistis, tetapi
sudah lebih luas pandangannya, “praktis” apa yang berguna bagi hidup. Asas
dasarnya: akal tak mampu, adalah apa yang berguna bagi hidup dan kemajuannya:
jalan untuk mencapai kebenaran itu ialah: perasaan dan perbuatan.
William James (1842-1941), Jhon Dewey
(1858-?) F.C.S. Schiller Gonseth.
-
Bergson (1859-1941) kenyataan yang
selalu “menjadi” (élan vital) hanya dapat dicapai dengan intuisi, tak dapat
dinyatakan dengan pengertian-pengertian yang abstrak. Sangat besar pengaruhnya.
Pengikut-pegikutnya antara lain: E. Ie Roy, J. Chavalier, Maurice Blondel
(1861-1940), Laberthonniere (1860-1932).
-
Historisme. Hidup manusia “mengalir” dalam waktu.
Jadi sejarahlah yang merupakan pokok dari filsafat. W. Dhilthey (1911) yang
pengaruhnya terasa pada: C. Simmel E. Spranger, Th. Litt, Oswald Spengler,
Toynbee.
-
Filsafat hidup Jerman: Ludwig Klages,
Keyserling.
-
Pengaruh pendapat-pendapat baru ini
merembes dalam: Ilmu jiwa: Lachelier, Bergson, Deleroix, Wherteimer, Kohler, K.
Koffka.
Ilmu-ilmu alam: Emile Boutroux (1845-1921),
Hendri Pincarre (1859-1933), Pierre Duhen (1861-1916), Emile Meyerson
(1859-1933), Ernst Mach (1838-1916).
4. Fenomelogi:
terutama penting sebagai metode baru dalam filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan.
“phaenomenon” = “apa yang memperlihatkan
diri dalam kesadaran”.
-
Bolsano, Franz Brentano, Alex meinong.
Edmund Husserl (1859-1938), Max Scheler
(1817-1928), yang terkenal karena teori-teori nilai. Metode ini sangat luas
dipergunakan.
5. Eksistensialisme:
pennyelidikan “pengalaman hidup” manusia yang selalu “menjadi” dalam suatu
ketegangan dialektis antara situasi dan kebebasan. Ada dua aliran yang sangat penting:
-
Eksistensialisme: “tertutup” : membatasi
pandangannya pada gambaran manusia yang bercerai-berai tanpa trancendentia,
atheitis dan pesimisme, “Sein zun Tode”. Demikian: Jean Paul Sartre (1905-…..)
Simone de beauvoir, Albort Camus, George Balaile, Merleau-ponty, Hei8degger
dalam priode pertama (Sein und Zeit), Karl Jaspers.
-
Eksistensialisme “terbuka” : mengakui
trancendentia, berada-ada artinya, hati terbuka bagi realitas. Demikian:
Heidegger dalam priode kedua, Berdiaeff, Gabriel marcell. (1889-1973).
6. Metafisika.
Berpangkal pada pengalaman konkrit
dengan mengakui baik pengetahuan keinderaab maupun pengetahuan intelektual,
dicarilah penjelasan terakhir dari pada seluruh kenyataan, terutama dari pada
manusia. Sintesis daripada aliran-aliran modern Fenomenologi dan
Eksistensialisme dengan warisan pemikiran filsafat dari abad-abad yang telah
lampau, terutama filsafat Plato. Aristoteles dan diperkaya oleh filsafat kant,
Hegl dan lain-lain. Realistis.
-
diluar skolastik : Trendelenburg,
Hans Driesch, Paul Huberlin, Heinrich Schols, Otmar Spann, Nicolai Hartman, A.
North WhiteHeat, Samuell Alexander, E. Morgan, R.E. Adamson, Louis Lavelle…
-
Neo-Skolastik : perintis jalan antara: Jhon Henri
Newman dan Desire Marcier. Beberapa nama lainnya: Carrogon, Lagrange, Manser,
Pagues, Mandonette, Noel, Balthasar, I’de ‘Raeymaeker, Nys Thieri,
Michotte, Deploige, Mansion, Deuleff, F,
van Steanbergen, Gamelli Olgiati, Masnopo. Pit Peulaube, J. Maritain, E. de
Bryine, E. Gilson, R. Jolivet, Bochenski, Sertillangers, Rousselot, Marechal,
Hoenen, K. Rahner, Beysens, Baeumker, Th. Meyer, V. Catherin, H. Pesch. T.
Pesch.
7. Logistik
Ilmu
yang hendak menyatakan hubungan-hubungan
logis yang terdapat antara buah-buah pikiran itu (hukum-hukum logika) dalam rumusan-rumusan simbolis dengan memakai
tanda-tanda secara ilmu aljabar. Yang dikenal: Boile (1864), Biere (1880),
Schoder (1902), Frege (1925), Feana (1932). “Principia Matematica” buku
karangan Whitehead bersama Russell, tokoh-tokoh lain: Carnap, Holbert, Beth,
Neurath, Feys, Bechenski, Cauturat.
E. ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT
- Empirisme
Sebagai tokohnya adalah Thomas Hobbes, Jhon Locke,
dan David Hume. Oleh karena adanya kemajuan ilmu pengetahuan dapat dirasaksn manfaatnya,
maka pandangan orang terhadap filsafat mulai merosot. Hal ini disebabkan karena
filsafat dianggap tidak berguna lagi bagi kehidupan. Pada sisi lain, ilmu
pengetahuan besar sekali manfaatnya bagi kehidupan. Kemudian beranggapan bahwa
pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indera
(empiri), dan empirilah satu-satunya seumber pengetahuan. Pemikiran tersebut
lahir dengan nama empirisme.
Thomas Hobbes
(1588-1679)
Ia
seorang ahli fikir Inggris lahir di Malmesbury. Pada usia 15 tahun ia pergi ke Oxford untuk belajar
logika Skolastik dan Fisika, yang ternyata gagal, karena ia tidak berminat
sebab gurunya beraliran Aristotelian. Sumbangan yang besar sebagai ahli fikir
adalah suatu sistem materialistis yang besar, termasuk juga perikehidupan
organis dan rohaniah. Dalam bidang kenegaraan ia mengemukakan teori Kontrak
Sosial.
Dalam
tulisannya, ia telah menyusun suatu sistem pemikiran yang berpangkal pada
dasar-dasar empiris, disamping juga menerima metode dalam ilmu alam yang
matematis.
Pendapatnya,
bahwa ilmu filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya umum. Karena
filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang sebab akibat atau tentang gejala-gejala
yang diperoleh dari sebabnya. Sasaran filsafat adalah fakta, yaitu untuk
mencari sebab-sebabnya. Segala yang ada ditemukan oleh sebab, sedangkan
prosesnya sesuai dengan hukum ilmu pasti/ilmu alam.
Namanya
sangat terkenal karena teorinya tentang Kontrak sosial, yaitu manusia mempunyai
kecendrungan untuk mempertahankan diri. Apabila setiap orang mempunyai
kecendrungan demikian, maka pertentangan, pertengkaran, atau bahkan perang
total tak dapat dihindari. Perang akan mengakibatkan kehidupan menjadi sengsara
dan buruk. Bagaimana manusia dapat menghindarinya. Maka diperlukan akal sehat,
agar setiap orang mau melepaskan haknya untuk berbuat sekehendaknya sendiri.
Untuk itu mereka harus bersatu membuat perjanjian untuk mentaati / tunduk
terhadap penguasa. Orang-orang yang dipesatukan disebut Common wealth.
Jhon Locke
(1932-1704)
Ia
dilahirkan di Wrington, dekat Bristol ,
Inggris. Disamping sebagai ahli hukum, juga menyukai filsafat dan teologi,
mendalami ilmu kedokteran dan penelitian kimia. Dalam mencapai kebenaran,
sampai seberapa jauh (bagaimana) manusia memakai kemampuannya.
Dalam
penelitiannya ia memakai istilah sensation
dan reflection. Sensation adalah
suatu yang dapat berhubungan dengan dunia luar, tetapi manusia tidak dapat
mengerti dan meraihnya. Sedangkan reflection
adalah pengenalan intuitif yang memberikan pengetahuan kepada manusia, yang
sifatnya lebih baik daripada sensation.
Tiap-tiap pengetahuan yang diperoleh manusia terdiri dari sensation dan
reflection. Walaupun demikian, manusia harus mendahulukan sensation. Mengapa
demikian? Karena jiwa manusia di saat dilahirkan putih bersih (tabula rasa)
yaitu jiwa itu kosong bagaikan kertas putih yang belum tertulisi. Tidak ada
sesuatu dalam jiwa yang dibawa sejak lahir, melainkan pengalamanlah yang
membentuk jiwa seseorang.
- Positivisme
Filsafat Positivisme lahir pada abad
ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Yang dimaksud dengan
positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta - fakta
tersebut kita atur dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Beberapa tokoh: August Comte
(1798-1857), jhon S. Mill (1806-1873). Herbert Spencer (1820-1903).
August Comte
(1798-1857)
Ia lahir di Montpellier , Prancis. Sebuah karya penting, cours de philoshopia positive (Kursus
tentang filsafat positif), dan berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi.
Menurut pendapatnya, perkembangan
pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: tahap teologis, tahap metafisis
dan tahap ilmiah/positif.
Tahap teologis, yaitu pada tahap ini
manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang bathiniah (sebab pertama).
Disini manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya
dibalik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
Tahap metafisis, yaitu pada tahap ini
manusia hanya sebagai tujuan pergesaran dari tahap teologis. Sifat yang khas
adalah kekuatan yang tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan
kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan
alam.
Tahap Ilmiah/positif, yaitu pada tahap
ini manusia telah mulai mengetahui dan sadar, bahwa upaya pengenalan teologi
dan metafisis tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari dengan
memakai akal.
Tahap-tahap tersebut berlaku pada setiap
individu (dalam perkembangan rohani) juga dibidang ilmu pengetahuan.
Pada akhir hidupnya, ia berupaya untuk
membangun agama baru tanpa teologi atas dasar filsafat positifnya. Agama baru
tanpa teologi ini mengagungkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan
“cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan”.
Sebagai istilah ciptaannya yang terkenal
altruism yaitu menganggap bahwa soal
utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain.
- Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma
yang artinya guna. Pragma berasal dari kata Yunani. Maka pragmatisme
adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara
praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang mistik, asalkan
dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat
diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.
Tokohnya: Wiliam James (1842-1910) lahir
di New York ,
yang memperkenalkan ide-idenya tentang pragmatisme kepada dunia. Ia ahli dalam
bidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi dan filsafat.
Pemikiran filsafatnya lahir, karena
dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan ilmu pengetahuan
dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran, tentang asal /
tujuan dan hakikat bagi orang Amerika terlalu teoritis. Yang ia inginkan adalah
hasil-hasil yang konkret. Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari idea
atau konsep haruslah diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya.
Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide
agama dapat memperkaya kehidupan, maka ide-ide tersebut benar.
- Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata fenomena yang artinya gejala, yaitu
suatu hal yang tidak nyata dan semua. Kebalikannya kenyataan. Juga dapat
diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati oleh indera. Misalnya,
penyakit flu gejalanya batuk, pilek. Dalam filsafat fenomenologi, arti diatas
berbeda dengan apa yang dimaksud, yaitu bahwa suatu gejala tidka perlu harus
diamati oleh indera, karena gejala juga dapat dilihat secara bathiniah, dan
tidak harus berupa kejadia-kejadian. Jadi, apa yang kelihatan dalam dirinya
sendiri seperti apa adanya.
Dan yang lebih penting dalam filsafat fenomenologi
sebagai sumber berfikir yang kritis. Pemikiran yang demikian besar pengaruhnya
di Eropa dan Amerika antara tahun 1920 hingga tahun 1945 dalam bidang ilmu pengetahuan
positif. Tokohnya: Edmund Husserl
(1839-1939), dan pengikutnya Max
Scheler (1874-1928).
Edmund Husserl (1839-1939) lahir di
Wina. Ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, kemudian filsafat. Akhirnya
menjadi guru besar di Halle , Gottingen ,
Freiburg .
Pemikirannya, bahwa obyek / benda harus
diberi kesempatan untuk berbicara, yaitu dengan cara deskriptif fenomenologis
yang didukung oleh metode deduktif. Tujuannya ialah untuk melihat hakikat
gejala-gejala intuitif. Sedangkan metode deduktif artinya menghayalkan
gejala-gejala dalam berbagai macam yang berbeda. Sehingga akan terlihat batas invariable dalam situasi yang
berbeda-beda. Sehingga akan mucul unsur yang tidak berubah-ubah yaitu hakikat.
Inilah yang dicarinya dalam metode variasi eidetic
e. Idealisme
Setelah Kant
mengetengahkan tentang kemampuan akal manusia, maka para murid Kant tidak puas
terhadap batas kemampuan akal, alasannya karena akal murni tidak akan dapat
mengenal hal yang berada diluar pengalaman. Untuk itu dicarinya suatu dasar, yaitu
suatu sistem metafisika yang ditemukan lewat dasar tindakan: aku sebagai sumber
sekongkret-kongkretnya. Titik tolak tersebut dipakai sebagai dasar untuk
membuat kesimpulan tentang keseluruhan yang ada.
Pelopor
Idealisme: J.G. Fichte (1762-1814), F.W.J. Scheling (1775-1854), G.W.F. Hegel
(1770-1831), Schopenhauer (1788-1860).
Apa yang
dirintis oleh Kant mencapai puncak perkembangannya pada Hegel. Hegel lahir di
Stutgart, Jerman. Pengaruhnya begitu besar sampai luar Jerman. Menjadi
professor ilmu filsafat sampai meninggal. Setelah ia mempelajari pemikiran
Kant, ia tidak merasa puas tentang ilmu pengetahuan yang dibatasi secara
kritis. Menurut pendapatnya, segala peristiwa di dunia ini hanya dapat
dimengerti jika suatu syarat dipenuhi, yaitu jika peristiwa-peristiwa itu sudah
secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasannya. Ide yang berfikir itu
sebenranya adalah gerak yang menimbulkan gerak lain. Artinya, gerak yang
menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis (gerak yang bertentangan),
kemudian timbul sintesis yang merupakan tesis baru, yang nantinya menimbulkan
anti tesis dan seterusnya. Inilah yang dsebutnya sebagai dialektika. Proses
dialektika inilah yang menjelaskan segala pristiwa.
f. Materialisme
Munculnya
positivisme dan evolusionisme menambah terbukanya pintu pengingkaran terhadap
aspek kerohanian. Julie de Lamettrie (1709-1721) mengemukakan pemikiran bahwa
binatang dan manusia tidak ada bedanya, karena semuanya diangap sebagai mesin.
Buktinya, bahan (badan) tanpa jiwa mungkin hidup (bergerak) sedangkan jiwa
tanpa bahan (badan) tidak mungkin ada. Jantung katak yang dikeularkan dari
tubuh katak masih berdenyut (hidup) walau beberapa saat saja
Seorang tokoh
lagi (Materialisme Alam) adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872) sebagai pengikut
Hegel, mengemukakan pendapatnya, bahwa baik pengetahuan maupun tindakan berlaku
adagium, artinya terimalah dunia yang ada, bila menolak agama/metafisika.
Satu-satunya asas kesusilaan adalah keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan.
Dan untuk mencari kebahagiaan manusia harus ingat akan sesamanya.
Dari
Materialisme Historis/dialektis, yaitu Karl Marx (1818-1883), nama lengkapnya
Karl Heinrich Marx, dilahirkan di Trier ,
Prusia, Jerman. Sewaktu menjadi mahasiswa ia terpengaruh oleh ajaran Hegel, dan
dapat mencapai gelar doctor dalam bidang filsafat. Dikala ia berkawan dengan
Bruno Bauer ia mendapatkan kekecewaan, tetapi setelah berkawan dengan Friedrich
Engels di Paris, maka dengan kawannya itulah ia (tahun 1848) menyusun manifesto komunist. Setelah itu, ia
menjadi buronan politik dan diusir dan dipenjara di London , sampai meninggal dunia. Ia
meninggalkan warisan sebah karya terbesarnya, das Kapital, yang terbit
tahun 1867.
Menurut
pendapatnya, tugas seorang fiosof adalah bukan untuk menerangkan dunia, tetapi
untuk mengubahnya. Hidup manusia itu ternyata ditentukan oleh keadaan ekonomi.
Dari segala hasil tindakannya: ilmu seni, agama, kesusilaan, hukum,
politik-semuanya itu hanya endapan dari keadaan itu, sedangkan keadaan itu
sendiri ditentukan benar-benar dalam sejarah.
- Eksistensialisme
Kata eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar, dan sistensi = berdiri, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam
keberadaanya ditentukan oleh aku-nya. Karena manusia selalu terlihat
disekelilignya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu
manusia harus berbuat menjadikan - merencanakan, yang berdasar pada pengalaman
yang konkret.
Eksistensialisme
merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada
eksistensinya. Artinya, bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pelopornya adalah
Soren Kierkgaard (1813-1855), Martin Heidegger, J.P. Sartre, Karl Jaspers,
Gabriel Marcel.
Pemikiran Soren
Kierkgaard mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang
umum tetapi berada dalam eksistensi yang individu, yang konkret. Oleh karena,
eksistensi manusia penuh dengan dosa, sehingga hanya iman kepada kristus
sajalah yang dapat mengatasi rasa bersalah karena dosa.
DAFTAR BACAAN
AchAsmoro madi, Filsafat Umum,
Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2001.
Bertens, sejarah
filsafat yunani, Kanisius, yogyakarta, 1975.
Edith Hamilton, The Greek Way
Towestern Civilization, New York:
the new Amerikan Librari n.d.
Hasbullah Bakri, Disekitar
Filsafat Skolastik Islam, AB Sitti Syamsiah, Sala, 1961.
Jan Hendrik Rapar, Pengantar
Filsafat, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.
.Bertens, Sejarah Filsafat
Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Muslim Ishak, Tokoh-tokoh
Filsafat Islam dari Barat (Spanyol), Bina Ilmu, Surabaya, 1980.
Nasroen, Falsafat dan cara berfalsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1967.
Norman L. Geisler dan Paul D.
Feinberg, Introduction to Philosophy,
Grand Rapids :
Baker Book House, 1982.
Pronggodigdo, (Ed). Ensiklopedi
Umum, Kanisius, Yogyakarta , 1972.
The Liang Gie, Pengantar
Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1991.
[1] Disampaikan pada perkuliahan Mahasiswa Fakultas Agama Islam
Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong untuk Semester 1, Dosen Pengampu Mata
Kuliah MISRAN TAHRANI, S.Ag.
[2]Waktu Homerrus melahirkan karyanya + tahun 850 SM
orang-orang pada saat itu masih mempercayai dongeng-dongeng/mitos, sehingga
pada saat itu logos (akal) tidak berbicara. Baru sekitar abad IV SM mulai
muncul para ahli piker yang tidak puas dengan dongeng-dongeng. Lihat Bertens, sejarah filsafat yunani, Kanisius,
yogyakarta, 1975, hlm. 14.
[3] Karel Agung/Charlemagne (Prancis), Carolus Magnus (latin), Charles
I (742-814) menyerbu Italia untuk membantu Paus terhadap Desiderius (774)
menjadi raja di Lombardis; merebut Spanyol Timur Laut dari tangan orang-orang
islam Arab (778); menaklukkan dan mengkristenisasikan orang-orang Saxon. Tahun
800 menempatkan kembali Paus Leo III diatas tahtanya. Kemudian oleh Paus
dinobatkan menjadi kaisar di Roma. Lihat Pronggodigdo, (Ed). Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta , 1972, hlm.214.
[4] Di Spanyol terdapat dua universitas, yaitu: universitas Cordoba yang didirikan
oleh Abdurrahman II tahun 788, dan Universitas Granada yang didirikan oleh
Khalifah Banu Nasr VII. Lihat Hasbullah Bakri, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, AB Sitti Syamsiah, Sala, 1961,
hlm. 105.
[5] Dunia Kristen waktu itu sangat mengekang akal-pikir. Segala
penemuan ilmu pengetahuan yang tidak mendapatkan legalitas dari gereja harus
ditolak dan diberantas. Masuknya pikiran baru ke Eropa membuka masa kegelapan,
sehingga Eropa berkenalan dengan filsafat Yunanbi dan Islam yang membawa kearah
kebebasan berpikir. Lihat Muslim Ishak, Tokoh-tokoh
Filsafat Islam dari Barat (Spanyol), Bina Ilmu, Surabaya , 1980, hlm. 7, kutipan dari Romein Aera Eropa, 1965.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking